((SETAHUN KEMUDIAN))
"Ck. Dimana sih obat sialan itu?!" Trixie mengaduk-aduk isi tasnya sambil menggerutu, namun apa yang ia cari ternyata tak kunjung ia temukan. Ia harus meminum obat agar anxiety disorder atau penyakit gangguan kecemasan yang ia derita, tidak akan membuat acara penggalangan dana hari ini menjadi kacau balau. Wanita cantik bersurai pirang itu adalah pemilik Yayasan Amal 'Choose Love' yang berpusat di Carnaby Street, London. Sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu para warga korban perang di negara-negara berkonflik. Dan hari ini adalah penggalangan dana pertama setelah selama setahun yayasan ini seolah kolaps, karena pemiliknya yang berada di situasi 'gangguan psikologis akut'. Tepat setahun yang lalu, kekasihnya telah tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Tepat hari ini, dan tepat di depan gedung yayasan ini. Selama setahun setelah Leon pergi meninggalkannya ke lain dunia, Trixie pun bergulat dengan batin dan emosinya yang tidak stabil, akibat kehilangan seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hati. Kehilangan Leon telah mengoyak batin dan memporak-porandakan jiwanya. Ia depresi, cemas, trauma mendalam, plus insomnia. Hingga akhirnya Trixie menemui psikiater untuk mencari pertolongan. Kondisinya cukup meningkat baik akhir-akhir ini, hanya saja gangguan kecemasan masih sering menghampirinya jika ada hal yang sedang ia pikirkan. Seperti saat ini, misalnya. Semoga saja acara hari ini tidak berakhir kacau seperti kondisi emosionalnya. "Trix, acara akan segera dimulai," Lena yang memasuki ruang Direktur Yayasan tersenyum kepada wanita bersurai pirang yang terlihat melamun di meja kerjanya. "Oh. Ok. Aku sudah siap." Trixie buru-buru berdiri dari kursinya sembari sedikit merapikan rambut dan busananya, mengabaikan tangannya yang sedikit gemetar. 'Gangguan kecemasan sialan!' ia pun mengutuk dalam hati. 'Persetan dengan obat! Hari ini aku akan membuat acaranya sukses tanpa perlu meminum obat apa pun, lihat saja!' *** Entah karena sudah muak dengan penyakit cemasnya, ternyata Trixie sungguh berhasil menjalankan perannya sebagai pimpinan yayasan dengan baik di acara penggalangan dana kali ini. Meskipun tanpa meminum obatnya. Gadis itu telah memberikan sambutan sebagai Direktur Yayasan Choose Love, dan kini acara lelang lukisan pun akan dilakukan. Dana hasil penjualan lukisan akan didonasikan untuk membantu para pengungsi negara yang sedang dilanda perang. Trixie tersenyum melihat lukisan-lukisan indah yang diberikan secara gratis oleh Aunty Renata, tantenya, yang juga seorang pelukis terkenal di Indonesia. Ia yakin sekali dengan nama besar Aunty Renata dan kredibilitas Yayasan yang ia miliki, acara hari ini akan sukses besar dan mendapatkan dana yang besar untuk disumbangkan. "1 juta dollar!" Trixie mendengar acara lelang sudah dimulai, dan para calon pembeli pun sudah mulai memberikan harga untuk sebuah lukisan Aunty Renata. Senyumnya pun semakin merekah ketika mendengar harga pembuka yang cukup tinggi. "10 juta dollar!" Suara desahan penuh keterkejutan pun menggema mewarnai udara, ketika sebuah suara tiba-tiba mengucapkan harga yang sangat tinggi. Tak pelak, semua orang pun memperhatikan sosok yang baru saja mengucapkan harga fantastis itu. "10 juta dollar untuk Tuan yang di sana," ucap sang Auctioneer (MC pada acara lelang) menunjuk seorang lelaki yang mengenakan sàetelan jas hitam, berkacamata dan topi flat cap yang menutupi sebagian wajahnya. Trixie berada cukup jauh dari si penawar harga fantastis itu, hingga ia tak bisa melihat sosoknya dengan jelas, tapi dalam hati sangat berterima kasih untuk pengajuan harga luar biasa itu. 10 juta dollar adalah harga yang sangat tinggi untuk sebuah lukisan, tapi sekali lagi ini adalah acara penggalangan dana untuk kemanusiaan. Terkadang sering terjadi hal yang tak terduga, karena orang-orang kaya yang sedang bosan bisa saja membuang-buang uang mereka melalui amal seperti ini. Dan seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, tak ada satu pun orang yang berani mengajukan diri untuk memberikan harga yang lebih tinggi dari 10 juta dollar. "Lukisan 'The Mistress' dari Renata Green terjual kepada Mr. Aiden Miller dengan harga 10 juta dollar! Selamat!!" Auctioneer yang berucap di atas podium pun mengumumkan. Suara riuh tepuk tangan mulai terdengar menggema, sebagai apresiasi untuk seorang milyarder kaya-raya yang rela menggelontorkan dana besar demi kemanusiaan. "Aku ingin berkenalan dan menyalami Si Mr. 10 Juta Dollar dulu," bisik Trixie kepada Lena yang duduk di sebelahnya. Sebagai Direktur Yayasan, ia akan sangat senang jika memiliki seorang donatur baru yang murah hati. "Mau kutemani?" Tawar asisten sekaligus teman dekatnya itu, yang dibalas dengan anggukan singkat Trixie. Kedua gadis itu pun berdiri dari kursi, berjalan menuju posisi dimana lelaki yang bernama Aiden Miller berada. Trixie mulai menampilkan senyuman bak bidadari yang penuh percaya diri di setiap langkahnya, yang seperti seorang model sedang berjalan di atas catwalk. Perpaduan tubuh sempurna dan wajah yang sangat cantik adalah kelebihan fisik yang dianugerahkan Tuhan kepada seorang Trixie Bradwell. Masa remajanya hingga berusia 22 tahun memang dihabiskan di atas panggung sebagai supermodel, tapi ia memutuskan untuk pensiun di usia muda karena lebih 'terpanggil' bekerja untuk kemanusiaan. Namun ada sesuatu yang aneh. Langkah penuh percaya diri Trixie pun mulai melambat, dengan senyuman di wajahnya yang perlahan mulai menghilang. Ketika ia menatap sosok Mr. 10 Juta Dollar dengan kening berkerut, lalu mendadak Trixie pun berhenti melangkah. "Lena," bisik Trixie lemah, sembari mencengkram kuat lengan asisten yang berdiri di sampingnya. "Ada apa, Trix?" Lena pun buru-buru memegangi tubuh gadis bersurai emas itu, karena Trixie yang mendadak terlihat goyah. "Lena... apa aku bermimpi?" Ucap Trixie lagi, dengan tatapan yang tak lepas ke arah depan. Tubuhnya mendadak gemetar tak terkendali, saat momen mengerikan satu tahun yang lalu itu kembali tergali. Kecelakaan itu... darah yang membasahi aspal... Mahkota bunga mawar merah bercampur darah yang berserakan di jalanan... Tubuh yang tergeletak diam... manik coklat gelap yang kini tertutup rapat... Sosok yang hanya membisu meskipun Trixie menjeritkan namanya, dan mengguncang keras tubuhnya agar terbangun. Trixie seolah tidak percaya, bahwa sosok yang selalu ia rindukan meski setahun telah berlalu... kini berada tepat di depannya! "Leon... itu Leon!" Ucap gadis itu dengan suara lirih, sebelum kegelapan yang pekat menelannya ke dalam lubang tak berdasar. ***Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim