Share

PENYITA ATENSI

“Rain! Kau terlambat lagi?” bentak wali kelas dengan tangan di pinggang. Tangannya masih memegang buku dan spidol hitam.

“Maaf,” ucap Rain singkat dan langsung masuk ke dalam sebelum dipersilakan.

Pak Guru seolah sudah mengerti dan maklum dengan tabiat lelaki yang terlihat tidak beres itu. Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan penjelasan. Sementara itu mata Selena tidak bisa beralih dari sosok Rain yang langsung berjalan menuju ke arahnya. Selena sedikit bingung kenapa lelaki itu ingin menghampiri dia.

Mau apa dia? Batin Selena kebingungan di dalam hati.

Sekarang Rain sudah berdiri tepat di samping meja Selena. Mata mereka langsung bertemu. Selena nyaris terpana beberapa detik saat melihat bola mata berwarna biru. Sama seperti warna mata miliknya. Selena terpaku dan terpesona dalam waktu yang bersamaan.

Rain menaikkan satu alisnya tak suka, “Kenapa kau duduk di kursiku?!” tanyanya dingin dan begitu angkuh. Gadis yang belum pernah dia lihat itu mengambil tempat duduknya. Dan dia tidak menyukai jika apa yang sudah menjadi miliknya di ambil oleh orang lain.

Selena langsung menggerakkan badannya yang tadi sempat membeku. Terkejut karena nada suara Rain yang membentaknya meski pelan.

“Rain! Apa yang kau lakukan?! Jangan ganggu siswi baru!” bentak pak guru itu setelah melihat apa yang sudah Rain perbuat pada siswi baru di kelasnya.

Rain memutar bola matanya dan melengos, ia menjawab ketus, “Pak guru, ini tempat duduk saya!”

”Kau bisa mencari kursi kosong yang lain! Berbaik hatilah pada teman sekelas yang baru!”

“Tapi pak …”

Belum sempat Rain menyuarakan keberatannya, ucapannya langsung dihentikan oleh guru tersebut.

“Jangan menganggu pelajaran atau kau akan Bapak hukum! Cepat duduk di kursi kosong itu!” katanya mengeraskan suaranya sambil menunjuk pada bangku kosong yang ada di barisan belakang dekat jendela.

Tidak punya pilihan, Rain pun mengalah dengan perasaan kesal yang kentara. Sebelum dia pergi, dia menatap tajam ke arah Selena. Seolah-olah Selena lah yang memicu masalah baginya.

Selena yang tanpa sadar menahan napas akibat tatapan tajam pemuda tampan itu akhirnya mengembuskan napas secara perlahan. Merasa lega karena tidak ditatap dengan sepasang mata yang dingin. Baru kali ini dia mengalami kejadian seperti sekarang, dimana seorang laki-laki tak terpesona akan kecantikan yang dia miliki, dan justru sebaliknya malah berbuat kasar padanya.

Matt yang duduk di belakang Selena terus memperhatikan gadis itu. Dia sedikit khawatir karena selama ini tak ada yang pernah membentak Selena hingga membuatnya membeku tanpa sepatah katapun untuk membalas balik. 

Kontak batin yang dilakukan oleh Matt, membuat Selena menoleh ke belakang. Dia tersenyum tipis dan mengangguk, memberikan kode bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian Selena berusaha fokus dengan penjelasan di depan. Meski hatinya terus menggerutu marah karena tidak terima akan perlakuan Rain.

“Aku membencinya,” gumam Selena sambil menggenggam pensil yang dipegangnya hingga patah menjadi dua.

*

Jam sekolah berakhir sudah. Selena dan Matt keluar kelas bersama atau lebih tepatnya Matt mengekori langkah Selena dari belakang. Diabaikan oleh saudarinya seperti itu bukan hal baru baginya. Matt tidak peduli. Baginya asal bisa mengawasi Selena dari dekat, itu sudah cukup.

Di dekat pintu gerbang sudah ada Henry dan Bianca. Dari kejauhan Selena bisa melihat kalau Henry sedang kesal. Bahasa tubuh Henry seolah sedang memarahi Bianca yang memberikan respon santai dan sesekali tersenyum tanpa dosa.

“Ada apa dengan mereka?” gumam Matt mempercepat langkahnya dan mendahului Selena. Dia harus tahu apa masalah yang terjadi antara Bianca dan Henry karena selama di sekolah, ia yang bertanggung jawab atas tiga adiknya.

“Henry, ada apa?” tanya Matt memegang pundak Henry.

Wajah Henry tampak merah, rahangnya mengeras dan giginya gemerutuk. “Dia sudah gila, Matt!” tunjuk Henry tepat di depan wajah Bianca.

“Sst … pelankan suaramu, Henry,” ucap Matt mengingatkan sembari menurunkan tangan adik laki-lakinya.  

Henry memalingkan wajah. Dia tidak sudi menatap Bianca yang seolah tidak peduli sama sekali akan kesalahan yang gadis itu sudah perbuat.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Matt penuh kesabaran. Sebagai saudara yang tertua diantara mereka, Matt adalah orang yang paling dewasa dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketiga saudaranya.

“Tanya sendiri padanya!” ketus Henry.

Matt menoleh pada Bianca yang masih tersenyum innocent. Matt mulai mencurigai ekspresi tersebut. Dia mendekati Bianca dan bertanya dengan suara berbisik. Bianca pun akhirnya menjelaskan sembari berbisik juga di telinga Matt.

Detik berikutnya, Selena bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah merah Matt. Raut mukanya mirip seperti Henry sebelumnya. Dia memijat pelipis mata dan tampak menahan amarah.

“Maafkan aku,” ucap Bianca. Melihat Matt yang seperti itu membuatnya takut daripada Henry yang marah. “Aku hanya‒”

“Jangan membuat alasan, Bia!” marah Matt dengan nada pelan, namun penuh penekanan. “Ini adalah pelanggaran kesekian kalinya yang kau lakukan! Aku sudah memperingatkan dirimu untuk menahan diri, tapi kau tidak pernah mendengarkan saranku!” ucap Matt frustasi dihadapkan dengan sikap Bianca yang belum juga berubah. Membuat masalah dimana pun mereka berada.

Bukan satu atau dua kali jika Bianca melakukan tindakan yang menyebabkan sakit kepalanya bertambah parah. Jika Selena indentik dengan sikapnya yang acuh tak acuh dan terkesan dingin, tapi sejauh ini Selena belum pernah membuat dia tidak bahagia. Sedangkan Bianca berkebalikan dengan Selena, Bianca itu memang terkenal dengan sifat bebal, egois, keras kepala dan tentunya pembuat masalah. Sudah tak terhitung banyaknya masalah yang gadis itu perbuat selama ini.

Selena mengerti kalau sekarang Bianca tengah membuat ulah di hari pertama mereka bersekolah. Ia memilih bungkam dan tak peduli sama sekali. Bianca dengan kenakalannya bukanlah menjadi urusannya. Lagipula tak peduli seberapa keras Matt dan Henry menasehati gadis itu, Bianca hanya akan menganggap segala nasehat itu sebagai lelucon yang tak perlu dianggap serius.

Beberapa saat dalam keheningan, Matt yang sudah mulai tenang bertanya gusar pada Bianca, “Lalu bagaimana dengan siswa itu?”

“Ditinggalkannya begitu saja di dalam toilet.” Jawab Henry dengan ekspresi jijik.

“Fuck!” maki Matt sambil melotot ke arah Bianca yang kini memasang wajah cemberut. Dia mengembungkan pipinya dan memasang wajah polos seperti bayi yang tak berdosa. Terus terang saja, Selena jijik melihat ekspresi itu.

Matt langsung mengajak Henry untuk memeriksa toilet perempuan. Dia tidak ingin kalau ada masalah di hari pertama mereka datang ke sekolah. Jangan sampai ayah mereka tahu, kalau tidak akan ada hukuman yang menanti mereka di rumah. Dan dia menghindari itu. Sebisa mungkin, menerima hukuman sang ayah di kota baru ini, dia berusaha untuk menghindarinya.

Sementara dua lelaki itu pergi untuk membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Bianca, Selena memilih diam tak ingin berbincang dengan topik apapun bersama Bianca. Namun rupanya, seolah gadis itu tak tahan dengan hanya berdiam diri saja, ia pun mulai mengganggu Selena; saudarinya yang lebih tua untuk diajaknya bicara. Meskipun tahu jika Selena benci berbasa-basi, tidak membuat Bianca mengurungkan niat untuk menganggu gadis berwajah batu tersebut.

“Hey, Elle.” panggil Bianca seraya terkikik sambil menatap kukunya yang dipolesi nail-art yang membuat jari-jarinya berkilau indah.

Jangankan menjawab, menoleh saja Selena enggan.

Tidak sakit hati diperlakukan dingin oleh Selena, Bianca kembali bertanya sambil tersenyum lebar, “Bagaimana hari pertamamu? Apakah menyenangkan?”

Selena mengerutkan alisnya, sadar betul kalau Bianca bertanya bukan karena gadis itu perhatian padanya, melainkan sebaliknya, pastilah Bianca sedang mencari kesempatan untuk mengejek dia seperti biasa. Akan tetapi meskipun sudah tahu perangai Bianca yang satu itu, Selena tetap menjawab datar, “Begitulah.”

“Kutebak, pasti membosankan seperti biasanya. Iya kan?” tanyanya lagi dengan nada menyindir.

Selena menyeringai, tidak keberatan akan ejekan Bianca yang memang tepat sekali, “Setidaknya di hari pertama aku sekolah, aku tidak membuat masalah seperti yang kau lakukan.” jawabnya kembali mengejek.

Bianca mengekeh pelan. Dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya yang sudah membuat salah satu siswa terkapar pingsan di dalam toilet setelah semua zat feromonnya dihisap habis olehnya.

Selena melengos, tidak mau berbicara lagi dengan Bianca. Sambil menunggu kedatangan Henry dan Matt, ia melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba saja, tatapannya terpaku pada sosok yang tampak familiar baginya.

Rain! Seorang pemuda yang berhasil membuatnya terpaku di tempat dan di saat bersamaan membuat dia kesal setengah mati setelah dia mengingat kejadian di dalam kelas tadi pagi.

Selena tidak mengalihkan tatapannya dan terus melihat sosok Rain yang saat itu memakai mantel tebal berbahan wol berwarna abu-abu. Pemuda tampan itu melangkah dengan terburu-buru dan sesekali menatap langit yang mulai gelap. Seolah-olah bertanya-tanya apakah hujan akan turun atau tidak sebelum dia tiba di rumah.

“Elle, apa yang kau lihat? Kenapa serius sekali?” Bianca yang penasaran akan sikap Selena dengan tubuh membeku ikut melihat ke arah Selena memandang.

Merasa tidak ada jawaban dari Selena, Bianca langsung melihat ke arah tatapan saudarinya. Tidak jauh dari tempat mereka berdua berdiri, tampak seorang pria berambut hitam legam, tubuh jangkung, wajah rupawan, dan berkulit putih sedang berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Terlintas dalam pikirannya kalau laki-laki itu mirip Selena, dingin dan angkuh.

Pantas saja dia membeku seperti itu. Rupanya ada orang sejenisnya! Cibir Bianca di dalam hati mengomentari Selena dan laki-laki asing yang baru saja dia lihat.

“Apa kau melihat dia?” tunjuk Bianca pada Rain. “Siapa laki-laki itu? Pacarmu?”

Selena langsung berdecak sebal. “Tidak bisakah kau bersikap lebih sopan untuk tidak menunjuk orang lain seperti itu?”

“Aku hanya memastikan,” sungut Bianca menurunkan tangannya. “Aku pikir kau gadis tak punya ketertarikan pada lawan jenis. Tak tahunya, kau juga bisa terpesona dengan manusia. Apa aku perlu memberimu selamat karena berubah menjadi dewasa?” tambah Bianca asal-asalan. Dilihat dari romannya, tidak menunjukkan ketulusan sama sekali.

“Hidup dua ratus tahun ternyata tidak cukup membuatmu menjadi lebih pintar rupanya,” sindir Selena sekali lagi dengan nada sarkas.

Bianca memilih diam daripada harus berdebat dengan Selena. Dia takkan mungkin berani dengan kakak perempuannya itu. Baginya Selena lebih menakutkan daripada ayahnya sendiri. Walaupun dia kerap kali memiliki kesempatan untuk mengejek saudari perempuannya itu, jika dihadapkan dengan kemarahan Selena dia tidak cukup berani untuk melangkah lebih jauh memprovokasi emosinya.

Beruntungnya bersamaan dengan itu, Henry dan Matt muncul. Dua lelaki itu sudah terlihat lebih santai dan tak panik seperti sebelumnya.

“Bagaimana?” tanya Bianca harap-harap cemas. Takut sekali jika masalah kali ini membuat Matt kembali marah dan mengadu pada ayah mereka.

Matt masih menyimpan perasaan jengkelnya terhadap Bianca. Ia hanya mengangguk memberikan tanda semua masalah sudah bersih. Bianca langsung tersenyum lega pada Matt dan Henry.

“Henry … Maafkan aku,” rengek Bianca pada adiknya dengan suara sengaja dimanjakan. Tak jelas apakah itu benar-benar penyesalan atau bukan. Karena ketiganya tahu jika Bianca tidak akan berhenti membuat masalah semudah itu.

Henry mendengus sebagai tanggapan. Tidak berminat membalas permintaan maaf dari Bianca.

Sekali lagi, Selena bergidik geli melihat tingkah Bianca. Henry terus mengabaikan Bianca hingga mobil jemputan datang.

Matt terlebih dulu masuk ke dalam mobil, mengambil duduk di kursi depan dekat kemudi. Lalu disusul oleh Henry, Bianca dan Selena.

Selena dalam perjalanan pulang menuju ke rumah, tidak terdengar percakapan dari ketiganya. Selain Matt yang sesekali berbincang dengan sang sopir, sisanya yang lain memilih diam dan sibuk dengan ponsel masing-masing.

Beberapa menit kemudian ketika mobil itu sampai ke rumah, Selena terlebih dulu turun. Gadis itu masuk ke dalam, dan menemukan keberadaan ayahnya sedang duduk di sofa.

“Selena, kau sudah pulang?”

Tanpa menjawab sapaan sang ayah, Selena langsung pergi ke kamarnya dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi. Seakan sapaan dari ayahnya barusan bukanlah hal penting yang perlu dia respon.

-Bersambung-

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kikiw
baru 2 bab tapi karakter tokohnya udah pada mateng. keren!
goodnovel comment avatar
Byla
Selena ini dingin beud yo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status