14 November 2014
Dua tahun kemudian...
02.34 WS
Observatorium Mauna Kea, Hawaii,
Dering Ponsel yang berada di samping ranjang membangunkan orang yang tidur di atasnya. Paul Gilbert, kepala observatorium berusia 46 tahun mengangkat Ponselnya dengan setengah hati.
“Jika yang menelepon bukan wanita cantik atau tidak membawa berita bagus, kau akan Aku kutuk menjadi seorang insomnia!” Umpat Paul sambil menempelkan Ponsel ke telinga kanannya.
Ternyata dari anak buahnya yang berjaga di observatorium.
“Pak! Anda harus cepat kemari! Ada sesuatu yang harus Anda lihat!”
“Ada apa!?”
“Tidak bisa kujelaskan di telpon. Anda harus kemari! Ini penting!”
“Baiklah! Ke mana aku harus pergi?”
“Keck, Pak!”
Beberapa menit kemudian Paul telah berada di dalam Twin United States Keck Telescope, teleskop terbesar yang berada di komplekss observatorium Mauna Kea.
“Kuharap ini adalah alasan yang bagus untuk membangunkanku!” ucap Paul yang masih belum merelakan tidurnya terganggu.
Di dalam ruang teleskop terdapat dua orang pengamat. Salah satunya yang sedang menghadapi salah satu teleskop adalah pria berkulit hitam dan berusia sekitar 30 tahunan. Pria itu memberikan lima lembar foto berukuran 10R pada Paul yang langsung melihat lima lembar foto itu dengan saksama. Itu adalah foto sebuah bintang yang dipotret dari dalam observatorium dalam beberapa hari terakhir ini.
“Ini foto dari Bintang Alpha Veta. Kami mengambil gambarnya dalam dua hari terakhir ini.” Orang berkulit hitam yang bernama Tracy Rustin menjelaskan. Dia yang bertanggung jawab atas terbangunnya Paul malam ini.
“Terang sekali,” komentar Paul.
“Semakin lama, cahaya bintang itu semakin terang. Apa Anda tahu tentang itu Pak?” tanya Tracy lagi.
Paul tidak langsung menjawab pertanyaan Tracy. Dia mengamati lembar demi lembar foto di hadapannya. Foto terakhir diambil pukul 00:15.
“Bagaimana sekarang?” tanya Paul.
“Sebaiknya Anda lihat sendiri.” Jawab Tracy.
Paul mengambil alih lensa teleskop dari tangan Tracy. Beberapa saat kemudian,
“Tidak mungkin! Kita harus menghubungi NASA. Mereka pasti telah mengetahui hal ini!” serunya.
03.12 WS, Jayapura - Papua
Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an berkumandang memecah pagi yang dingin dari sebuah rumah sederhana yang berada di daerah Dok 5, sebelah barat kota Jayapura, Papua. Suara yang merdu itu berasal dari mulut seorang remaja putri berusia sekitar 15 tahun di dalam sebuah kamarnya.
Pintu kamar terbuka ketika gadis itu menyudahi bacaannya.
“Ridha, sahur dulu. Makanan sudah siap,”
Ridha menoleh ke arah ibunya yang berdiri di balik pintu.
“Sebentar lagi Bu,” kata gadis itu.
“Jangan terlalu lama, nanti keburu Imsak” kata ibunya.
10 menit kemudian Ridha bersama ayah ibunya telah berada di meja makan. Bersiap-siap untuk sahur, sebagai bagian dari ibadah puasa di bulan Ramadhan.
“Oya Bu, tadi malam Priska nelepon. Mungkin Idul Fitri nanti dia tidak bisa pulang. Sibuk katanya. Sebagai orang baru dia banyak mendapat tugas.” Kata ayah Ridha.
“Apa Priska nggak dapat cuti Idul Fitri?” tanya ibunya.
“Bapak juga tanya begitu. Tapi kata Priska, biasanya orang baru nggak boleh ambil cuti di tahun pertama masa kerjanya. Baru tahun depan dia boleh mengajukan cuti Idul Fitri,” jawab ayah Ridha.
“Kok gitu ya aturan tempat kerja Priska,”
“Bapak juga nggak tahu. Kata Priska juga, lagi pula saat ini semua sarana transportasi telah penuh. Kalau pun bisa pulang, dia nggak akal kebagian tiket sebelum Idul Fitri. Priska titip salam saja buat Ibu dan Ridha. Tadinya dia mau bicara pada ibu. Tapi karena Bapak lihat Ibu sudah tidur, dan tidurnya pulas sekali, Bapak tidak tega membangunkan Ibu. Nanti Priska akan nelepon lagi kalau ada waktu,” kata Ayah Ridha sebelum mereka mulai makan.
“Ini pertama kalinya kita berlebaran tanpa Mbak Priska ya Bu.” ujar Ridha.
“Yahhh... apa boleh buat. Mbakmu telah tahu risiko saat memilih pekerjaannya. Itu adalah cita-cita Mbakmu sejak lama. Kita hanya bisa mendukung dan berdoa semoga dia berhasil dalam pekerjaannya. Bukan begitu, Bu?” kata ayah Ridha sambil melirik ke arah istrinya yang hanya diam. Pikiran wanita berusia 40 tahunan itu sedang tertuju pada anaknya yang berada di seberang lautan, nun jauh di sana.
06.10 WS, Bandung-Jawa Barat
“Pemirsa, pada libur panjang akhir pekan ini kepadatan kendaraan yang melewati tanjakan Nagrek sudah mulai ada peningkatan, walau belum menimbulkan kemacetan berarti. Arus kendaraan diperkirakan akan mencapai puncaknya sore hingga malam nanti. Saya Priska Chindyana melaporkan untuk VanTV langsung dari tanjakan Nagrek, Bandung.”
Priska Chindyana, atau biasa dipanggil Priska melepaskan mic mini yang terselip di kemejanya.
“Bagus Ka...sekarang kamu siap-siap kembali ke Jakarta. Indra akan menggantikan kamu di sini.” Kata seorang pria yang sedari tadi berdiri di dekat juru kamera. Dia adalah Budi Haryono, yang menjabat sebagai pengarah acara dalam liputan mudik VanTV.
“Naik kereta, Mas?” tanya Priska.
“Iya. Soalnya kami masih ada keperluan Bandung. Ini tiketnya. Kamu berangkat dengan kereta jam 9.15. Nanti kamu akan diantar ke hotel lalu langsung ke stasiun. Kamu sudah berkemas kan?” lanjut Budi.
“Udah, Mas.”
‘Bagus. Jadi kamu masih punya waktu kalu mau beli oleh-oleh. Sekalian aja nanti minta sopir anterin beli oleh-oleh.” Kata Budi lagi.
Priska hanya mengangguk mengiyakan sambil mengibaskan rambutnya yang panjangnya sebahu.
Tiga jam kemudian Priska berada dalam kereta api eksekutif yang akan membawanya ke Jakarta. AC pada kereta membantu menghilangkan keringat yang sedari tadi menempel pada bajunya.
Kok tumben panas ya! Batin Priska.
Baru jam sembilan pagi, tapi udara Bandung sudah terasa sangat panas. Padahal dulu ketika Priska masih kuliah di kota ini, suhu udaranya belum sepanas ini. Bahkan saat libur, jam segini biasanya Priska masih tidur di kamar kosnya dengan memakai selimut tebal, dan baru bangun saat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Jangan tanyakan jam berapa dia mandi.
Tapi sekarang kondisinya berbeda. Bahkan sebenarnya sejak subuh tadi, Priska sudah merasakan suhu udara yang meningkat. Padahal tadi gadis itu telah mandi, tapi semuanya jadi sia-sia ketika keringat kembali muncul. Bahkan menurut Priska Jakarta pun tidak sepanas Bandung saat ini. Mungkin karena adanya perubahan iklim akibat rusaknya alam oleh manusia, sehingga iklim semakin terasa tidak menentu dan semakin menyiksa. Bagi Priska yang sedang berpuasa, udara panas sedikit menghambatnya untuk melaksanakan ibadah wajib bagi umat muslim itu. Keinginan untuk minum kadang muncul di kepalanya, sekedar untuk menghilangkan rasa haus yang sering muncul di siang hari. Walau begitu, sampai sekarang Priska masih bisa menahan godaan itu.
Tempat duduk di sebelah Priska masih kosong. Mungkin pemilik tiket nanti baru muncul beberapa saat sebelum kereta berjalan, dan itu hal yang biasa. Banyak penumpang yang baru masuk ke dalam kereta saat kereta akan berangkat dengan berbagai alasan. Dari yang merasa pengap kalau menunggu di dalam kereta terlalu lama, sampai alasan menghabiskan rokok terlebih dahulu, karena di dalam kereta tidak boleh merokok. Siapa pun penumpang yang nanti duduk di sebelahnya, Priska berharap dia adalah orang yang menyenangkan Syukur-syukur kalau orang itu bisa diajak ngobrol, atau minimal orang itu tidak akan membuatnya merasa tidak nyaman selama dalam perjalanan dan membuatnya seperti ingin meloncat dari kereta.
Dugaan Priska benar. Lima menit sebelum kereta berangkat, sesosok tubuh berdiri di samping kursi yang kosong. Seorang pria, dan masih muda. Usianya mungkin sama atau hanya berbeda sedikit dari Priska. Gadis itu bisa menebaknya walau wajah pemuda itu sebagian tertutup topi bisbol berwarna hitam yang dipakainya.
Priska terus memandang ke arah pemuda yang sedang menaruh tasnya di atas kursi. Setelah menaruh tas, tanpa basa-basi pemuda tersebut duduk di samping Priska. Saat itulah Priska dapat melihat jelas wajah pemuda itu dari arah samping, dan tiba-tiba dia merasa dejavu. Merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya.
“Arya?” panggil Priska lirih, hampir tidak terdengar karena dia takut salah orang.
Tapi suaranya itu ternyata cukup untuk membuat pemuda di sampingnya menoleh.
“Kamu Arya kan?” ulang Priska untuk meyakinkan. Kali ini suaranya sedikit lebih keras.
Pemuda itu menatap wajah Priska sejenak, seolah-olah mengumpulkan memorinya yang berserakan di mana-mana.
“Priska?” akhirnya pemuda membuka suara.
“Ya Tuhan! Lo bener-bener Arya yah!?” tanpa sadar Priska setengah berteriak sehingga membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menoleh ke arah mereka.
Tapi gadis itu tidak peduli.
“Nggak nyangka bisa ketemu lo di sini” kata Priska lagi.
“Sama. Gue juga nggak nyangka. Apa kabar?” tanya Arya.
“Baik. Lo?”
“Baik.”
Suara peluit kereta menandakan kereta akan segera berangkat. Priska merasa perjalanan kali akan menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan. Bertemu dengan teman lama yang dikenalnya semasa kuliah pasti akan sangat mengasyikkan dan membuat perjalanan Jakarta – Bandung tidak akan terasa lama. Rasa lelah dan kantuk yang menyerang Priska sedari tadi karena bekerja dari subuh pun seakan menjadi sirna dengan kehadiran Arya.
09.41 WS Hal yang sama terjadi juga pada Jakarta. Seperti juga kota-kota lainnya yang terletak di pinggir pantai, Jakarta hampir rata dengan tanah, tersapu gelombang raksasa yang memorak-porandakan semua infrastruktur di ibukota negara tersebut. Dari puncak bukit, Arya memandang ke bawah, ke kejauhan di mana tadinya terdapat sebuah kota bernama Jakarta. Kini yang terlihat hanya hamparan air membiru yang sangat luas. Walau serangan gelombang telah reda, tapi air tidak segera surut. Hal itu karena Jakarta terletak di dataran yang paling rendah dekat bibir pantai, dan datarannya yang luas relatif sama ketinggiannya sehingga air mengalir lambat kembali ke laut. Hujan sendiri telah mereda, hanya tinggal bintik-bintik air saja yang masih turun. Walau begitu awan tebal masih menggelayut di langit. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati Arya. Terlebih dia memikirkan nasib Priska yang terakhir kali diketahuinya masih berada di dalam kota.
11.35 WSKota Jayapura yang terletak di pinggir pantai Samudera Pasifik bagaikan lenyap di telan bumi. Gelombang raksasa yang menghantam daratan hingga sejauh beberapa puluh kilometer dari bibir pantai telah menghancurkan segalanya. Bangunan, tumbuhan, dan kehidupan lainnya. Belum lagi adanya arus balik kembali ke laut yang menyeret apa saja yang dilaluinya. Pasca serangan gelombang raksasa yang mendadak itu meninggalkan genangan air setinggi kurang lebih 5-10 meter. Mayat makhluk hidup termasuk binatang dan manusia tampak mengambang. Beberapa orang yang selamat dari gelombang raksasa tersebut tampak mencari tempat yang lebih aman, seperti puncak gedung bertingkat, ataupun perbukitan yang mengelilingi ibukota provinsi paling timur Indonesia itu.Sekitar 8 kilometer sebelah selatan Jayapura, sebuah kompleks perumahan penduduk juga tidak luput dari serangan gelombang raksasa yang mendadak itu. Tapi tidak seperti tempat lainnya, kompleks perumaha
Andi sedang berada di dalam mobil BMWnya, terjebak di tengah kemacetan dan genangan air yang menghambat perjalanannya. Dalam hati dokter muda itu menyesal memakai mobil barunya di tengah hujan lebat yang mengguyur Jakarta sejak pagi. Kini, mobil yang dibelinya dengan sangat mahal itu, yang tadi pagi masih berkilat, telah basah dan dipenuhi lumpur dari genangan air yang dilewatinya sepanjang jalan. Andi juga merutuk karena tidak memperkirakan jalanan bakal semacet ini. Karena kesibukannya, Andi tidak sempat mencari info apa pun mengenai kondisi lalu lintas sebelum pergi. Yang jelas saat ini dia melihat orang-orang yang panik di jalan, sibuk seperti hendak keluar kota. Dokter muda itu hanya menduga mungkin ini karena liburan panjang dan efek arus mudik menjelang Idul Fitri. Tapi di sisi lain, Andi juga sempat melihat beberapa kerumunan massa yang nekat menjebol toko-toko dan menjarah isinya. Ada apa ini? batinnya. Setahu Andi, walau menjelang Idul Fitri terjadi
Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Bandung. Hujan deras yang mengguyur Bandung sejak dini hari tidak urung membuat Markas Polda Jawa Barat terkena banjir. Apalagi daerah di mana markas itu berdiri adalah dataran yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi tempat berkumpulnya air yang mengalir dari daerah yang lebih tinggi. Sejak pagi para anggota polisi yang berada di Polda sibuk menyelamatkan segala sesuatunya dari banjir, termasuk para tahanan yang berada di sel. Karena sel tahanan yang berada di bagian belakang kompleks Polda termasuk salah satu area yang tergenang air cukup tinggi, maka para tahanan harus dipindahkan ke area yang lebih aman. Dengan diiringi pengawalan para petugas polisi bersenjata, para tahanan pun digiring dari selnya ke bagian depan kompleks. Termasuk di antara para tahanan tersebut adalah Albertus Somata, pemimpin Sekte Hari Kiamat yang menghebohkan akhir-akhir ini, dan baru ditangkap kemarin.
Di dalam toilet, Priska menenangkan dirinya sambil membasuh wajahnya di wastafel. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, dan di dalam hatinya dia menyangkal hal tersebut. Hari kiamat? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Timbul setitik penyesalan di hati Priska. Kenapa dia tidak menuruti kemauan ibunya agar sekali saja bisa pulang ke rumah. Jika saja ketika itu dia pulang, paling tidak jika hari kiamat itu benar-benar terjadi, saat ini dia telah berkumpul bersama keluarganya, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintai dirinya. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu, Priska merogoh saku bajunya dan mengeluarkan Ponselnya. Dia hendak menelepon ke orang tuanya. Memberitahu semuanya sekaligus permintaan maaf dan penyesalannya. Tidak ada respons dari seberang telepon. Priska mencoba kembali menekan nomor ponsel orang tuanya. Hasilnya sama saja. Berapa kali pun dia mencoba, tetap tidak berhasil. Kenap
Priska tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hari kiamat? Hal itu tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lutut gadis itu serasa lemas. Keingintahuan yang begitu besar yang tadi menghinggapi dirinya hilang seketika, berganti dengan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. “Kita harus pergi sebelum segala sesuatunya menjadi buruk.” Kata Peter. “Apa yang menjadi buruk?” tanya Ferry heran. “Tentu saja cuaca ini.” “Maksud Anda?” Peter memandang Ferry sejenak. Dia maklum, sebagai orang awam Ferry memang tidak begitu mengerti tentang ilmu astronomi dan cuaca. “Terus terang saya tidak mengerti. Jika benar ada bintang dekat kita yang sangat panas, kenapa di Jakarta malah hujan. Disertai badai lagi. Ada apa ini?” tanya Ferry lagi. Peter menarik nafas. Dia terpaksa harus menjelaskan semuanya. “Anda tentu tahu tentang penguapan air bukan? Siklus air di alam hingga menghasilkan hujan?” kata Peter. Ferr