11.35 WS
Kota Jayapura yang terletak di pinggir pantai Samudera Pasifik bagaikan lenyap di telan bumi. Gelombang raksasa yang menghantam daratan hingga sejauh beberapa puluh kilometer dari bibir pantai telah menghancurkan segalanya. Bangunan, tumbuhan, dan kehidupan lainnya. Belum lagi adanya arus balik kembali ke laut yang menyeret apa saja yang dilaluinya. Pasca serangan gelombang raksasa yang mendadak itu meninggalkan genangan air setinggi kurang lebih 5-10 meter. Mayat makhluk hidup termasuk binatang dan manusia tampak mengambang. Beberapa orang yang selamat dari gelombang raksasa tersebut tampak mencari tempat yang lebih aman, seperti puncak gedung bertingkat, ataupun perbukitan yang mengelilingi ibukota provinsi paling timur Indonesia itu.
Sekitar 8 kilometer sebelah selatan Jayapura, sebuah kompleks perumahan penduduk juga tidak luput dari serangan gelombang raksasa yang mendadak itu. Tapi tidak seperti tempat lainnya, kompleks perumaha
09.41 WS Hal yang sama terjadi juga pada Jakarta. Seperti juga kota-kota lainnya yang terletak di pinggir pantai, Jakarta hampir rata dengan tanah, tersapu gelombang raksasa yang memorak-porandakan semua infrastruktur di ibukota negara tersebut. Dari puncak bukit, Arya memandang ke bawah, ke kejauhan di mana tadinya terdapat sebuah kota bernama Jakarta. Kini yang terlihat hanya hamparan air membiru yang sangat luas. Walau serangan gelombang telah reda, tapi air tidak segera surut. Hal itu karena Jakarta terletak di dataran yang paling rendah dekat bibir pantai, dan datarannya yang luas relatif sama ketinggiannya sehingga air mengalir lambat kembali ke laut. Hujan sendiri telah mereda, hanya tinggal bintik-bintik air saja yang masih turun. Walau begitu awan tebal masih menggelayut di langit. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati Arya. Terlebih dia memikirkan nasib Priska yang terakhir kali diketahuinya masih berada di dalam kota.
15 Mei 2012 01.42 WS (Waktu setempat) , Observatorium Boscha, Lembang – Bandung.. Arya melepaskan matanya dari lensa teleskop raksasa yang sedari tadi dihadapinya. Pemuda berusia 23 tahun itu mendesah pelan. Tampak kelelahan terpancar dari wajahnya. Sejak tiga hari terakhir ini, dirinya bagaikan menjadi seekor kelelawar, tidak tidur setiap malam. Itu dilakukan Arya untuk mengejar tugas skripsinya di jurusan Astronomi ITB. Pintu di lantai bawah ruang teleskop utama terbuka. Seorang pemuda yang usianya hampir sebaya dengan Arya memasuki ruangan. Namanya Purwanto. Kedua tangannya memegang dua gelas kopi panas yang baru dibuatnya. Purwanto menaiki tangga menuju ke arah teleskop utama. “Aku sudah buatkan kopi untukmu.” kata Purwanto sambil meletakkan salah satu gelas yang dipegangnya di atas meja kecil dekat Arya. “Thanks, ” balas Arya. “Bagaimana?
Dua bulan kemudian... Kantor Pusat National Aeronautics and Space Administration (NASA), Washington DC – Amerika Serikat... Seorang pria berusia 51 tahun bertubuh tinggi kurus dan berambut pendek memutih memasuki Administrator NASA dengan membawa sebuah map di tangan kanannya. Dia adalah John Whilton, Direktur Penelitian NASA yang sudah bekerja selama lebih dari 20 tahun di lembaga antariksa milik . Administrator NASA Robert Payton yang tadinya sedang fokus pada layar monitor di meja kerjanya mengalihkan pandangannya pada John. “Saya sudah dapatkan hasil dari Hubble dan satelit Prometheus. Itu memang benar bintang baru dengan kategori bintang kerdil bertipe K. Tapi saya rasa kategori ini bisa berubah.” Ujar John. “Oya, bintang kita itu telah mempunyai nama. Alpha Veta,” Pria itu menambahkan. “Alpha Veta
14 November 2014 Dua tahun kemudian... 02.34 WS Observatorium Mauna Kea, Hawaii, Dering Ponsel yang berada di samping ranjang membangunkan orang yang tidur di atasnya. Paul Gilbert, kepala observatorium berusia 46 tahun mengangkat Ponselnya dengan setengah hati. “Jika yang menelepon bukan wanita cantik atau tidak membawa berita bagus, kau akan Aku kutuk menjadi seorang insomnia!” Umpat Paul sambil menempelkan Ponsel ke telinga kanannya. Ternyata dari anak buahnya yang berjaga di observatorium. “Pak! Anda harus cepat kemari! Ada sesuatu yang harus Anda lihat!” “Ada apa!?” “Tidak bisa kujelaskan di telpon. Anda harus kemari! Ini penting!” “Baiklah! Ke mana aku harus pergi?” “Keck, Pak!” Beberapa menit kemudian Paul telah berada di dalam
Priska dan Arya pun mulai berbincang-bincang mengobrol mengenai keadaan masing-masing sepanjang perjalanan.“Oya, bagaimana kabar Putri? Kalian masih pacaran kan?” tanya Priska.Pertanyaan Priska itu membuat raut wajah Arya tiba-tiba berubah. Sejenak pemuda tersebut terdiam. Dari raut wajah pemuda itu, Priska seakan telah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Pasti bukan sesuatu yang menggembirakan.“Kami telah putus. Nggak lama setelah Putri lulus.” Jawab Arya akhirnya.“Putus? Kenapa?” tanya Priska.“Kamu sudah bisa tebak.”“Karena orang ketiga?”Arya mengangguk pelan.“Mungkin ini merupakan cerita klise. Setelah lulus, Sikap Putri mulai berubah. Kami jadi sering bertengkar, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Apalagi sejak Putri pulang ke rumah orang tuanya di Sumedang, hubungan kami semakin renggang. Komunikasi semakin jarang. Sampai akhirnya
Menjelang tengah hari, kereta yang membawa Priska dan Arya tiba di Stasiun Gambir, Jakarta. Terlambat sepuluh menit dari jadwal seharusnya. Ketika turun dari gerbong yang ber-AC itulah Priska baru menyadari panasnya udara Jakarta siang ini. “Eh, perasaan Gue atau Jakarta juga makin panas yah?” tanya Priska pada Arya. Arya yang berjalan di sampingnya juga merasakan hal yang sama. Dalam beberapa hari ini suhu udara di Jakarta terasa meningkat. Dan menurut Arya hal itu tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Di Bandung dia juga merasakan adanya peningkatan suhu. Mungkin hal ini terjadi di seluruh Indonesia. “Iya, kayaknya akhir-akhir ini udara makin panas aja.” Balas Arya. “Kira-kira kenapa bisa begitu?” tanya Priska. “Apa?” “Lo kan sarjana astronomi. Gue tanya kenapa bisa begitu....” “Mungkin karena musim kemarau yang panjang menyebabkan kelembaban udara menjadi rendah, atau bisa juga pengaruh angin panas di Pasifik. “ jawab A
Arya sedang berada di ruang kerjanya di LAPAN saat ponselnya berbunyi.Dari Priska? Tanyanya heran.“Halo?” sapa Arya.“Lo masih di kantor?” tanya Priska.“Iya. Ada apa?”“Pulang jam berapa?”“Paling jam 3 atau jam 4. Kenapa sih?”“Mau nggak nemenin Gue buka puasa?”Arya tertegun mendengar ucapan Priska.“Nemenin Lo buka puasa?” Pemuda itu balik bertanya.“Iya, sekalian kita lanjutin obrolan kita. Gue masih pengin ngobrol ama Lo,” jawab Priska.“Ngg... itu...”“Lo nggak bisa ya? Udah ada acara?” Tukas Priska“Bukan... bukan...”“Nggak papa kalau Lo ada acara atau nggak bisa,”“Nggak. Gue nggak ada acara kok. Jam berapa?”“Beneran Lo bisa?” tanya
Priska duduk menghadapi meja yang berada di dalam sebuah rumah makan di kawasan Pasar Festival, Kuningan Jakarta selatan. Sudah hampir satu jam dia berada di sana, setelah sebelumnya sengaja datang lebih awal dari waktu buka puasa supaya bisa mendapat tempat di rumah makan. Maklum, menjelang buka puasa, hampir semua rumah makan pasti penuh, apalagi rumah makan yang berada di daerah pemukiman padat penduduk atau perkantoran yang ramai. Terlambat datang sedikit saja, dipastikan tidak akan mendapat tempat makan. Bahkan jika sudah mendapat meja, harus selalu dijaga dan jangan pernah ditinggal walau hanya sebentar, karena pasti langsung diisi oleh orang lain, Bahkan andaikan telah memesan makanan dan minuman dan semuanya telah tersaji di atas meja, tetap tidak boleh ditinggal. Kalau sudah mendekati jam buka puasa memang terkadang suasana menjadi liar, di mana kadang berlaku hukum rimba ; siapa kuat dia yang menang.Waktu buka puasa tinggal lima belas menit