Home / Fantasi / The Horizon of Jiu / 7. Keputusan Bag. 1

Share

7. Keputusan Bag. 1

Author: Sei_30
last update Last Updated: 2023-08-11 13:28:37

 “...Jiu.”

Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. 

Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. 

“Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.

“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. 

“Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”

“Jiu…”

Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, balik lagi menatap sosok pria asing dan He Ting yang kian mendingin. 

Seakan ada kekuatan besar, menarik Jiu menjauh dari pemandangan di depan mata. Gadis itu mengulurkan tangan, seakan tidak ingin berpisah. Hatinya sakit, tidak rela jika harus pergi tanpa menghentikan tangis pilu itu. 

“Shi Jiu!”

Suara itu berhasil mengembalikan kesadaran Jiu. Gadis itu terbatuk kuat, sontak beranjak duduk. Napasnya sesak, dia seakan kesulitan bernapas. Sentuhan hangat dia rasakan di punggung, tangan besar menepuknya pelan. Membuat Jiu menoleh, melihat siapa pemiliknya. 

“Shenlong…” Manik kecoklatan itu mengerjap.

“Minumlah ini, hati-hati, awas tersedak.” Salah satu tangannya menyodorkan kantung air pada Jiu. Sementara tangan lain menahan punggung sang gadis. “Habiskan sampai setengah, kau butuh banyak cairan.”

Jiu mengangguk lemah, menggunakan kedua tangan untuk menopang kantung air dan meneguknya. Setelah berhasil menghabiskan setengah air, dia mengembalikannya pada Shenlong. Pemuda itu dengan hati-hati membaringkan Jiu kembali. 

“Kau pingsan dua hari setelah menyentuh pusaka.”

Kening Jiu menyatu mendengarnya, pantas saja seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Sejenak gadis itu merenung, mencoba mengingat lagi. Apa yang dialaminya usai menyentuh pusaka Mutiara Hitam. Perasaan sedih itu masih membekas di relung hati, namun yang tidak dia mengerti adalah mengapa Jiu memiliki rasa itu?

Seakan dia memahami He Ting, melihat pria yang memeluknya menangis. Perasaan bersalah karena harus meninggalkannya lagi membuat Jiu sesak napas. Tunggu, lagi?

“Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” Suara Shenlong membuyarkan lamunan Jiu. Pria itu menatapnya cemas. “Katakan padaku, di mana yang sakit?”

Jiu terkekeh pelan, melihat Shenlong panik membawa hiburan tersendiri. Padahal mereka baru kali ini bertemu, bagaimana bisa pemuda ini memberikan perhatian lebih. Jika orang lain melihat, mungkin mereka akan menyangka kalau Jiu dan Shenlong sudah lama saling kenal. 

“Di mana ular sawah itu?” Bukannya menjawab, Jiu malah balik bertanya. Dia baru ingat keberadaan Naga Kuning penguasa Lembah Suoxi. “Apa dia mati?”

“Wah, maaf sekali telah mengecewakan, Anda.” Sebuah suara terdengar memotong adu tatap Shenlong dan Jiu. Seorang pemuda hampir seusia Jiu duduk tidak jauh dari mereka. “Seperti yang kau lihat, aku masih hidup, belum mati seperti keinginanmu.”

Nada suaranya terdengar jengkel dan sarkas. Jiu menatap lama sosok pemuda berambut hitam pendek, bermata emas, dengan satu anting batu permata hitam di telinga kiri. Wajah rupawan yang tidak kalah dari Shenlong. Penampilan baru itu sedikit mengejutkan, namun melihat kepribadiannya yang masih menyebalkan. Jiu tidak jadi terpesona. 

“Justru kalau mati segampang itu. Gelar mu sebagai sembilan naga patut dipertanyakan. Kau tidak menyogok dewa, bukan?” Sindiran keras Jiu dibalas tatapan bingung oleh Huanglong. 

“Apa itu menyogok?”

Jiu hampir menepuk dahi mendengarnya. Gadis itu bahkan tidak ada niat untuk menjelaskan apa arti menyogok pada ular sawah satu ini. 

“Hei! Jangan menatapku seperti itu!” Huanglong menghardik kesal. Dia tidak suka melihat mata coklat Jiu melihatnya seakan lelah akan sikapnya. Sedetik kemudian sang naga kuning berdecak. “Jangan menatapku seperti itu juga!”

Kali ini Jiu yang berdecak. 

“Lagipula apa maksud omonganmu?! Tentu saja aku tidak mungkin mati ditangan manusia rendah sepertimu!”

Mendadak suasana berubah sunyi dan mencekam. Huanglong hampir tersedak saat pedang panjang dan tajam tepat di depan leher. Manik emas tidak asing itu menatapnya tajam dan dingin. 

“Huanglong, jaga ucapanmu.”

Seakan waktu saat itu berhenti berputar, padahal kenyataannya tidak sampai sedetik kemudian Huanglong menepis senjata itu. Naga kuning berdehem pelan, berusaha menutupi ketakutannya walau payah.

“Dia yang duluan!” Huanglong menunjuk Jiu dengan kesal. Tidak terima kalau hanya dia yang dimarahi. 

“Shenlong, dimana Pusaka Mutiara Hitam?” Jiu memilih untuk mengabaikan Huanglong. 

Pemuda itu menarik kembali pedangnya, lalu menoleh ke arah Jiu dengan tatapan lembut. Perubahan sikap yang kentara sekali membuat Huanglong mencak-mencak di ujung sana. Dan membuat Jiu tidak bisa berkata-kata. 

“Mutiara Hitam itu masuk ke dalam tubuhmu setelah kau menyentuhnya.”

Manik kecoklatan Jiu sontak membulat sempurna. Dia bahkan sontak beranjak duduk tiba-tiba hingga membuat kepalanya pusing. Shenlong sigap memegang punggung Jiu, menopang tubuh sang gadis agar tidak ambruk. 

“Kau baik-baik saja?”

“Tidak, aku tidak baik-baik saja!” Jiu tidak bermaksud meninggikan suaranya. Tapi dia kepalang panik.

“Aku bela-belain menantang naga, untuk mencari jalan pulang. Mungkin saja Pusaka Mutiara Hitam itu jawabannya. Tapi sekarang, benda itu masuk ke dalam tubuhku. Bagaimana cara aku mengeluarkannya?!”

Jiu menatap ke arah Shenlong dan Huanglong. Tidak ada suara dari mereka berdua. Keringat dingin turun perlahan di pelipis Jiu. Perasaannya berubah kacau, sedih, kecewa dan marah menjadi satu. Bagaimana dia pulang?

“Itu pusaka milikmu, Huanglong. Seharusnya kau tahu bagaimana cara merebutnya kembali dariku.”

“Aku tidak mau,” Huanglong menjawab santai. “Selama ini aku selalu merasa terbebani karena harus menjaga Pusaka yang dititipkan Dewa Langit padaku.”

Jiu mengerjapkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sementara itu Huanglong tersenyum miring. 

“Aku tidak perlu lagi menjalankan tugasku sebagai Sembilan Naga. Itu artinya, aku bebas!”

“Kau bangga menjadi naga pengangguran?” Jiu menatap Huanglong kesal. “Setidaknya selesaikan tugasmu sampai akhir, dasar ular sawah! Beritahu aku cara menarik keluar pusaka ini, dan cara aku mengaktifkannya untuk kembali ke dunia asalku!”

“Apa kau bodoh?” Pertanyaan tiba-tiba Huanglong mengejutkan Jiu.

“A-apa?”

“Pusaka itu tidak punya kekuatan untuk membuka jalan ke dunia lain.”

Perkataan Huanglong bagai petir di siang bolong. Shenlong menatapnya khawatir, dan si Naga Kuning sibuk mengorek telinganya tanpa peduli dunia. Jiu menghela napas panjang, lehernya sakit seakan darahnya naik ke atas kepala. 

“Aku harus menemui Feng Yi dan Feng Ju,” ucap Jiu lalu beranjak berdiri. 

“Kondisimu belum stabil, Jiu.” Tangan besar dengan jemari lentik itu menahan punggung sang gadis. “Lebih baik kau fokus memulihkan diri dulu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”

Jiu yang berdiri dengan bantuan lengan Shenlong menatap pria itu sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, kesal. Karena apa yang dikatakan pemuda ini benar. Saat ini kondisinya amat payah, berdiri saja susah. Kedua lututnya lemas tidak bertenaga. Namun Jiu juga tidak ingin membuang waktu setelah dua hari berlalu begitu saja. 

“Shenlong, apa aku boleh minta tolong?” 

“Tentu saja,” jawaban cepat dari Shenlong membuat Jiu tertawa pelan. 

Bagaimana bisa laki-laki yang baru ditemui ini begitu mempercayainya. Seakan siap memberikan seluruh nyawanya pada gadis seperti Jiu. Mungkin efek dari ingatan He Ting masih membekas pada dirinya, membuat pikiran negatif dan melankolis melanda. 

“Tolong antar aku ke bukit perbatasan lembah.”

Tatapan dari Jiu membuat Shenlong yang sudah membuka mulut untuk menolak jadi kembali bungkam. Pemuda itu mengangguk, dia melingkarkan jubah miliknya untuk menutupi bagian bawah Jiu. Kemudian Shenlong menggendongnya ala putri. 

“Selamat tinggal, jangan kembali lagi kalian berdua!” Huanglong melambai dengan gembira.

“Hei! Kau juga ikut, ular sawah!” Jiu menghardik kesal. 

Huanglong menggeleng tak mau, namun tatapan yang diberikan Shenlong terlalu menakutkan untuk diabaikan. Jadilah pemuda itu mengikuti dengan bibir cemberut. Pergerakan Shenlong dan Huanglong sangat cepat. Jiu semakin menyadari perbedaan kekuatan mereka dengan manusia biasa. 

Shenlong memimpin di depan, bergerak cepat , dalam sekali lompatan dua puluh meter terlewati. Perjalanan menuju bukit tempat terakhir Jiu berpisah dengan Feng Yi dan Feng Ju ditempuh hanya beberapa menit. Berbeda sekali dengan saat Jiu berjalan seorang diri. Setiba mereka di atas bukit, Shenlong menurunkan Jiu dari gendongannya. 

Bukit lapang itu nampak lenggang, kosong, dengan sisa-sisa perkemahan yang sudah dirapikan. Jiu tidak perlu berpikir keras, dia hanya harus menerima kalau rombongan itu telah pergi sejak dua hari lalu. Gadis itu jatuh terduduk, Shenlong sontak menghampirinya. 

Guncangan hebat terjadi pada batin Jiu. Tubuhnya bergetar pelan, menahan gejolak emosi yang berkumpul menjadi satu. Disaat seperti ini Jiu teringat dengan teman-temannya. Tawa canda yang kerap kali mereka lontarkan dengan topik tidak jelas. Sampai memori terbarunya bersama Tante Dwi. Menonton film di malam hari dengan seloyang pizza dan seliter coca cola. 

“...Pulang, aku mau pulang…” Setitik air mata jatuh membasahi tanah. “Aku ingin makan soto ayam buatan Tante Dwi… aku mau nongkrong bareng teman-teman. Aku mau pulang….” Jiu menengadah ke atas langit, menangis sejadi-jadinya. 

Shenlong berjalan pelan menghampiri Jiu. Pemuda itu berlutut satu kaki, tangannya meraih pundak gadis itu. Hanya sekali tarikan pelan, bahu mungil sang gadis jatuh bersandar pada dada bidang Shenlong. Jiu menangis tersedu-sedu, mengeluarkan perasaan sedih, marah, bercampur bersama kekecewaan.

Continue…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Horizon of Jiu   87. Akhir Dari Permulaan

    Sudah sejak pagi buta para warga sibuk bergotong royong. Mereka membersihkan puing-puing bangunan Kuil Kuda Putih. Beberapa rumah mengalami kerusakan akibat pertarungan. Para pedagang juga sibuk membersihkan sisa-sisa festival. Di tengah-tengah kesibukan bersuasana duka dan tegang. Seorang anak kecil menatap ke arah langit. Tidak ada yang menyadari bahwa matahari belum juga nampak. Meski langit sudah terang namun anehnya awan malah berkumpul dan berubah mendung. Tidak lama kemudian titik demi titik hujan membasahi permukaan tanah yang kering. “Hujan? Ini benar-benar hujan?!” Seorang pemuda berseru tidak percaya, menatap ke arah langit.“Demi Naga Panlong! HUJAN TELAH TURUN! HUJAN TELAH TURUN!”“Hore! Hujan! Hujan!”Seluruh warga yang ada di dalam rumah segera keluar ketika mendengar seruan dari luar. Hujan turun dengan deras pagi itu. Sebuah keajaiban setelah ratusan tahun tanah mereka tidak didatangi fenomena alami alam. Di tengah kebahagiaan para warga. Empat naga menatap dari kej

  • The Horizon of Jiu   86. Sampai Jumpa Lagi Kawan

    Ujung kaki berusaha menapak cepat demi kembali melompat. Shi Jiu memaksa tubuhnya, meraih, menyelamatkan yang seharusnya dilindungi olehnya. Semua terjadi begitu cepat, pedang menusuk hingga tembus ke sisi lain. Mao Niu terbatuk, memuntahkan darah segar. “MAO NIU!” Shi Jiu berteriak histeris. Mata emas sang naga pelindung Danau Gang membeku. Tidak mau mempercayai apa yang dia lihat. Dengan menggunakan sisa kekuatannya, ia melompat turun. Berlutut di sebelah Mao Niu bersama Shi Jiu.“Mao Niu bertahanlah… bertahanlah aku mohon!” Panlong menekan beberapa titik di daerah dada Mao Niu demi menghentikan pendarahan. “Pa-Pan…”“Tidak usah bicara, kau diam saja!”“Ti-tidak, a-aku harus bicara…,” Mao Niu menyentuh pelan punggung tangan Panlong. “Mu-mungkin ini terakhir kali kita bicara.” sambungnya lagi yang dibalas gelengan kuat dari Panlong. “Kau akan baik-baik saja! Sama seperti sebelumnya, akan aku berikan energi kehidupanku!”“Tidak, Pan. To-tolong jangan lakukan itu.” Mao Niu terbatuk

  • The Horizon of Jiu   85. Pertarungan Besar Bag. 5

    Lengang sejenak. Huanglong menatap Shenlong lamat-lamat. Jelas dia tahu manusia mana yang dimaksud. Sang kakak tidak akan membiarkan adiknya terluka, apalagi tewas. Keputusannya memiliki alasan kuat, Huanglong juga tidak ingin tahu. Apa yang akan terjadi pada dunia ini jika salah satu dari sembilan naga tewas. Suara bantingan keras terdengar menarik perhatian para naga. Ketua sekte sedang menahan Shi Kang menggantikan Huanglong. Feng Ju terbanting ke dinding, terbatuk keras mengeluarkan cairan merah. Feng Yi terlempar ke samping usai melindungi Xiang De. Qin Xiang dan Xiang De menyerang bergantian. Song Bojing dan Lai Shoushan sudah terkapar tidak jauh dari mereka. Keduanya telah kalah telak sejak beberapa menit yang lalu. Shi Kang sendiri dalam kondisi tidak baik. Efek dari Pil Keabadian hanya bertahan beberapa menit. Semakin cepat habis jika pemakai mengeluarkan kekuatannya tak terkendali. Itulah yang dilakukan Huanglong, membuat Shi Kang menghabiskan seluruh stok Pil Keabadian.

  • The Horizon of Jiu   84. Pertarungan Besar Bag. 4

    Shi Kang lompat menyerang Shi Jiu. Gadis itu dalam kondisi lelah setelah melawan Panlong. Terlebih tidak fokus, setengah tertidur semenjak Pusaka Sisik Ikan masuk ke dalam tubuhnya. Saat ini dia benar-benar tanpa penjagaan siapapun. Tidak hanya Feng Yi yang berusaha berlari mencegah Shi Kang. Tiga pemimpin sekte juga berlari ke arahnya. Berharap berhasil mencegah tragedi. Namun semua percuma, Shi Kang tetap lebih dulu tiba di depan Shi Jiu. Siap membunuh Shi Jiu yang belum juga sadar bersama Panlong dalam pelukannya. “Nona Shi Jiu!” Tepat ketika semua orang merasa putus asa. Gagal melindungi manusia paling penting di muka bumi. Mereka benar-benar melupakan satu hal. Kenyataan bahwa Shi Jiu tidak berkeliling seorang diri. Suara besar dari ledakan terdengar disusul kepulan debu dan pasir. Tepat di tengah-tengah Shi Kang dan Shi Jiu. Sosok pemuda dengan hanfu biru gelap serta berambut hitam bermata emas. Berhasil menangkap pedang Shi Kang dengan mudahnya menggunakan satu tangan.

  • The Horizon of Jiu   83. Pertarungan Besar Bag. 3

    “Kalian semua bukan lawanku!” Shi Kang menggerung marah. Seluruh tubuhnya bersinar dengan aura biru kehitaman. Kekuatan energi Ki mengalir deras di dalam tubuhnya. Membuat dia mampu melayang di udara setinggi satu meter. Qin Xiang bersama Feng Yi sejak tadi saling bahu-membahu demi melawan Shi Kang.“Pastikan dia tidak mengganggu pertempuran Nona Shi Jiu.” Qin Xiang berbisik di samping Feng Yi. Qin Xiang menghalau serangan dari Shi Kang. Pedangnya terayun kuat mementalkan serangan ke kanan. Dari balik punggungnya, Feng Yi muncul melakukan serangan balasan. Tiga kali tebasan lurus dan satu tebasan mendatar.Daya serang terlalu dangkal demi melukai Shi Kang. Pria tua itu membuat tameng transparan dengan pedangnya. Sebelum mengayunkan pedangnya dengan ringan. Mendorong mundur sang pemuda, kembali ke samping Ketua Sekte Kuil Ci’en.“Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi jika Shi Kang benar-benar bertarung dengan Naga Panlong. Aku tidak ingin keadaan bertambah buruk jika ada kemungkinan

  • The Horizon of Jiu   82. Pertarungan Besar Bag. 2

    “Jika tidak ada niat mengalahkanku, maka diam dan pergilah, Shi Jiu!”Ekor besar bersisik sekeras baja itu memukul Shi Jiu tepat di perut. Memantulkannya ke tanah. Debu dan pasir mengepul pekat. Detik berikutnya bayangan hitam melesat. Shi Jiu lompat menyerang ke arah Panlong. Seluruh tubuh Shi Jiu bersinar kuning keemasan. Ia menebaskan pedang berulang kali hingga menimbulkan efek ilusi. Salah satu teknik yang diajarkan oleh Huanglong.“HUJAN METEOR!” Shi Jiu menyerukan nama jurusnya. Tebasan pedang berubah menjadi tetesan cahaya memanjang. Siap menghujam tanpa ampun lawannya. Panlong mendengus kasar saat menangkis serangan seperti mengibas lalat. Shi Jiu menggeram tertahan. “Hei, mengapa aku harus bertarung melawanmu lagi?! Kau sudah aku kalahkan. Cepat berikan pusakamu padaku!” Shi Jiu kembali menyerang, kali ini menggunakan teknik yang diajarkan Longwang. Dari pedangnya muncul riak air memanjang. Ini mengingatkan Shi Jiu pada salah satu acara anime kesukaannya. Seorang pembasm

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status