Share

6. Pertemuan

Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.

***

"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.

Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.

Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padahal kedua orang tua Aghnya melarang keras pernikahan tersebut.

Namun, dengan dalih suatu saat nanti sikap Barend akan berubah, ia memaksakan kehendak, dan mengabaikan peringatan dari kedua orang tuanya. Penyesalan yang akan terus membekas sampai akhir hayat hidup Aghnya.

"Mom ..." Felen terisak pelan. Tangannya yang berada dalam genggaman Aghnya menguat seriring dengan seruan beringas anak buah Barend.

"Sttt ... tidak apa-apa, Sayang. Kita pasti bisa menyelamatkan diri. Maaf, maafkan ibumu yang bodoh ini," lirihnya penuh penyesalan karena baru menyadari kebodohannya yang berakibat pada Felen.

Tidak dipedulikan tubuh lelahnya yang terasa remuk redam. Aghnya terus berlari demi menyelamatkan diri bersama Felen yang tampak lelah seperti dirinya. Tak akan Aghnya biarkan Barend tertawa senang di atas makamnya karena berhasil mendapatkan hal yang diinginkan.

"Mommy ... aku takut ... "

Tanpa menghentikan langkah kaki untuk memasuki hutan, Aghnya terus menenangkan Felen dengan kalimat-kalimat meyakinkan. 

"Tidak apa-apa, sayang. Kita pasti selamat. Mommy berjanji padamu," lirih tegas terucap dari bibir wanita itu. Harapan terus ditanamkan dalam hati bahwa akan ada seseorang yang menyelamatkan mereka meski kemungkinan tersebut sangat kecil. 

Dor! Dor! Dor!

Letusan nyaring pistol mengagetkan Aghnya dan Felen. Rasa panas dan perih yang terasa di punggung membuat Aghnya langsung ambruk ke tanah dengan darah merembes di pakaiannya. Punggung Aghnya tertembak timah panas tersebut.

"Mommy ... !" Felen memekik kaget melihat Aghnya jatuh tersungkur, kemudian tergeletak bersimbah darah di depannya.

"Mom ... ?" Telapak tangan Felen menyentuh pipi pucat Aghnya. Memastikan kalau ibunya itu masih bernapas meski matanya tertutup.

"Ya, sa ... yang ...?" balas Aghnya terputus-putus.

Setiap embusan napasnya terasa menyakitkan karena luka tembak di punggung. Aghnya meringis kesakitan dengan air mata mengalir deras di pipi. Hati wanita itu menjerit pilu saat merasakan hidupnya tidak akan lama lagi. Aghnya belum ingin mati, dan meninggalkan Felen begitu saja setelah selama beberapa tahun terakhir ia mengabaikan keberadaan putrinya tersebut karena terlalu terpuruk oleh pengkhianatan Barend.

"Mommy, kau tidak apa-apa ‘kan?" tanya Felen dengan isak tangis yang mengeras ketika melihat darah yang merembes keluar dari tubuh Aghnya semakin banyak.

Hati Aghnya terasa sakit. Kepedulian yang Felen tunjukkan padanya membuat ia merasa malu. Aghnya gagal menjadi ibu yang baik bagi Felen, tetapi gadis itu masih tetap mengkhawatirkannya.

"Mereka di sini!"

Teriakkan tiba-tiba itu sontak membuat Aghnya langsung menyumpahi Barend.

‘Terkutuklah kau Barend! Aku pastikan akan menyeretmu ke neraka karena melakukan ini padaku dan gadis kecilku. Demi iblis penghuni neraka terdalam, kau akan merasakan rasa sakit yang teramat mengerikan,’ batinnya berteriak.

Wush...

Embusan angin dingin datang secara tiba-tiba. Berputar angkuh setelah Aghnya mengumpati suaminya-- Barend. Seolah doa dan harapannya terkabul. Dari dalam putaran angin muncul sesosok tampan dengan pakaian keseluruhan berwarna hitam layaknya prajurit dewa kematian. Pria itu tersenyum dingin ke arah Aghnya dan Felen.

Aghnya yang melihat itu seketika diserang tremor hebat. Bahkan ketika ajal siap menghampiri, sosok di hadapannya tetap memberi ketakutan sampai membuat tubuh wanita itu bergetar hebat. Walau begitu, melihat sosok tersebut, harapan yang hampir pupus dalam hatinya muncul kembali. Bermekaran selayaknya bunga di musim semi.

Tatapan dingin pria tersebut tertuju pada Felen. Terlihat tertarik, dengan kilat kejam di netra abunya. Ia bersimpuh di hadapan Felen yang menatap lekat ke arahnya dengan mata memancar berani.

"Hallo, gadis manusia," sapa sosok itu dengan nada ceria. Senyum lebarnya terlihat menawan sekaligus mengerikan.

"Kau ... siapa?"

"Hm ... ?" Pria itu terlihat berpikir keras, lalu menjawab. "Kau bisa memanggilku Leon. Siapa namamu gadis kecil?"

Felen tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Mata hijau cemerlangnya menelisik sosok di depannya dengan sangat teleti. "Aku ... Felenia," jawab gadis itu sedikit tersendat gugup.

Leon tertawa renyah merasakan kegugupan Felen ketika ia menampilkan senyum manis nan rupawan. Iblis itu sangat senang karena akhirnya bisa menunjukkan wujud terbaiknya pada Felen. Bukan wujud hewan berkaki empat yang hanya bisa mengeong. Tatapannya kemudian beralih pada Aghnya yang tergeletak lemah di samping Felen. Seringai lebar terbit di bibir Leon melihat darah segar yang menggenang di sekitar tubuh wanita itu. Ia mengulurkan tangan, lalu mengusap lembut pipi Aghnya.

"Dan kau wanita, siapa namamu?"

"Aghnya Sashenka Henzie," jawabnya lirih. Hanya dengan sekali melihat, Aghnya mengetahui kalau pria di hadapannya bukan manusia.

"Nah, Aghnya, apa keinginanmu?" Leon bertanya dengan senyum semakin cerah. Namun, belum sempat wanita itu membalas Leon, seruan kasar seorang pria menyela. Pria yang tadi menembak Aghnya menatap berang ke arah Leon.

"Siapa kau?" tanya pria itu dengan suara keras.

Raut wajah Leon menggelap. Ia berdecak pelan. Kedatangan pria-pria itu tentu sangat mengganggunya, dan ia tidak menyukai hal itu sama sekali. Leon mengibaskan tangan sekali, dan pria-pria itu terhempas oleh angin kuat yang langsung melukai tubuh mereka. Tidak ada yang selamat dari hempasan angin tersebut. Mereka semua tergeletak, tak bernapas lagi.

"Nah... sampai di mana kita tadi?" Leon kembali duduk nyaman di depan Felen dan Aghnya setelah menyingkirkan para pengganggu. Ia mengabaikan raut wajah kaget keduanya. 

"Tolong... lindungi putriku, dan balaskan dendamku... pada suamiku, Ba... rend," lirih Aghnya susah payah. Luka tembak di tubuhnya terasa sangat menyakitkan. Hanya untuk bernapas saja ia kesulitan.

"Mom ... !" sahut Felen tidak terima karena Aghnya meminta tolong pada Leon yang tidak diketahui identitas sebenarnya.

"He~ merepotkan."

"Kumohon ... Aku tahu ... kau bisa mengabulkannya ..." Aghnya memohon sembari menangis, mengabaikan protes tidak terima dari Felen.

"Apa yang aku dapatkan dengan melakukan itu?"

"Akan kuberikan semua harta benda yang kumiliki. Kau bisa mengambilnya," sahut Aghnya cepat. Tangannya menyentuh kantung kumal yang berada di pinggang.

"Aku tidak tertarik dengan harta, Manusia." Leon tersenyum miring, terlihat merendahkan ucapan Aghnya.

"Ehm ... Leon?" Felen kembali menyela pembicaraan Aghnya dan Leon. Melihat ibunya yang terlihat sangat putus asa membuat Felen mau tidak mau ikut andil dalam percakapan mereka. Terlebih, perkara yang tengah dibicarakan menyangkut tentang dirinya.

"Hm, ada apa?"

Awalnya Felen ragu untuk menanyakan rasa penasarannya, tetapi ia merasa harus menyampaikan pertanyaan tersebut. Bagaimana pun pria itu sangat mencurigakan dengan muncul tiba-tiba, lalu menawarkan bantuan begitu saja.

"Kau ... bukan manusia ‘kan?"

Leon tersenyum, lalu mengendikan bahu. Ia tidak berniat membalas pertanyaan Felen sama sekali. Pria itu justru bertanya balik. "Menurutmu?"

Fokus Leon kembali pada Aghnya, mengabaikan Felen yang menatapnya sengit. "Aghnya, kau ingin membalaskan dendam pada suamimu, bukan?"

Aghnya yang sejak tadi menunggu dalam diam,  menoleh ketika Leon bertanya padanya. Kemudian, ia mengangguk tanpa keraguan.

"Ya, dan tolong lindungi putriku, Felenia," lirihnya pelan. Aghnya merasa tubuhnya tidak sanggup lagi untuk bertahan. Kegelapan terasa sangat dekat dan bisa merenggutnya kapan saja.

"Mom, lebih baik kau meminta dia menyembuhkan lukamu. Bukan malah meminta balas dendam!" Air mata Felen mengucur deras. Ia tidak terima dengan permintaan Aghnya yang terdengar sangat egois. Padahal, gadis itu tidak ingin kehilangan ibunya.

"Baiklah, aku akan mengabulkannya. Lagi pula itu bukan hal sulit."

"Tunggu!" Felen menyahut cepat. "Kalau begitu kabulkan juga permintaanku!" lanjutnya keras kepala.

"Sayangnya kau bukan orang yang memanggilku, jadi aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Gadis Kecil."

Gelengan tegas Leon membuat Felen kecewa. Tangisnya semakin keras. Ia merasa tak berguna karena tidak bisa menyelamatkan Aghnya.

"Mom, ganti permintaanmu. Kumohon jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau sendirian lagi." Felen memohon sembari menggenggam erat tangan Aghnya yang mulai terasa dingin.

Di antara sisa kesadarannya, Aghnya mengusap lembut pipi Felen yang banjir oleh air mata. Ia menyadari kalau permintaannya egois, tetapi dendam dan sakit hati wanita itu terlalu besar sehingga Aghnya memilih untuk mementingkan dendamnya daripada hidup bahagia bersama Felen.

"Maafkan keputusanku yang egois ini, tapi semua ini untukmu juga, Felenia. Tolong balaskan dendam Mom, ya?" Meski suara Aghnya terdengar lemah, tatapan wanita itu terlihat membara oleh kebencian.

Rahang Felen mengetat. Tidak mengangguk, tidak juga menolak lantang permintaan Aghnya. Setelahnya, ia hanya diam ketika napas Aghnya mulai semakin melemah. Perasaan gadis itu campur aduk, dan sulit untuk digambarkan dengan jelas. Namun, yang paling mendominasi adalah kehampaan dan perasaan terkhianat. Dada Felen terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Saat ini sesak yang tidak tertahankan tengah ia rasakan.

"Great. Tenang saja, aku akan memberi ibumu kedamaian sejati."

Kemudian, sepasang sayap hitam besar muncul di punggung Leon. Tanduk hitam seperti kambing mencuat di kepalanya. Netra abunya juga ikut berubah menjadi keemasan seiring dengan menelengkupnya sayap tersebut ke tubuh Aghnya. Di bawah tubuh wanita itu sebuah pentagram menyala terang. Felen memerhatikan itu dengan mata mengerjap.

Perlahan kesadaran Aghnya ditelan kegelapan. Tubuhnya yang tadi terasa berat dan menyakitkan menjadi ringan tanpa beban, selayaknya awan di langit yang diembus angin sepoi-sepoi. Lalu, kegelapan tersebut berubah menjadi ruangan putih, dan berubah lagi menjadi taman bunga yang amat indah. Aghnya akhirnya merasakan kedamaian abadi.

Sayap hitam Leon yang tadi terbentang lebar di punggungnya berpendar, lalu berhambur menjadi serpihan bulu gagak yang jatuh dengan indah melingkupi tubuh Aghnya. Beberapa terbang terhempas angin, dan beberapa lagi jatuh di sekitar Leon dan Felen. Felen mencoba meraih bulu hitam selembut sutra tersebut, tetapi saat tangan Felen menyentuhnya, bulu tersebut menghilang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status