((London, musim gugur pertengahan di Bulan September))
Langit berwarna kelabu dengan angin sepoi-sepoi dingin khas musim gugur menyelimuti suasana Carnaby Street, London. Di dalam sebuah gedung bergaya Victoria, Trixie Bradwell, wanita muda berambut pirang keemasan dengan sorot mata biru safir yang tajam tengah memeriksa dokumen di meja kerjanya. Ruangan itu meskipun tidak terlalu besar, memiliki suasana hangat dengan dinding krem dihiasi rak penuh buku dan foto-foto kegiatannya bersama yayasan sosial miliknya. Suara keributan dari luar tiba-tiba mengusik konsentrasi Trixie. Ia mengangkat kepalanya, keningnya mengernyit mendengar suara orang-orang yang riuh di jalan. "Ada apa di luar?" Tanya Trixie kepada Lena, asisten yang juga sekaligus teman dekatnya. "Sepertinya ada kecelakaan, Trix. Korbannya adalah seorang pejalan kaki yang tertabrak mobil. Tapi entahlah, aku pun hanya mendengarnya sepintas lalu dari orang-orang," sahut Lena dengan tatapan yang mengernyit ke arah jalanan di luar kantor mereka. Trixie mengangguk, dan kembali menatap ke arah jalanan. Entah kenapa kerumunan orang-orang itu membuat batinnya terusik. Ada perasaan tak enak yang mulai menyeruak dan membuatnya merasa tidak tenang. Lalu tanpa berpikir panjang, kaki jenjang bersepatu heels itu pun mulai melangkah dengan cepat menuju ke arah jalanan bagian depan gedung kantornya. "Trixie, tunggu!" Lena yang tidak menyangka Trixie akan keluar, segera ikut untuk menyusulnya. Dua orang gadis muda itu pun bergerak menyusup di antara kerumunan. Trixie masih berjuang menyelinap di antara beberapa orang, ketika tampak ada seseorang sedang berlutut sambil melakukan CPR di samping kiri korban yang tergeletak bersimbah darah di atas jalanan. Orang yang sedang berlutut itu sepertinya adalah dokter atau petugas kesehatan yang kebetulan sedang melintas di Carnaby Street. Mungkin ia melihat peristiwa tabrakan tadi, lalu bergerak cepat untuk memberikan pertolongan pertama pada korban. DEG. Trixie pun seketika diam terpaku, saat manik biru safirnya menatap lekat pada sepasang sepatu hitam dengan bentuknya yang familier. Seketika gadis itu pun kembali menyeruak di antara orang-orang untuk melihat lebih dekat sosok lelaki yang telah menjadi korban tabrakan. "LEON!!" Jeritan Trixie yang menggema di udara itu membuat semua orang menoleh ke arahnya. Gadis itu terduduk lemas di atas aspal, tak berdaya dengan air mata yang mulai menganak sungai membasahi wajahnya. Ada banyak kelopak bunga mawar berwarna merah beserta tangkai-tangkai hijaunya yang berserakan di sekitar tubuh Leon, bercampur dengan merahnya darah yang memercik kemana-mana. Sepertinya Leon berniat membelikan sebuket bunga untuk Trixie dari toko bunga di seberang jalan, dan dia ditabrak oleh sebuah mobil saat hendak menyeberang kembali. Trixie ingin meraih kekasihnya yang diam tak bergerak dengan kedua mata menutup itu, namun seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menarik seluruh kekuatannya, hingga tak kuasa untuk bergerak bahkan untuk sesenti pun. "Bangun, Leon! Tidak. Ini... ini tidak lucu! Banguun!!" Jeritan gadis itu membuat suasana semakin mencekam dan menyayat hati. Lena yang baru menyusul di belakang Trixie pun segera bergerak dengan sigap, untuk memeluk gadis yang tengah histeris itu. "Ssh... Leon akan baik-baik saja, Trix. Ambulance telah datang, lihat." Lena mencoba menenangkan Trixie dengan menunjuk sebuah mobil ambulance yang memang telah tiba di lokasi kecelakaan. Suara sirene yang terdengar cukup keras memekakkan telinga itu sama sekali tak dihiraukan oleh Trixie. Gadis itu hanya menatap lelaki yang ia cintai, terbujur diam tak bergerak seolah patung malaikat tampan tanpa nyawa. "Leon akan baik-baik saja, kan?" Guman Trixie dalam derai air matanya yang tak henti meluruh, saat melihat petugas medis yang baru keluar dari ambulance sedang menolong Leon dan dengan hati-hati memindahkannya ke atas brankar portabel. "Ya, Sayang. Leon itu lelaki yang kuat. Aku yakin dia akan baik-baik saja," sahut Lena sembari mengelus kepala Trixie mencoba untuk menenangkan. Trixie masih berjuang untuk menormalkan napasnya yang mendadak sesak. Kenyataan yang terlalu tiba-tiba ini seolah telah merampas semua mimpi dan harapannya untuk bahagia bersama lelaki yang ia cinta. Harapan yang tumbuh setelah semalam seorang Leon Morgan melamarnya, dan mereka pun telah merencanakan pernikahan beberapa bulan lagi. Trixie menunduk, menatap jemari manisnya yang telah melingkar sebentuk cincin indah bermata berlian merah muda. Cincin yang semalam disematkan Leon di jarinya. Leon... Lelaki paling tampan, baik hati, ramah dan hangat yang pernah Trixie kenal. Lelaki terbaik selain Daddy dan dua orang saudara kembarnya, lelaki yang ia inginkan kelak menjadi ayah dari anak-anaknya. Ya, apa yang dikatakan Lena barusan itu benar. Leon itu lelaki yang kuat dan sangat bugar, bahkan menguasai banyak jenis bela diri. Leon pasti akan sembuh! Banyak sekali alasan yang akan menguatkan harapannya akan kesembuhan Leon, dan Trixie pun merasakan beban berat di pundaknya sedikit berkurang karena pikiran positif yang ia tanamkan dalam diri sendiri. Ia percaya, Leon akan baik-baik saja. Namun sayangnya, ternyata mereka berdua salah. Karena lelaki yang bernama Leon Morgan itu, rupanya sama sekali tidak baik-baik saja. *** Seorang lelaki di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan, tampak mengamati kerumunan orang dan ambulance yang membawa korban tabrak lari. Seringai tipis menghiasi wajahnya seketika, lalu ia meraih ponsel untuk menelepon seseorang. "Target telah dimusnahkan," ucapnya kepada orang di seberang sambungan. "..." "Kekasihnya? Tidak, kurasa Klan Miller tidak melibatkan Trixie Bradwell. Jadi sepertinya wanita itu tidak perlu ikut dimusnahkan," ucapnya lagi. "..." "Baik, terima kasih untuk 1 juta Pound-nya, Tuan. Apa? Anda juga ingin seluruh keluarga Leon Morgan menjadi target? Baik, kalau begitu anggap saja mereka telah musnah," tukasnya penuh keyakinan disertai seringai licik yang kembali terlukis di wajahnya. Tak lama kemudian lelaki itu pun menutup sambungan teleponnya, dan kembali mengarahkan pandangan ke lokasi kecelakaan. "Saatnya untuk menghapuskan jejak keluarga Morgan dari muka bumi," cetusnya sembari terkekeh kecil, dan memutar kemudi mobilnya untuk berlalu dari sana. ***Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim