Share

Bab 2 : Bertahan Hidup

Hans sampai ke lorong ruang logistik dengan susah payah dan penuh dengan langkah hati-hati. Dengan mudah Hans memasuki ruang tidak terkunci karena pada jam terjadinya infeksi merupakan jam kerja setelah istirahat jam makan siang, mungkin para karyawan belum kembali semua atau berlarian keluar ketika mendengar teriakan untuk melihat apa yang sedang terjadi, sama seperti yang dialami oleh tim medis Hans. Di dalam ruangan Hans melihat banyak kotak-kotak yang berisi obat-obatan dan bahan makanan maupun minuman untuk bahan persediaan rumah sakit.

"Semua ini sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti ini. Lebih baik saya membawa banyak sebagai bahan persediaan untuk satu bulan." Hans sibuk berbicara sendiri untuk menasehati dirinya dalam bertahan hidup.

Tiba-tiba Hans berhenti mengumpuli obat dan makanan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Mencoba memutar otak dengan pelan sambil bergumam pada diri sendiri ketika ingat akan satu hal.

" Tunggu, saya membawanya menggunakan apa ya? Apa ya?" Hans bangkit berdiri dan berkeliling ruangan, mencari-cari tempat yang bisa digunakan untuk membawa obat-obatan dan makanan yang telah dikumpuli. Hans berhenti dan melihat ada tas ransel berwarna hitam yang terletak di atas kursi. 

"Saya bisa menggunakan ransel ini untuk membawa obat-obatan, makanan dan minuman. Isi ransel ini makanan, mungkin bekal karyawan logistik untuk makan siang." Melihat isi dalam ransel yang ternyata isinya merupakan bekal olahan rumah. Hans menyingkirkan bekal dan mulai memasukkan semua bahan yang dikumpuli. Setelah memasukkan obat-obatan, makanan dan minuman yang dibutuhkan, Hans dengan sigap bergegas untuk kembali keruang ICU, karena merasa Sati pasti telah menunggunya untuk kembali. Hans sangat khawatir Sati terancam karena kondisi Sati yang hanya mampu duduk dikursi roda dan tidak mampu melakukan perlawanan saat diserang, sungguh hati nurani Hans semangkin cemas. Tiba-tiba suara wanita berteriak kencang di ujung lorong arah pintu masuk rumah sakit telah mengejutkan Hans yang bertengkar dengan kecemasan. 

"Aaaaaaakkkkhhhhhhh!!!!" Jeritan histeris wanita yang suaranya sangat melengking seolah menerjemahkan betapa sangat ketakutan seorang pemilik suara.

Suara jeritan perlahan menghilang dan tertutupi oleh suara geraman yang saling sahut menyahut. Seakan sorakan sebuah kemenangan yang telah diperoleh.

"Saya harus segera kembali." Dengan buru-buru Hans mempercepat langkahnya.

Kaki melangkah kembali menuju ruang ICU dengan penuh hati-hati Hans melakukan pergerakan dan berusaha tidak menimbulkan suara agar manusia terinfeksi tidak mengetahui setiap langkah keberadaannya. Di saat perjalanan menuju ruang ICU, fikiran hanya tertuju pada Sati yang merupakan teman satu-satunya yang masih hidup. Karena fikiran Hans hanya terfokus untuk kembali ke ruang ICU, tanpa tidak sengaja menendang besi penyanggah infus yang terletak di lantai. Suara dari besi yang tidak sengaja terpental dan berguling-guling di lantai menyebabkan para manusia diambang mati dan hidup bergerak refleks dengan cepat mendatangi sumber suara. Mata Hans membelalak melihat pergerakan manusia terinfeksi dengan cepat berlari sangat kencang menuju ke arahnya, Hans berbalik mencari arah aman dan lari dengan sangat kencang, Hans tidak perduli benda-benda apa saja yang sudah ditabrak dan jatuh berserakan di lantai karena dalam fikirannya hanya satu saat ini yaitu mencari tempat perlindungan dari kejaran serangan manusia terinfeksi. Manusia terinfeksi berlari dengan sangat cepat mengikuti dari belakang, dan Hans harus lebih memacu tenaga dengan berlari lebih cepat seakan kompetisi lomba lari. Lari yang tidak terkontrol hingga mereka menyerbu bagai grombolan Srigala mengejar mangsa beramai-ramai. Hans berbelok ke arah toilet dan mengunci pintu dari dalam dengan cepat. Terdengar suara tumburukan dipintu yang saling beruntun, Hans mencoba menahan pintu dari balik pintu menggunakan tubuh. Kini Hans terjebak di dalam toilet umum rumah sakit yang merupakan tempat paling aman saat ini. Hans berjalan untuk memeriksa ruang-ruang di dalam toilet karena takut,  terjebak bersama manusia diantara mati dan hidup.

"Sangat bagus tidak ada manusia terinfeksi disini, sekarang bagaimana cara saya keluar dari ruangan ini, di depan pintu masih banyak terdapat manusia terinfeksi. Di sini tidak ada jendela, fentilasi ditutup rapat karena ruangan ini memakai AC. Ya Tuhan kenapa saya sangat ceroboh sampai menendang besi infus yang tergeletak di lantai segala."

Hans terduduk di pintu dan berfikir bagaimana cara keluar dari toilet yang di depan pintu telah dihadang oleh manusia antara mati dan hidup. Hans mengeluarkan kalung liontin yang dipakai di leher, membuka dan melihat photo anak kecil laki-laki yang tersenyum lebar bersama dirinya. Seorang anak laki-laki merupakan anak satu-satunya yang dimiliki. Mengusap-ngusap gambar seolah ada kerinduan yang tidak mampu diungkapkan dengan gejolak batin mengusai logika dan hati.

💎💎💎

Empat jam tiga puluh menit lalu setelah infeksi mulai menyebar dan mengubah arti sebuah kehidupan yang dimiliki oleh setiap manusia.

"Ya Tuhan apa yang sedang terjadi, kenapa mereka semua pada hilang kendali. Manusia terinfeksi sangat liar dan memakan sesama manusia." Setelah menutup rapat pintu ruang ICU, Hans melihat dari jendela kaca pintu dengan rasa yang sangat cemas

"Saya harus menelpon rumah untuk memastikan Dicky dalam keadaan baik-baik saja." Mengambil smartphone yang berada di saku celana.

Sementara itu keadaan rumah seperti biasa terasa hening dan sepi kedamaian yang menyelimuti rumah. Telepon rumah terus berdering, Dicky yang sedang belajar dengan smartphone di ruang tamu mengangkat telepon yang berbunyi.

"Kring!!!!! Kring!!!!" Suara jeritan telepon menandakan ada yang menghubungi.

"Halo!" Teriak pelan Hans dengan penuh kekhawatiran.

"Halo... Papa." Suara Dicky yang membuat hati Hans terasa seperti diberikan aliran dingin yang menenangkan.

"Dicky kamu baik-baik saja?"

"Iya pa, Dicky baik-baik saja. Papa kenapa seperti orang cemas?"

"Papa akan jelaskan nanti setelah papa pulang, yang penting sekarang Dicky harus nurut dengan apa yang dikatakan oleh mbak Hasnah dan pak Satria."

"Baik papa."

"Sekarang berikan telponnya kepada mbak Hasnah."

"Iya papa." "Mbak Hasnah!!!" Terdengar Dicky memanggil dengan kerasnya

"Iya den"

"Papa ingin berbicara dengan mbak." Memberikan telepon kepada Hasnah.

"Halo mbak Hasnah."

"Iya tuan, saya Hasnah."

"Dengarkan saya baik-baik, jangan ada yang keluar rumah sebelum saya pulang. Pintu dan jendela tutup rapat dan kunci, jangan ada yang dibiarkan terbuka. Pintu pagar juga kunci, apa pun yang terjadi di luar jangan dibuka. Bilang sama pak Satria untuk masuk ke dalam rumah, jangan berada di post satpam. Sekali lagi ingat dengan kata-kata saya jangan ada yang keluar rumah sebelum saya pulang. Sekali lagi jika ada suara teriakan, tolong abaikan saja. Jangan dihampiri atau ditolong. Paham?!!"

"Baik tuan, saya paham."

"Bagus, saya minta tolong jagakan Dicky, saya janji akan segera pulang."

"Baik tuan."

"Kondisi persediaan makanan di rumah bagaimana?" Bertanya dengan penuh kecamasan, karena takut Dicky tidak makan.

"Karena kemarin baru belanja, persediaan cukup untuk sebulan tuan, mungkin juga dua bulan tuan. Sayuran dan buah organik yang tuan tanam di halaman bisa dikonsumsi..."

Tiba-tiba telepon terputus.

"tuttt.... tuttt.... tutttt....." Suara telepon yang terputus.

"Halo tuan..... Halo tuan....." Hasnah mencoba memanggil tuannya untuk memastikan apakah telepon masih dalam keadaan tersambung.

"Hah!!!!!! Tidak ada sinyal." Hans sangat kesal

"Kenapa tiba-tiba tidak ada sinyal, saya bingung harus bagaimana." Fikiran campur aduk mengusai batin dan logika.

Sedangkan di luar kekacauan tidak dapat dikendalikan lagi, manusia terinfeksi yang terus berburu memakan manusia  normal lainnya untuk menyebarkan virus yang diderita. Awan kemerahan semangkin pekat sebagai sambutan selamat datang atas peristiwa yang telah terjadi, menambah suasana menjadi semangkin dalam kondisi mencengkam. Di dalam setiap hati manusia yang ada hanya kecemasan, ketakutan dan keputus asaan untuk bertahan hidup. Setitik demi setitik hujan turun sebelum menjadi deras menguyur bumi dengan airnya. Suara guntur yang terdengar berkalborasi dengan cahaya petir seakan menciptakan penghakiman kepada seluruh makhluk hidup yang ada. Hujan kembali turun setelah sebulan lalu turun ke bumi, hujan turun selalu dalam pristiwa-peristiwa yang tidak biasa yang membuat suara tangisan, ketakutan dan kecemasan tidak terdengar lagi karena teredam oleh suara hujan.

💎💎💎

Hans menutup perlahan matanya dan menggenggam dengat erat liontin yang dipakai di leher dengan menyebut nama anak satu-satunya "Dicky".

Suara manusia terinfeksi tidak terdengar dengan jelas seperti saat tadi saat saling berlomba lari atau saat bertubrukan menabrak pintu secara beruntun tanpa henti. Mungkin para manusia terinfeksi sudah tidak ada lagi berkumpul di depan pintu toilet. 

"Benar, saya harus bertahan hidup. Saya harus pulang, semangat Hans!!! Demi malaikat kecil yang saya miliki, saya harus melindunginya dan menempati janji saya." Semangat kuat telah membara di hati Hans. 

Hans bangkit dari duduk, perlahan menempelkan telinga di pintu mencoba mendengar kembali suara di depan pintu toilet. 

"Tidak ada suara ribut lagi seperti tadi, apa manusia terinfeksi sudah menyerah kemudian pergi dari depan pintu. Jika memang benar mereka tidak ada lagi, lebih baik saya harus segera bergegas pergi dari tempat ini sebelum malam. Kasihan Sati sendirian di ruang ICU." 

Hans membuka pintu dengan perlahan, mengintip dari celah kecil pintu yang telah dibuka.

"Benar, mereka sudah tidak ada."

Hans bergegas meninggalkan toilet dengan sangat hati-hati, jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya karena kawatir takut peristiwa yang sama terulang kembali. 

"Aku tidak boleh menghasilkan suara, hati-hati..... Hati-hati....." Hans berbicara sendiri di dalam hati, memperingatkan diri sendiri agar tidak melakukan kecerobohan yang membahayakan hidup. 

Dengan langkah sangat perlahan mencoba berusaha langkah kaki tidak mengeluarkan suara, Hans berjalan diantara manusia terinfeksi yang jalan-jalan ke arah yang tidak jelas. Jantung Hans tidak bisa normal dalam detaknya karena berada di dalam tengah-tengah bahaya. Terkadang Hans terpegok dengan salah satu dari manusia terinfeksi yang  tepat berada dekat dengan wajah Hans. Berdiam diri mencoba jadi patung adalah solusi yang paling ampuh, Hans sampai tidak bernafas beberapa detik ketika mendalami peran sebagai patung. Keringat bercucuran di dahi saat rasa waspada bercampur dengan rasa takut menguasai diri. Hans menunggu manusia terinfeksi yang tidak terkendali mengubah arah jalan dan pergi dari hadapan Hans. Ketika harapan menjadi nyata di saat manusi terinfeksi melangkah pergi dengan langkah pincang akibat syaraf kaki yang kaku, Barulah Hans melanjutkan perjalanan untuk kembali menuju ruang ICU.

Berjarak sepuluh meter Sati melihat Hans dari celah pintu yang sengaja dibuka sedikit, dengan cepat pintu dibuka lebar  saat jarak lima meter lagi Hans berlari terburu-buru. Saat sampai di pintu kedua tangan memegang daun pintu dan  dengan cepat menutup pintu kembali. Hans menarik nafas yang ngos-ngosan berusaha mengatur kenormalan detak jantung dan mencoba menenangkan diri yang dalam keadaan mode sangat cemas. Setelah dirasa sudah cukup normal detak jantung yang berdetak, Hans menarik sopa dan komputer untuk keamanan menahan pintu seandainya manusi terinfeksi yang berusaha mendobrak masuk.

Hans terduduk bersandar di salah satu kaki ranjang pasien.

"Apakah dokter baik-baik saja?" Sati yang melihat gerak gerik Hans menjadi sangat cemas.

"Saya baik saja Sati." Mencoba menenangkan karena terlihat wajah yang risau.

"Alhamdulillah, dokter lama sekali membuat saya sangat khawatir." Pancaran mat yang penuh dengan kecemasan perlahan menjadi tenang.

"Tidak apa-apa, saya baik-baik saja." Menyakinkan kembali dalam keadaan baik saja, karena tidak mungkin bagi Hans menceritakan kejadian yang telah dialami kepada Sati.

"Syukurlah."

"Saya membawa obat, makanan dan minuman." Teringat Sati dalam keadaan lapar, membongkar tas mencari-cari makanan yang diambil dari ruang logistik.

"Ini makanlah, kamu pasti lapar." Memberikan sebungkus roti kepada Sati.

"Terima kasih dok." Mengambil roti dan memakan dengan lahap tanpa ada yang tersisa . Hans hanya dapat melihat dengan takjub, seakan Sati merupakan tahanan yang tidak pernah makan dalam waktu yang sangat lama.

"Maaf dok, saya makan lepas kendali dan tidak menyadari dokter yang berda di samping saya." Merasa sangat malu akibat sikap rakus yang hampir terlihat mengusai diri.

"Tidak apa Sati, kamu dalam keadaan lapar wajar saja. Selama ini hanya cairan infus sebagai sumber energi jadi wajar jika merasa sangat lapar." Hans memaklumi dari sifat yang diperlihatkan oleh Sati.

"Maaf dok saya bertanya apakah dokter sudah melakukan ibadah?" Pertanyaan Sati membuat Hans tercenggang terdiam seribu bahasa. Bagaimana mungkin dalam kondisi seperti ini bisa melakukan ibadah kepada Tuhan dengan tenang sedangkan untuk menyelamatkan diri saja mengalami kesulitan.

"Tidak, saya belum melakukannya." Hans menjawab dengan sedikit malu karena belum melakukan pendekatan kepada Tuhan.

"Maafkan saya dokter." Sati merasa Hans tersinggung dengan pertanyaan karena jawaban yang singkat dengan bernada sedikit ketus.

"Tidak perlu minta maaf," Hans merasa Sati telah salah paham kepada dirinya dari jawaban yang telah diutarakan.  Hans memberikan minuman mineral pada Sati yang dari tadi setelah makan roti bekum ada air yang masuk ke lambung untuk membantu mencerna makanan.

"Sekarang kita harus bagaimana dok?" Hans memandang melamun  melihat Sati, karena dia tidak habis fikir dalam kondisi seperti ini masih ada yang memikirkan untuk dekat dengan Tuhan.

"Dok..... Dokter....." setengah membentak dengan nada berbisik.

" Ah.... Iya." Hans terkejut dan tersadar dari teriakan berbisik.

"Sekarang kita harus bagaimana dokter?" Bertanya kembali pertanyaan yang sama. 

"Saya harus pulang ke rumah." Tujuan bulat yang harus dicapai oleh Hans.

"Pulang?" Sati bertanya bingung seolah tidak setuju dengan jawaban yang diberikan oleh Hans.

"Benar, anak saya menunggu kepulangan saya."

"Tapi dokter kita harus menemukan penyebab pandemi ini, dan menemukan solusi dari permasalahan ini." Jiwa keingin tahuan Sati menggebu-gebu. 

"Apa maksud kamu?" Hans merasa bingung dengan apa yang dikatakan Sati, perkataan yang menurutnya sangat ngawur.

"Rumah sakit ini memiliki fasilitas yang lengkap dokter?"

"Iya,, kenapa?"

"Kita harus meneliti virus yang menjangkit dan menemukan vaksin, setidaknya penghambat mutasi virusnya."  Membujuk Hans untuk mengambil ahli bersama penelitian yang akan dilakukan.

"Memang ada laboratorium di rumah sakit ini, tapi tidak mungkin kita membuat vaksin dalam situasi seperti ini. Sedangkan kita tidak tahu varian virus yang menyerang." Hans mencari alasan agar niat Sati tidak terlaksana.

" Untuk itu kita harus cari tahu dokter. Walau kita tidak bisa menyelamatkan dunia setidaknya kita bisa menghambat virus yang telah menginfeksi kita. Untuk menyelamatkan diri kita sendiri dok, saya tidak mau menjadi seperti mereka yang hilang kendali dan memakan sesama manusia. Jika memang saya ditakdirkan untuk mati, maka saya ingin mati  seperti manusia normal pada umumnya." Sati sangat takut menjadi hilang kendali, mati dimakan manusia lain atau memakan manusia lain yang belum terinfeksi.

"Tidak bisa Sati, saya harus segera pulang. Saya juga tidak mengetahui hal detail tentang virus, karena saya hanya seorang dokter yang mampu menggunakan bukan menciptakan vaksin." Pernyataan yang benar dikatakan Hans karena ada bidang tersendiri yang meneliti tentang virus. Sedangkan Hans hanya dokter ortopedi yang penelitian seputar tentang tulang dan kecacatan tulang.

"Fasilitas disini mendukung dok, dan kita harus segera melakukan penelitian sebelum semua fasilitas padam tanpa listrik."

"Maaf Sati, tapi anak saya sedang menunggu saya untuk pulang. Saya harus menyelamatkan anak saya, di dunia ini saya hanya memiliki dia seorang."

"Please dokter,,," Raut wajah Sati menunjukkan memelas kepada Hans seperti anak kecil yang merengek.

Hans berfikir sesaat, "Benar juga yang dikatakan Sati, setidaknya bisa mengatasi untuk diri sendiri ketika terinfeksi. Tapi saya tidak tahu lebih detail tentang virus, apakah akan berhasil? Hmmm... Tapi setidaknya mencoba, jika dia tidak menemukan hasil memuaskan setidaknya apa yang diinginkan sudah terwujud." Fikiran dan hati Hans beradu mencari kesimpulan tanpa penyesalan.

" Hmmm... Di lantai lima ada laboratorium, di sana mungkin kita bisa mneliti dengan mengambil sampel dari manusia yang terinfeksi." Perkataan Hans menyetujui permintaan Sati walau terdengar sedikit gila, karena Hans dan Sati sama-sama tidak memahami lebih detail tentang virus.

"Bagaimana cara kita kelantai lima dok? Jika kita menggunakan lift, bagaimana kalau tiba-tiba berhenti di jalan? Kita akan terjebak di dalam lift. Tapi jika kita menggunakan tangga darurat, kaki saya masih seperti ini. Akhhh..... Saya sungguh sangat menyusahkan, karena saya pergerakan sangat sulit." Sati kesal dengan kondisi dirinya sendiri.

Hans mengerutkan dahinya menandakan dia sedang berfikir.

"Istirahatlah, sudah mulai larut malam. Kita tidak mempunyai banyak waktu, dan kita tidak tahu kapan fasilitas disini akan mati total. Besok pagi kita harus segera bergegas ke laboratorium." Hans dengan paksa mengakhiri malam yang akan kebetulan panjang. Ini adalah malam pertama di tengah pandemi terjadi, pandemi yang mengubah seseorang tanpa pamri menjadi lebih buruk.

"Baik dokter, selamat malam dok."

"Selamat malam Sati."

