 LOGIN
LOGINClaire longs for independence, but her father's controlling nature obstructs her aspirations. Her life takes a tumultuous turn with the arrival of the Blackwoods, infamous hunters of the supernatural, in her town. In a twist of fate, she meets Nate, the youngest son of the Blackwoods, and they fall deeply in love. However, their families' conflicting interests put their relationship in peril. As tensions mount and betrayals surface, Claire must navigate her way while also dealing with a rogue werewolf who is vying for the Alpha position. Will Claire and Nate's love be enough to overcome the obstacles they face, or will they succumb to the forces pulling them apart? Find out yourself. But one thing's for sure, their journey is sure to be a wild ride, filled with plenty of twists and turns along the way
View MoreAku tidak percaya, ternyata tubuh mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya.**
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.The Shadowbrook cemetery was, as usual, shrouded in darkness and fog, with the quietness of death permeating the atmosphere. Candles were still lit up with fresh flowers, indicating that someone had recently been buried. Nate and Claire had just arrived in the cemetery via a portal."Seriously, this is the only place you could bring us?" Claire asked Nate as she turned to him."This place is the best when it comes to quietness," Nate replied with a sneer.As they stood there, they heard distant squeaking and laughter. Three teenagers - two boys and a girl - had disturbed the dead and were causing a commotion."You know it's disrespectful to disturb the rest of the dead. That's why it's called 'rest in peace'. I mean, that isn't hard to understand," Claire scolded, but Nate remained silent. Despite his good looks, with his long black robe and dark hair, some strands of which had turned white, and his dark eyes and silk skin, Nate was reserved and mostly kept to himself. He reluctantly a
As they emerged from the portal, they found themselves standing inside a dense forest. Claire was not impressed. "This is it? This is Earth?" she sneered, looking around with a look of disdain. Dave, on the other hand, was apprehensive. This place was not safe. If anything were to happen out here, no one in their pack would know."Are you scared of rogue attacks?" Claire taunted with a smirk on her delicate face, as she took a seat on the ground. "You do know how dangerous it is, right?""I do, Claire. And for the record, I came here to teach you, not to run away," Dave replied, scanning the area."Dad wants me to join the army. Do you know how persuasive he can be? I don't want to fight in the army," Claire explained. Dave looked at her. She was just a girl trying to break free from her father's clutches."Well, this is a great place to train. The air is just right," Dave said, his arm casually resting behind him. Dave had always been meticulous in his dealings, and although he seeme
Claire Dean stood outside the building, with rain splattering on her. Dave had just won again, but she was frustrated that she couldn't fully transform until she was 18. Dave was her age mate, but two months older. She couldn't help but admire the effect of his transformation."You'll get better soon, my lady," Dave said, bowing and handing her his dagger. She looked at it and threw it away, stomping inside the building and heading to her dad's throne room.Claire was the only daughter of the Alpha, and the building was surprisingly different from what one would expect. It was cold, with a cave-like structure and past heroes and stories imprinted on its walls. For generations, they had hidden outside the four walls of Shadowbrook. After a human interrupted their existence, they closed all portals that could make the humans easily trace them.As she walked into the throne room, she saw her father and other werewolves bickering about things that mattered to them. Sensing her presence, t
He was running fast, away from the dense woods, afraid of being caught. Every part he crossed, he left a trail in his wake. He was a werewolf, and he knew that the werewolf hunter was hot on his heels. He was running towards safety, as he believed he was the last of his kind.He had been living in hiding for years and was getting tired. He knew that he couldn't keep this up for much longer. The hunter was relentless and would stop at nothing to capture him.As he ran through the forest, he could hear the howls of the hunter's hounds, baying for his blood. He could smell the fear and desperation in her scent, and he knew that she was getting closerThe beast could feel his energy waning. He knew he had to find a way out before it was too late. But just as he thought he had escaped, he suddenly felt a pull, like he was being yanked towards something. He looked up and saw a shimmering portal in front of him. He hesitated for a moment, but he knew he had no other choice. He ran towards th






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments