"Dalam dunia di mana kebajikan adalah topeng, seorang pemuda bertaruh segalanya demi cinta dan keluarga." "Ketika sihir terlarang menjadi satu-satunya pilihan, bagaimana kebaikan bisa bertahan?" Kael, seorang penyihir muda berbakat, terpaksa menjadi buronan setelah mencuri teknik sihir terlarang dari Ordo Umbra. Ia memulai petualangan berbahaya untuk melindungi adik-adiknya, Sarah dan Laila, yang juga memiliki kekuatan magis yang luar biasa, menemukan ibunya yang hilang, dan mengungkap rahasia di balik penyakit misterius yang mengancam keluarganya. Perjalanan mereka membawa mereka ke berbagai penjuru dunia Aethel, menghadapi makhluk-makhluk gaib, organisasi rahasia, dan konspirasi besar yang mengancam keseimbangan dunia.
View MoreKael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.
Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah. Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat, dihantui bayangan masa lalu yang mengingatkannya pada keputusan yang tak dapat ia ubah. Kenangan akan senyuman lembut ibunya, tawa adik-adiknya, dan momen-momen sederhana kini terasa sangat berharga menggema dalam benaknya. Namun, dia tak punya waktu untuk merenung. Waktu, dalam kebisingan gelap yang mengintainya, tak mengizinkannya terjebak dalam kenangan. Dia harus bertahan hidup—untuk dirinya, untuk keluarga yang ia cintai. Dari kejauhan, lolongan serigala memecah kesunyian malam, menandakan bahwa mereka tidak sendirian. Kael dapat merasakan kehadiran mereka, energi asing mengusik kesadarannya. Dia mempercepat langkah, bergerak lincah di antara akar-akar pohon yang licin dan berlumut, setiap langkahnya diburu rasa cemas dan kewaspadaan. "Mereka tidak akan menangkapku," gumamnya, suaranya berbaur dengan desir angin. Pergulatan antara harapan dan ketakutan melingkupi pikirannya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat, mengalirkan adrenalin ke seluruh tubuhnya. Tiga sosok berjubah hitam muncul dari kegelapan, tongkat sihir berkilau di tangan mereka. Mereka adalah Ordo Umbra, simbol dari segala yang Kael tak ingin hadapi. Dalam pelarian itu, Kael menggertakkan giginya. Mereka menginginkan satu hal: Racun Tiga Mayat. Menyerahkan teknik itu sama artinya dengan menyerahkan keluarganya pada maut. Sejenak, dia merasakan ketidakadilan nasib yang menimpanya, namun kemarahan itu segera menyulut semangat juangnya. Energi hijau kehitaman mengalir dari jemari Kael, berpendar dengan semburat ungu sebelum membentuk kabut beracun yang bergerak bagaikan makhluk hidup. Racun Melemahkan meluncur dalam diam, menyelimuti salah satu pemburu yang terhuyung dan terbatuk keras, terkejut oleh dampak serangan mendadak tersebut. Kael merasakan kepuasan tersendiri, meski ia tahu bahwa ini hanyalah langkah pertama dari pertempuran yang jauh lebih besar. Tanpa menunggu lebih lama, Kael melesat di antara pepohonan, kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Setiap gerakannya dikuasai oleh naluri bertahan hidup, dan dengan setiap detak jantungnya, dia membayangkan semua yang akan hilang jika dia gagal. Para pemburu tertinggal di belakang, suara langkah mereka semakin menjauh dalam kegelapan hutan, seolah terjebak oleh bayang-bayang mereka sendiri. Namun, Kael sadar bahwa ini belum berakhir; sosok-sosok itu akan terus mengejarnya. Ketika Kael tiba di rumahnya, suasana malam semakin mencekam. Cahaya lampu dari dalam rumah memancarkan kehangatan yang kontras dengan kegelapan di luar. Pintu setengah terbuka, dan firasat buruk menusuk dadanya. Dia melangkah masuk dengan hati-hati; setiap detail dalam rumahnya terasa asing dan menegangkan, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Dinding yang biasanya penuh dengan tawa keluarga kini tampak membisu, menahan rahasia yang menyakitkan. Di dalam, suasana sunyi hampir mencekam. Meja makan tampak kosong, dan aroma kayu yang terbakar dari tungku api bercampur dengan bau samar logam dingin, seakan mengingatkan pada waktu yang telah hilang. "Sarah? Laila?" panggilnya, suaranya rendah namun tajam. Harapan yang menggantung menyelimuti suaranya, sedangkan ketakutan kian mencengkeram hatinya. Suara derit lantai kayu terdengar dari kamar adik-adiknya, diikuti bisikan lembut dan langkah kaki kecil yang tergesa. Sarah muncul di ambang pintu kamar, rambut kusut dan matanya yang kosong menatap Kael seolah dia tidak memiliki masalah dengan penglihatannya. Di belakangnya, Laila mengusap matanya yang masih berat, dengan ekspresi kebingungan seseorang yang terjaga dari tidur. "Kael?" tanya Sarah sambil menguap. "Ibu mana? Tadi kami tidur, dia masih di sini..." Laila mengintip dari balik kakaknya, mata kecilnya mulai dipenuhi kekhawatiran. "Aku haus... tetapi Ibu tidak ada saat aku bangun." Laila yang bisu menggerakkan tangannya cepat dengan bahasa isyarat, membuat Kael tergeragap. Seluruh dunia sekelilingnya seakan terbalik. Jantung Kael berdegup kencang. Matanya menangkap secarik kertas di atas meja kecil—tulisan tangan yang sangat ia kenal. Dengan jemari yang sedikit gemetar, dia membuka lipatan kertas itu, merasakan ketidakpastian saat kalimat demi kalimat mulai terbaca dalam hatinya. Surat Eliana "Kael, Sarah, Laila, Seandainya kalian membaca ini, itu berarti Ibu telah pergi untuk waktu yang lama. Ibu harus mencari obat untuk penyakit ini, dan Ibu tidak ingin kalian khawatir, karena Ibu percaya kalian bisa mengatasi segalanya. Kael, lindungi adik-adikmu. Kalian adalah kekuatan Ibu. Pertahankan satu sama lain dan kepercayaan Ibu di dalam hati kalian. Ibu percaya pada kalian semua. Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi, dan saat itu kita akan tertawa bersama sekali lagi." Tinta di surat itu sedikit luntur, seolah ditulis dengan tergesa-gesa, dan kata-kata tersebut menghantam Kael bagaikan badai yang menghempaskan segala rasa damai dari dalam dirinya. Perasaan kehilangan bercampur dengan tekad yang membara, menciptakan api yang menerangi kegelapan yang menusuk. Dia teringat semua pengorbanan yang telah dilakukan Eliana untuk menjaga keluarganya. "Ibu..." gumamnya, matanya berkaca-kaca menahan air mata yang hampir tumpah. Keberanian ibu mereka kini menjadi beban di pundaknya, dan dia berjanji untuk tidak mengkhianati harapan yang telah ditinggalkan. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih lanjut atau membiarkan emosinya terlarut, langkah berat terdengar dari luar rumah. Suara itu seperti geraman yang mempersonifikasikan kegelapan. Kael menoleh ke arah pintu depan, tubuhnya langsung menegang, siap menghadapi segala kemungkinan. Bayangan hitam bergerak di luar, diiringi suara ranting patah yang tajam, membangkitkan rasa ngeri yang menghimpit. Mereka telah menemukan tempat ini, dan ajal sepertinya bersiap menyambut kedatangan. "Sarah, Laila," bisik Kael, suaranya serak dalam nada khawatir. "Masuk ke ruangan bawah tanah. Cepat, sebelum mereka datang." Sarah terhenti sejenak, tetapi kali ini kata-kata Kael cukup menggerakkan naluri pelindungnya. Dia menarik Laila menuju pintu rahasia di lantai. Kael dengan sigap mengunci mereka di dalam, menyematkan mantra perlindungan guna memastikan keamanan mereka. Hatinya berdesir, berharap agar adik-adiknya dapat merasa aman meski dunia luar sedang diliputi ancaman. Dia berdiri di depan pintu masuk, kekuatan sihirnya siap meledak, sementara kekuatan Racun Tiga Mayat mulai berdetak di ujung jarinya, menunggu momen yang tepat untuk meluncurkan serangannya. Dalam hati, Kael merasakan badai rasa cinta serta tekad yang tiada tara, menyatu menjadi satu tujuan: melindungi keluarganya. "Datanglah," gumamnya pelan, menatap tajam ke arah pintu, menantang takdir yang menunggu. Bertekad untuk melindungi semua yang dia cintai, dia bersumpah untuk bertahan hidup—tidak akan membiarkan cahaya harapan padam. Ketegangan menyelimuti suasana, dan kegelapan itu seolah ingin menerkam, tetapi Kael siap menghadapi segala halangan. Inilah saatnya—pertempuran untuk keluarganya akan dimulai.Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments