Share

7. Keputusan Bag. 1

 “...Jiu.”

Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. 

Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. 

“Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.

“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. 

“Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”

“Jiu…”

Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, balik lagi menatap sosok pria asing dan He Ting yang kian mendingin. 

Seakan ada kekuatan besar, menarik Jiu menjauh dari pemandangan di depan mata. Gadis itu mengulurkan tangan, seakan tidak ingin berpisah. Hatinya sakit, tidak rela jika harus pergi tanpa menghentikan tangis pilu itu. 

“Shi Jiu!”

Suara itu berhasil mengembalikan kesadaran Jiu. Gadis itu terbatuk kuat, sontak beranjak duduk. Napasnya sesak, dia seakan kesulitan bernapas. Sentuhan hangat dia rasakan di punggung, tangan besar menepuknya pelan. Membuat Jiu menoleh, melihat siapa pemiliknya. 

“Shenlong…” Manik kecoklatan itu mengerjap.

“Minumlah ini, hati-hati, awas tersedak.” Salah satu tangannya menyodorkan kantung air pada Jiu. Sementara tangan lain menahan punggung sang gadis. “Habiskan sampai setengah, kau butuh banyak cairan.”

Jiu mengangguk lemah, menggunakan kedua tangan untuk menopang kantung air dan meneguknya. Setelah berhasil menghabiskan setengah air, dia mengembalikannya pada Shenlong. Pemuda itu dengan hati-hati membaringkan Jiu kembali. 

“Kau pingsan dua hari setelah menyentuh pusaka.”

Kening Jiu menyatu mendengarnya, pantas saja seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Sejenak gadis itu merenung, mencoba mengingat lagi. Apa yang dialaminya usai menyentuh pusaka Mutiara Hitam. Perasaan sedih itu masih membekas di relung hati, namun yang tidak dia mengerti adalah mengapa Jiu memiliki rasa itu?

Seakan dia memahami He Ting, melihat pria yang memeluknya menangis. Perasaan bersalah karena harus meninggalkannya lagi membuat Jiu sesak napas. Tunggu, lagi?

“Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” Suara Shenlong membuyarkan lamunan Jiu. Pria itu menatapnya cemas. “Katakan padaku, di mana yang sakit?”

Jiu terkekeh pelan, melihat Shenlong panik membawa hiburan tersendiri. Padahal mereka baru kali ini bertemu, bagaimana bisa pemuda ini memberikan perhatian lebih. Jika orang lain melihat, mungkin mereka akan menyangka kalau Jiu dan Shenlong sudah lama saling kenal. 

“Di mana ular sawah itu?” Bukannya menjawab, Jiu malah balik bertanya. Dia baru ingat keberadaan Naga Kuning penguasa Lembah Suoxi. “Apa dia mati?”

“Wah, maaf sekali telah mengecewakan, Anda.” Sebuah suara terdengar memotong adu tatap Shenlong dan Jiu. Seorang pemuda hampir seusia Jiu duduk tidak jauh dari mereka. “Seperti yang kau lihat, aku masih hidup, belum mati seperti keinginanmu.”

Nada suaranya terdengar jengkel dan sarkas. Jiu menatap lama sosok pemuda berambut hitam pendek, bermata emas, dengan satu anting batu permata hitam di telinga kiri. Wajah rupawan yang tidak kalah dari Shenlong. Penampilan baru itu sedikit mengejutkan, namun melihat kepribadiannya yang masih menyebalkan. Jiu tidak jadi terpesona. 

“Justru kalau mati segampang itu. Gelar mu sebagai sembilan naga patut dipertanyakan. Kau tidak menyogok dewa, bukan?” Sindiran keras Jiu dibalas tatapan bingung oleh Huanglong. 

“Apa itu menyogok?”

Jiu hampir menepuk dahi mendengarnya. Gadis itu bahkan tidak ada niat untuk menjelaskan apa arti menyogok pada ular sawah satu ini. 

“Hei! Jangan menatapku seperti itu!” Huanglong menghardik kesal. Dia tidak suka melihat mata coklat Jiu melihatnya seakan lelah akan sikapnya. Sedetik kemudian sang naga kuning berdecak. “Jangan menatapku seperti itu juga!”

Kali ini Jiu yang berdecak. 

“Lagipula apa maksud omonganmu?! Tentu saja aku tidak mungkin mati ditangan manusia rendah sepertimu!”

Mendadak suasana berubah sunyi dan mencekam. Huanglong hampir tersedak saat pedang panjang dan tajam tepat di depan leher. Manik emas tidak asing itu menatapnya tajam dan dingin. 

“Huanglong, jaga ucapanmu.”

Seakan waktu saat itu berhenti berputar, padahal kenyataannya tidak sampai sedetik kemudian Huanglong menepis senjata itu. Naga kuning berdehem pelan, berusaha menutupi ketakutannya walau payah.

“Dia yang duluan!” Huanglong menunjuk Jiu dengan kesal. Tidak terima kalau hanya dia yang dimarahi. 

“Shenlong, dimana Pusaka Mutiara Hitam?” Jiu memilih untuk mengabaikan Huanglong. 

Pemuda itu menarik kembali pedangnya, lalu menoleh ke arah Jiu dengan tatapan lembut. Perubahan sikap yang kentara sekali membuat Huanglong mencak-mencak di ujung sana. Dan membuat Jiu tidak bisa berkata-kata. 

“Mutiara Hitam itu masuk ke dalam tubuhmu setelah kau menyentuhnya.”

Manik kecoklatan Jiu sontak membulat sempurna. Dia bahkan sontak beranjak duduk tiba-tiba hingga membuat kepalanya pusing. Shenlong sigap memegang punggung Jiu, menopang tubuh sang gadis agar tidak ambruk. 

“Kau baik-baik saja?”

“Tidak, aku tidak baik-baik saja!” Jiu tidak bermaksud meninggikan suaranya. Tapi dia kepalang panik.

“Aku bela-belain menantang naga, untuk mencari jalan pulang. Mungkin saja Pusaka Mutiara Hitam itu jawabannya. Tapi sekarang, benda itu masuk ke dalam tubuhku. Bagaimana cara aku mengeluarkannya?!”

Jiu menatap ke arah Shenlong dan Huanglong. Tidak ada suara dari mereka berdua. Keringat dingin turun perlahan di pelipis Jiu. Perasaannya berubah kacau, sedih, kecewa dan marah menjadi satu. Bagaimana dia pulang?

“Itu pusaka milikmu, Huanglong. Seharusnya kau tahu bagaimana cara merebutnya kembali dariku.”

“Aku tidak mau,” Huanglong menjawab santai. “Selama ini aku selalu merasa terbebani karena harus menjaga Pusaka yang dititipkan Dewa Langit padaku.”

Jiu mengerjapkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sementara itu Huanglong tersenyum miring. 

“Aku tidak perlu lagi menjalankan tugasku sebagai Sembilan Naga. Itu artinya, aku bebas!”

“Kau bangga menjadi naga pengangguran?” Jiu menatap Huanglong kesal. “Setidaknya selesaikan tugasmu sampai akhir, dasar ular sawah! Beritahu aku cara menarik keluar pusaka ini, dan cara aku mengaktifkannya untuk kembali ke dunia asalku!”

“Apa kau bodoh?” Pertanyaan tiba-tiba Huanglong mengejutkan Jiu.

“A-apa?”

“Pusaka itu tidak punya kekuatan untuk membuka jalan ke dunia lain.”

Perkataan Huanglong bagai petir di siang bolong. Shenlong menatapnya khawatir, dan si Naga Kuning sibuk mengorek telinganya tanpa peduli dunia. Jiu menghela napas panjang, lehernya sakit seakan darahnya naik ke atas kepala. 

“Aku harus menemui Feng Yi dan Feng Ju,” ucap Jiu lalu beranjak berdiri. 

“Kondisimu belum stabil, Jiu.” Tangan besar dengan jemari lentik itu menahan punggung sang gadis. “Lebih baik kau fokus memulihkan diri dulu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”

Jiu yang berdiri dengan bantuan lengan Shenlong menatap pria itu sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, kesal. Karena apa yang dikatakan pemuda ini benar. Saat ini kondisinya amat payah, berdiri saja susah. Kedua lututnya lemas tidak bertenaga. Namun Jiu juga tidak ingin membuang waktu setelah dua hari berlalu begitu saja. 

“Shenlong, apa aku boleh minta tolong?” 

“Tentu saja,” jawaban cepat dari Shenlong membuat Jiu tertawa pelan. 

Bagaimana bisa laki-laki yang baru ditemui ini begitu mempercayainya. Seakan siap memberikan seluruh nyawanya pada gadis seperti Jiu. Mungkin efek dari ingatan He Ting masih membekas pada dirinya, membuat pikiran negatif dan melankolis melanda. 

“Tolong antar aku ke bukit perbatasan lembah.”

Tatapan dari Jiu membuat Shenlong yang sudah membuka mulut untuk menolak jadi kembali bungkam. Pemuda itu mengangguk, dia melingkarkan jubah miliknya untuk menutupi bagian bawah Jiu. Kemudian Shenlong menggendongnya ala putri. 

“Selamat tinggal, jangan kembali lagi kalian berdua!” Huanglong melambai dengan gembira.

“Hei! Kau juga ikut, ular sawah!” Jiu menghardik kesal. 

Huanglong menggeleng tak mau, namun tatapan yang diberikan Shenlong terlalu menakutkan untuk diabaikan. Jadilah pemuda itu mengikuti dengan bibir cemberut. Pergerakan Shenlong dan Huanglong sangat cepat. Jiu semakin menyadari perbedaan kekuatan mereka dengan manusia biasa. 

Shenlong memimpin di depan, bergerak cepat , dalam sekali lompatan dua puluh meter terlewati. Perjalanan menuju bukit tempat terakhir Jiu berpisah dengan Feng Yi dan Feng Ju ditempuh hanya beberapa menit. Berbeda sekali dengan saat Jiu berjalan seorang diri. Setiba mereka di atas bukit, Shenlong menurunkan Jiu dari gendongannya. 

Bukit lapang itu nampak lenggang, kosong, dengan sisa-sisa perkemahan yang sudah dirapikan. Jiu tidak perlu berpikir keras, dia hanya harus menerima kalau rombongan itu telah pergi sejak dua hari lalu. Gadis itu jatuh terduduk, Shenlong sontak menghampirinya. 

Guncangan hebat terjadi pada batin Jiu. Tubuhnya bergetar pelan, menahan gejolak emosi yang berkumpul menjadi satu. Disaat seperti ini Jiu teringat dengan teman-temannya. Tawa canda yang kerap kali mereka lontarkan dengan topik tidak jelas. Sampai memori terbarunya bersama Tante Dwi. Menonton film di malam hari dengan seloyang pizza dan seliter coca cola. 

“...Pulang, aku mau pulang…” Setitik air mata jatuh membasahi tanah. “Aku ingin makan soto ayam buatan Tante Dwi… aku mau nongkrong bareng teman-teman. Aku mau pulang….” Jiu menengadah ke atas langit, menangis sejadi-jadinya. 

Shenlong berjalan pelan menghampiri Jiu. Pemuda itu berlutut satu kaki, tangannya meraih pundak gadis itu. Hanya sekali tarikan pelan, bahu mungil sang gadis jatuh bersandar pada dada bidang Shenlong. Jiu menangis tersedu-sedu, mengeluarkan perasaan sedih, marah, bercampur bersama kekecewaan.

Continue…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status