Pencahayaan yang minim dari senter handphone dimatikan, lampu di dalam ruang ICU memang sengaja tidak dihidupkan karena dapat mengundang mereka untuk datang. Hans dan Sati memulai tidur mereka, melupakan sejenak kejadian hari ini, walau sebenarnya tidak mungkin dapat terlupakan setiap pristiwa ekstrim hari ini. Suasana dingin menyambar kesetiap tulang makhluk hidup, sisa-sisa suhu yang masih tertinggal akibat hujan tadi siang. Langit yang menangis menyaksikkan pristiwa sadis melukai bathin. Atau malah mengucapkan selamat datang kepada pristiwa sadis. Suara burung hantu memberikan musik alami bagi perkotaan yang tidak menimbulkan refleks kepada manusia terinfeksi. Bukan hanya manusia normal yang sedang beristirahat tapi juga manusia terinfeksi yang melakukan istirahat. Meregangkan otot-otot untuk mencari korban keesokan harinya. 

💎💎💎

Sementara itu di rumah Hans dalam waktu yang sama dan malam sunyi menerapkan suasana mencengkam yang ditemani sinar rembulan dalam purnama. Kabut tipis menyelimuti angkasa, menerapkan pesona yang hampir hilang. Tidak ada lagi cahaya yang menemani seperti sebelumnya, listrik mati total menyebabkan kegelapan adalah kehidupan yang hakiki menyambut awal pandemi yang terjadi. Hujan tadi sore telah menghentikan tangisan untuk berduka kepada manusia-manusia yang memakan sesamanya. Langit masih saja berwarna kemerahan walau hitam telah mengusai waktu, entah dari mana datangnya. Seakan seperti berada di dalam negeri dongeng, karena bukan warna langit sejati yang biru cerah dihiasi awan berwarna keputihan atau kadang berwarna abu-abu. Suara-suara serangga kecil terdengar merdeka, rasanya lebih merdu dari pada sehari-hari yang sama sekali tidak pernah terdengar ketelinga akibat aktivitas manusia. Suara-suara mesin mobil dan pembangunan proyek menyebabkan keindahan suara alam yang terabaikan.

"Lihat mereka mbak, rame banget diluar. Tapi aneh saya melihat dari teropong mereka berdarah-darah, jalannya tidak teratur gitu. Ada yang bolak balik nabrak, ada yang paling serem, menggigit manusia lain, main kejar-kejaran seperti anak kecil. Hmmm... Apakah mungkin mereka lagi mengadakan prank ya mbak? Atau lagi hallowen mereka mengambil peran jadi Zombie? Tapi kan bukan hari Hallowen, Ahhhh....!!! Aku jadi bingung." Dicky berada di lantai dua balkon sedang berbicara kepada Hasnah yang menggunakan teropong untuk melihat lebih jelas lagi apa yang terjadi di luar rumah. 

"Saya juga tidak tahu den, apa sedang terjadi di luar sana. Tapi kata tuan kita tidak boleh keluar rumah, kita harus tetap di dalam rumah sampai tuan pulang." Mengingat pesan yang diberikan oleh Hans tadi sore saat menelpon.

"Kapan papa pulang ya mbak?"

"Sabar den"

"Pak Satria mana mbak?"

"Pak Satri lagi menghidupkan mesin gensheat untuk menerangi rumah den, kita lagi mati lampu." Kegelapan menyelimuti rumah-rumah yang ada di lokasi Rumah Hans di pinggir kota.

"Semua tempat gelap mbak, mungkin memang mati lampu dari  PLN nya mbak." Dicky memandang rumah-rumah satu persatu dengan teropongnya memastikan bahwa memang telah dilakukan pemadaman listrik masal.

Tiba-tiba lampu menyala, membuat rumah megah terasa paling terang di pinggir kota, karena semua wilayah telah gelap, hanya tersisa lampu jalanan yang hidup secara otomatis karena memakai sensor cahaya.

"Nah den, sudah hidup lampunya." Merasa bersyukur karena telah hidup lampu.

"Kalau gini tenang rasanya mbak penglihatan saya." Dicky juga merasa bersyukur karena rumah telah terang.

"Iya den."

