Nina merasakan perutnya mual dan kepalanya berat seperti terhimpit beban puluhan kilo. Berikutnya ia terhempas ke suatu ruang hampa yang membuat tubuhnya melayang. Dari kejauhan tampak gerbang hitam yang terbuat dari susunan tulang belulang. Aura kegelapan jelas tampak dari balik gerbang tersebut. Nina mencoba berpikir apakah dirinya sedang dalam mimpi akibat benturan atau memang terhempas di alam mengerikan ini.
Kegelapan menyelimuti hingga sejauh matanya memandang. Nina tidak mampu melihat di mana ujung dari dimensi yang aneh ini. Satu-satunya cahaya adalah pancaran sinar merah dari arah gerbang tersebut. Nina melihat ke bawah dan ada landasan mirip dengan bentuk gumpalan awan hitam. Begitu dirinya mencoba turun, kakinya menapak dengan mudah. Ternyata cukup padat.
Nina berjalan menuju gerbang tersebut dengan hati-hati dan waspada. Tangannya siap menghantam siapa pun yang ia curigai. Mendadak matanya melihat satu persatu bentuk manusia mirip dengan asap hologram. Tubu
Roth menyentuh tangan Elba dengan pelan. Nina mulai membuka mata dengan keringat yang terus meleleh dari keningnya. Wanita itu tampak mual dan Oliver dengan sigap meraih ember dan mendekatkan pada Nina.Semua isi lambung Nina keluar. Oliver mengurut tengkuk Nina sementara tangan kirinya menadah dengan ember. Setelah beberapa saat, Nina duduk tegak dan mengusap mulutnya. Ekspresi wajah Nina mulai memerah dan tidak lagi pucat.“Sial! Aku terjebak di gerbang neraka!” umpat Nina dengan terengah.“Tubuhmu panas seperti bara api sejak terlempar,” ucap Elba mengangsurkan gelas minum. Nina menenggak hingga habis.“Apa yang terjadi?” tanya Nina kemudian.“Kamu pingsan sudah hampir dua hari. Jangan heran dengan tambahan tattoo di lehermu. Sepertinya raja iblis itu memberimu oleh-oleh yang berkesan,” cetus Roth menunjuk pada pangkal leher Nina. Wanita itu meraba tubuhnya dan meringis.“Panas,”
Setelah berdebat dengan hebat dan melewati sesi bertengkar yang cukup tinggi, Nina akhirnya mengalah. Mereka mengikuti keinginan Abigail untuk kembali ke Roger Pass. Lexi menyambut mereka dengan pandangan heran, tapi tampak bahagia saat melihat Abigail selamat.“Markus benar, kalian memang tim yang paling tepat mengasuh Abigail!” seru Lexi sambil tak henti-hentinya mengusap air mata.“Kau mengenal Markus dengan baik, rupanya,” jawab Elba santun.“Aku dan Robert dulu bekerja untuk Nasa. Kami ilmuwan yang sangat berdedikasi,” balas Lexi dengan sendu. Kemudian mengalir cerita tentang bagaimana ia menjadi ‘mata’ bagi Markus dalam mengawasi keluarganya.Pria tua itu masih merawat rumah peninggalan Robert, kakek Abigail, dengan baik. Setelah melepas rindu dan sedikit berbincang, mereka diantar Lexi menuju pemakaman umum. Para tetangga yang melihat Abigail kembali menyingkir dengan tatapan menyelidik.
Waktu berganti dengan cepat. Tidak terasa semua berlalu dan mengalir dengan baik. Seakan-akan semua mengikuti alur yang semestinya. Apa yang tidak pernah mereka duga dan rencanakan, ternyata berjalan dengan baik dan hampir tanpa kendala.Nina mulai merenggangkan sedikit sikap dingin dan tak acuhnya. Tiga bulan hidup bersama Abigail, membuatnya berubah. Secara naluriah, ia menjadi seorang kakak bagi remaja yang menginjak tahun ketiga belas dalam hidupnya.Elba dan Roth menghabiskan waktu dengan Oliver membantu Lexi dan sibuk berburu. Bukan untuk membantai binatang, namun lebih sebagai aktivitas olahraga dan melatih otot maskulin mereka.“Tetangga baru dari rumah sebelah mengantar ini tadi pagi!” seru Roth meletakkan keranjang buah di meja makan. Nina baru selesai merapikan barang belanjaan di kulkas.“Tetangga baru? Sejak kapan?” tanyanya heran.“Aku berangkat!” seru Abigail dari pintu depan dan tanpa menunggu jaw
Malam itu, mereka berdiskusi dengan seru mengenai penemuan di lereng gunung. Nina mendengarkan dengan santai di dekat jendela.“Aku bersyukur tidak mengiyakan usulan teman-teman yang ingin berkemah akhir pekan lalu,” ucap Abigail dengan mimik cemas.“Jauhi hutan, Abe!” seru Nina tanpa memalingkan wajahnya.“Aku tahu, kami mengagalkan rencana itu,” sahut Abigail cepat-cepat.“Bagaimana kabar tetangga sebelah?” tanya Elba.“Kosong. Kami mencoba mengunjungi mereka dua kali,” sahut Roth dari ujung sofa.“Aku sudah menempatkan mantra penangkal di rumah itu. Jika mereka benar-benar sosok yang bukan manusia, tidak bisa lagi masuk,” imbuh Oliver.“Aku heran mereka bisa menemukan kita di sini,” renung Elba.“Mungkin mereka adalah para kultus biarawan yang masih mengincar Abe,” timpal Roth.“Atau mungkin utusan ayah Abigail sendir
Siang itu baru saja Abigail meletakkan tas ransel dan menyantap potongan buah yang disiapkan Nina untuknya, dia mendengar bel pintu depan berdentang.“Oliver, ada tamu di depan!” teriak Abigail sambil menuangkan yogurt pada mangkuk dan menambahkan potongan buah di atasnya. Roth muncul dari kamar dan tampak mengantuk.“Wah boleh juga ide kamu,” seru Roth tertarik pada kreasi Abigail. Remaja itu tersenyum bangga.“Padahal ini sudah menjadi makananku sejak kecil,” cetus Abigail santai. Bel pintu kembali berbunyi. Abigail dengan kesal melangkah ke depan dan membukanya. Kosong, tidak ada siapa pun di sana. Abigail membanting pintu dengan jengkel.“Halloween belum dimulai, tapi teror sudah ada sejak siang,” gerutunya.“Nina dan Elba?” tanya Abigail kemudian.“Pergi dengan Sheriff.” Roth menyendok yogurt dan matanya terpejam menikmati sensasi rasanya.“Jangan-janga
Roth dan Nina mengejar arah jin kanibal tersebut melarikan diri. Keduanya melesat dengan kecepatan penuh.“Kamu sangat mengejutkan, Nina!” seru Roth di antara lompatan mereka dari rumah ke rumah melewati atap.“Maksudmu?” sahut Nina heran.“Kau makin tangkas dan sangat menguasai diri dengan baik. Kemampuanmu sebagai The Huntress (pemburu wanita) makin terlihat dan berkualitas!” jawab Roth setengah berteriak mengalahkan deru angin yang terkadang berhembus. Nina tersenyum samar.“Sejak kapan aku menjadi pemburu?” timpalnya geli. “Julukan itu boleh juga.” Nina tampak menyukai sebutan barunya.Roth melirik dengan tawa lepas. Nina berhenti serta melompat ke atas cerobong asap. Roth mengikuti dengan sikap siaga.“Jin itu sudah terlalu jauh meninggalkan tempat ini. Tidak lagi kucium baunya,” ucap Nina kesal.“Menurutmu, apa tujuan jin kanibal tersebut?” Roth
Nina terbangun setelah tertidur cukup lama. Lehernya terasa sakit, karena bantal yang menyanggah kepalanya tidak dalam posisi benar.Tangannya meraih ponsel dan memeriksa isi pesan. Sementara ia menggulirkan layar dengan jari, matanya sesekali melihat ke dalam.“Abe! Sudah pulangkah kau?” teriak Nina. Elba muncul dengan potongan buah di tangan.“Thanks, Elba. Kemana yang lain?” tanya Nina tanpa mengalihkan matanya pada layar ponsel. Mulutnya sibuk mengunyah potongan buah pir yang manis dan lezat.“Ada di halaman belakang. Abigail baru saja mendapat anak anjing lucu dari sahabatnya, Claire,” sahut Elba.Nina tidak merespon. Ia tercekat oleh isi pesan dari seseorang yang ia minta bantuan tempo hari. Coque, asistan Markus yang juga seorang ahli intel vatikan. Dalam isi pesan tersebut, Nina tidak bisa menghilangkan bekas atau tanda yang ia peroleh dari neraka dengan mudah.Satu-satunya hal yang harus ia lakuka
Nina dan Elba melesat bagaikan anak panah lepas dari busur. Elba sempat tertinggal jauh. Ia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh seperti Nina. Wanita itu secara alami mendapat semua kemampuan dari perannya menjadi seorang pemburu wanita.Ray yang dalam wujud serigalanya segera menuju batas masuk kota Roger Pass. Begitu tiba, mereka sudah melihat Roth dan Abigail berdiri dengan sikap siaga.“Kenapa kalian berada di sini?” seru Nina kaget.“Roth mengatakan ada kaum vampir mendekat!” jawab Abigail bersantai dengan duduk di tengah jalan aspal.“Astaga! Serigala itu indah dan gagah sekali!” pekik Abigail gembira.“Jangan kurang ajar, Abe. Dia adalah Ray! Usianya sudah tiga kali lipat dirimu!” bentak Nina kesal. Abigail mengurungkan niatnya untuk mengelus kepala Ray.Tak lama, kawanan serigala yang lain tiba. Sekitar tujuh dari mereka muncul. Ray berpaling pada Elba.“Separuh kawananku