Share

8. Keputusan Bag. 2

Dua hari sebelumnya…

Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. 

Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?

Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. 

“Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”

Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis itu bukan siapa-siapa. 

Pemuda itu pun balik badan, menengok sekali lagi sebelum akhirnya mengikuti teman-teman lainnya beristirahat. 

***

Rombongan sekte Kuil CI’en dan Kuil Lingyin tiba wilayah mereka masing-masing. Pemimpin rombongan, Feng Yi dan Feng Ju bertugas melaporkan hasil pekerjaan mereka pada pemimpin sekte. 

Setelah satu hari perjalanan, rombongan Feng Ju tiba di kota Shihezi. Setelah memberi arahan singkat pada anak buahnya, pemuda itu segera berpisah dan menuju Kuil Lingyin di lereng gunung. Tanpa sempat istirahat ataupun berganti baju, dia menghadap pemimpin sekte.

Malam semakin larut setiba Feng Ju di depan pintu masuk Kuil Lingyin. Kompleks biaranya merupakan yang terbesar dari beberapa kuil lain yang ada di rangkaian Pegunungan Tianzi. Gaya arsitekturnya adalah Arsitektur Tiongkok yang telah berkembang selama ribuan tahun. 

Feng Ju menyusuri koridor panjang hingga sampai di sebuah ruangan yang terletak di bagian dalam. Dua orang pejuang murim berdiri berjaga di depan pintu. Setelah pemuda itu menyapa singkat, dia segera masuk ke dalam. 

Seorang pria paruh baya berusia empat puluh tahun tengah menatap bulan dan membelakangi Feng Ju. Pakaian putih dengan garis biru dongker adalah ciri khas dari para ahli bela diri dari Kuil Lingyin. 

“Aku Feng Ju, murid tingkat akhir sekte Kuil Lingyin menghadap pemimpin sekte.”

Laki-laki itu pun balik badan, memperlihatkan tatapan hangat walau manik hitamnya mulai mengabu termakan usia. Qin Bohai mengusap jenggot sepanjang dua senti itu dengan tenang.

“Aku senang kau sudah kembali, Feng Ju. Mari kita duduk dan minum teh bersama.” Qin Bohai mempersilahkan pemuda itu untuk duduk dan menuangkan secangkir teh hijau. “Bagaimana perjalananmu, apakah sulit?”

“Sama sekali tidak, Pemimpin Sekte. Itu semua berkat saudara Feng Yi yang dapat diandalkan.” 

Qin Bohai mengangguk paham, dia lalu menatap pemuda itu. Sebenarnya hatinya sudah sejak tadi ingin bertanya kabar. Mengenai gadis dalam ramalan. 

“Baiklah, mari kita dengar laporanmu. Melihatmu pulang sendiri, sepertinya gadis itu bukan yang kita cari?”

Feng Ju terdiam sejenak, agak enggan memberi kabar buruk pada Pemimpin Sekte. Mereka sudah mempercayakan tugas penting ini. Namun harus mendengar kegagalan. Pemuda itu menelan ludah getir, sebelum membalas tatapan Qin Bohai. 

“Mohon maaf, Pemimpin Sekte. Namun gadis itu tak kunjung kembali setelah pergi melawan Naga Huanglong.” 

“Begitukah? sayang sekali…,” Qin Bohai sontak menaruh punggung pada sandaran kursi. “Tidak ada satu nyawa pun luput dari kemarahan para Naga. Gadis itu jelas mati di tangan Naga Huanglong, sungguh malang.”

Kedua tangan Feng Ju terkepal erat di atas lutut. Rasa bersalah yang sudah menyusup diam-diam di relung hati kian membesar. Isi kepalanya begitu ribut, bisik-bisikan gaib menghantui tidurnya selama perjalanan pulang. 

‘Ini semua karena kalian.’

‘Kalianlah yang mendorong gadis tidak bersalah itu ke jurang kematian!’

‘Ketidak kompeten kalian lah yang seharusnya disalahkan!’

“–Feng Ju!”

Panggilan dari Qin Bohai seakan menebas bisikan-bisikan gaib di kepalanya. Pemuda itu sontak mengangkat kepalanya, membalas tatapan ramah dari Pemimpin Sekte. 

“Pulanglah dan beristirahat. Tidak perlu dipikirkan, karena semua yang terjadi memang sudah diatur oleh langit. Kita hanya berusaha mencari jalan dari tantangan yang diberikan dewa pada kita.”

Perkataan Qin Bohai meresap dalam pikiran Feng Ju. Pemuda itu kemudian mengangguk paham, dia pun berdiri, memberi hormat sebelum pamit undur diri. Qin Bohai meniup pelan teh hijau lalu menyesapnya hati-hati. Sorot matanya yang hangat berubah dingin dan penuh perhitungan. 

“Sebenarnya perasaan mengganjal apa ini?”

***

“Teknik Enam Kombinasi?” Jiu mengulang kembali kata-kata Shenlong dengan kening mengkerut. 

Setelah dia puas menangis, dan jatuh tertidur. Keesokan paginya, Jiu bangun dengan keadaan tubuh lebih segar walau masih sedikit ngilu. Shenlong datang menghampirinya dengan semangkuk sup berisikan wortel dan kentang. Namun rasanya yang ringan sangat enak dan membuat perut dan dada Jiu menghangat. 

“Benar, seperti yang aku jelaskan sebelumnya. Kondisi tubuhmu saat ini seperti wadah yang mengalami keretakan.” Shenlong duduk bersila di depan Jiu dan menjelaskan pada gadis itu dengan suara lembut.

“Itu semua terjadi karena membuka paksa inner ki dan mengeluarkan tenaga dalam secara instan.”

Jiu mengangguk lamat-lamat, dia masih tidak mempercayai pendengarannya. inner ki, naga, dan para pejuang murim. Sebenarnya dia ini berpindah dimensi atau masuk ke dalam novel?

“Teknik ini adalah teknik paling dasar, dia tidak bisa secara signifikan menaikan kekuatan dalam ki seseorang. Tapi justru secara sempurna membersihkan tubuh seseorang. Dengan kata lain, ini adalah teknik fundamental. Apa kau paham?”

Jiu tidak bergeming, raut wajahnya datar dan sorot matanya terlihat penuh keseriusan. Namun nyatanya, gadis itu sama sekali tidak mengerti akan penjelasan Shenlong. 

‘Enam Kombinasi? Seperti kata kuncikah? Dan apa maksudnya dengan membersihkan tubuh seseorang?! Apa cara kerjanya sama seperti buang air besar?‘

Bagaimana pun Jiu hidup selama dua puluh tahun sebagai warga Indonesia biasa. Tidak memiliki kemampuan istimewa seperti kepekaan indra. Sama pula dengan inner ki, tenaga dalam yang dikatakan Shenlong. 

Manik emas itu berubah lembut dengan senyum tipis. Sepertinya dia memahami keluh kesal di dalam kepala Jiu saat ini. 

“Aku akan membimbingmu dalam melakukan Teknik Enam Kombinasi. Tapi sebelum itu ada yang ingin aku dan Huanglong katakan padamu.”

Seakan sudah menunggu aba-aba dari Shenlong, pemuda berambut hitam pendek itu menghampiri mereka berdua. Huanglong duduk bersila di samping Shenlong, terlihat kalem dibanding sebelumnya. Jiu bahkan curiga, kalau Huanglong sedang sakit perut atau sakit gigi. 

“Mengenai Pusaka Mutiara Hitam yang ada di dalam tubuhmu.” Shenlong kembali bicara namun segera dipotong oleh Jiu. 

“–Kau tahu cara menarik keluar pusaka ini?!”

Shenlong menggelengkan kepalanya. “Sayangnya tidak. Pusaka itu sudah menyatu denganmu, karena dia dengan alaminya membungkus dan melindungi dantian milikmu.”

Perasaan kecewa kembali menyerang Jiu. Dia masih menyimpan harapan untuk menemukan jalan pulang. 

“Maafkan aku, Jiu.”

Jiu segera menggeleng dan melemparkan senyum manis. “Bukan salahmu, lagi pula ini suatu keuntungan bagiku. Jika seperti yang kau jelaskan padaku sebelumnya, bahwa qi murni bawaan lahir milikku itu retak. Dan pusaka Mutiara Hitam itu membungkus dantian milikku. Bukannya aku harus bersyukur karena nyawaku tidak dalam bahaya?”

“Heh! Untuk ukuran manusia, otakmu cukup encer.” Huanglong tiba-tiba menimpali sambil menyeringai. “Seharusnya dari tadi kau memahaminya dan tidak ribut-ribut ingin mengeluarkan pusaka itu.”

Mata Jiu menyipit kesal memandang Huanglong. Dia lalu membuang muka, dan bersedekap dada. Tidak bisa membantah perkataan ular sawah ini membuatnya marah. 

“Jadi aku dan Huanglong saling bertukar pikiran. Dan sepertinya bukan ide buruk mencoba mengumpulkan delapan pusaka tersisa.” Jiu sontak menoleh ke arah Shenlong saat pria itu bicara lagi.

“Mungkin saja seperti perkiraanmu sebelumnya, kita bisa menemukan cara pulang.”

“Bukannya ular sawah itu bilang, pusaka tidak punya kekuatan sebesar itu?”

Huanglong sontak menyahut. “Memang tidak punya! Lebih tepatnya tidak cukup kuat untuk membuka portal dunia lain.” Keningnya mengerut, seakan enggan menjelaskan. 

Sejenak Jiu terdiam, berpikir keras. Tidak ada salahnya dia mencoba, mengingat saat ini dia tidak memiliki petunjuk apapun. Gadis itu tidak memungkiri saat dia menyentuh Pusaka Mutiara Hitam, selain mengalami penglihatan. Ada hal baik yang Jiu dapatkan, nyawanya tidak lagi terancam dan sepertinya dia merasa lebih kuat. 

“Mengumpulkan pusaka artinya bertarung dengan delapan naga tersisa. Apa aku bisa melakukannya?” Jiu bertanya pada diri sendiri, namun Shenlong menjawabnya. 

“Kau tidak sendiri, Jiu.” Pemuda itu meraih kedua tangan Jiu dan menggenggamnya erat. “Aku bersamamu, kami bersamamu.”

“Secara teknis, hanya Shenlong yang bersamamu.” Dengan acuhnya Huanglong menyela tanpa melihat suasana. “Aku ikut karena dipaksa!”

“Ck, kau bisa pergi jika tidak mau!” Jiu berdecak sebal dan menarik tangannya dari Shenlong. Gadis itu tidak menyadari tatapan kecewa dari sang naga biru.

“Sayangnya aku harus ikut untuk mengajarimu. Itu kesepakatan yang aku buat dengan Shenlong.”

“Apa yang bisa ular sawah ajarkan? Bersembunyi di semak?”

“Kau ini!!”

Baiklah sebelum terjadi pertengkaran tidak penting, Shenlong segera melerai mereka berdua. Entah kapan dua orang ini bisa akur.

“Jadi, bagaimana keputusanmu?”

Jiu menoleh ke arah Shenlong, dan mengangguk. “Aku akan melakukannya, mengumpulkan delapan pusaka.”

“Baiklah, kalau begitu tujuan kita selanjutnya adalah kota Xiantao.” Shenlong mengeluarkan sebuah peta terbuat dari perkamen tua. “Kita tinggal menelusuri jalan, singgah sebentar di kota Shihezi sebelum melanjutkan perjalanan.”

Huanglong yang duduk di samping, tiba-tiba bertanya. “Kau tidak memberikan pusakamu?”

Dua mata berbeda warna itu menatap Shenlong ingin tahu. Pemuda dengan rambut hitam panjang sepunggung yang diikat tinggi itu berdehem pelan.

“Apa aku harus bertarung denganmu, Shenlong?” Jiu ikut bertanya, nada suaranya terdengar ragu. Gadis itu tidaklah bodoh, dia jelas tahu identitas asli sang pemuda tampan.

“Tidak, kau tidak harus melakukannya. Dengan senang hati aku akan berikan pusaka milikku.” Shenlong segera menjawab, tidak ingin membuat Jiu bersedih. “Tapi sekarang bukanlah saatnya. Ketika waktunya tiba, aku akan memberikan Pusaka Cakar Harimau padamu.”

“Baiklah, aku paham.”

Continue…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status