Dicky memandang keluar rumah dengan teliti, seperti ada yang bergerak dari kegelapan dengan sangat cepat, sangat banyak pergerakan yang dari kejauhan seolah menuju ke arah Dicky. Menggunakan teropong yang ada di tangan, Dicky melihat manusia terinfeksi  hilang kendali atas tingkah laku yang dimiliki berlari beramai-ramai menuju rumah bercaya paling terang diantara kegelapan. Dicky merasa terkejut dan rasa takut menghampirinya,  karena rumahnya menjadi pusat perhatian dan sasaran utama bagi manusia terinfeksi. Tiba-tiba jantung Dicky berdetak sangat kencang, merasa was-was dengan yang telah dilihat oleh kedua mata.

"Mbak.... Mbak.... Mereka datang!." Dicky merasa sangat kaget, seperti orang bodoh bingung melakukan apa. Hasnah yang mendengar kata-kata Dicky melihat dengan cermat ke arah Dicky menunjuk menggunakan tangannya.

Hasnah lebih terkejut dengan mata melotot melihat manusia terinfeksi yang sudah ada di pagar berbondong-bondong mendorong-dorong pagar dengan menggunakan  tubuh untuk menembus tembok agar bisa masuk ke rumah. Dengan sigap Hasnah berlari dengan cepat menuju ruang bawah tanah dimana Satria masih mempersiapkan mesin dengan baik, karena terlalu fokus menuju ruang bawah tanah dengan jantung seperti genderangg mau perang Hasnah terpeleset ditangga, menyebabkan kakinya terkilir dan seketika bengkak membiru. Tapi tidak membuat Hasnah untuk berhenti karena dia harus melindungi Dicky janji yang harus ditepati kepada tuannya. Dengan langkah tertatih dan susah payah penuh semangat Hasnah sampai di ruang bawah tanah dan menuruni tangga tanpa memperdulikan rasa sakit dikaki. Satria yang melihat Hasnah berjalan pincang menuruni tangga, berlari menghampiri Hasnah dan memapah dengan perlahan. Tujuan  Hasnah mesin pembangkit listrik, dengan mencabut sumber tersambung dan mematikan mesin lampu maja di rumah megah telah padam seutuhnya penerangan yang ada. Hasnah dan Satria berada dalam kegelapan di dalam ruang bawah tanah, kemudian Satria menyalakan lampu senter yang ada di smartphonenya. 

"Ada opo iki Hasnah, kok dimatikan? Susah payah saya menghidupkannya." Satria bertanya-tanya dengan sikap Hasnah.

"Maaf toh Satria, tapi mereka menyerang kita ketika lampu di rumah ini menyala. Seakan kita target utama mereka." Hasnah menjelaskan kepada Satria dengan detak jantung yang masih tidak karuan.

"Mereka siapa?" Satria merasa tambah bingung karena yang ada di rumah hanya mereka bertiga.

"Orang-orang yang seperti Zombie di luar sana."

Satria terdiam mendengar ucapan Hasnah menerjemah setiap kata. "Yang benar kamu Hasnah, lalu gimana dengan den Dicky?" 

"Tadi den Dicky saya tinggal di balkon karena saya terburu-buru kemari."

"Kita harus ketempat den Dicky berada. Sini saya bantu Hasnah." Satria dengan hati tidak tenang terburu-buru untuk menghampiri Dicky.

"Iya satria." 

Satria memapah Hasnah menuju balkon lantai dua, dengan kaki yang bengkak Hasnah tetap berjalan. Sedangkan Dicky masih berdiri diam mengamati mereka dari teropongnya memastikan manusia terinfeksi dengan harapan berhenti menjadikan rumah menjadi pusat sasaran karena pencahayaan yang sudah padam.

"Aden tidak apa-apa?" Nada Hasnah dengan penuh kekhawatiran.

"Saya tidak kenapa-kenapa mbak." Dicky masih asik mengamati dengan teropongnya.

"Mbak lihat mereka mulai pergi dari pagar, tadi saya terkejut banget ketika mereka berlari untuk menyerbu kita." Dicky merasa sangat legah ketika melihat manusia terinfeksi mulai bergerak menjauhi tembok pagar.

"Saya juga den." 

Dicky mulai tersadar dengan Hasnah yang terus di bantu oleh Satria untuk berdiri.

"Mbak? mbak kenapa?" Dicky bertanya penuh dengan perhatian.

"Saya tidak kenapa-kenapa den, hanya terkilir tadi saat turun tangga. Saya yang salah berlari saat menuruni tangga."

"Mbak yakin tidak kenapa-kenapa?"

"Iya den."

"Hmmm dilihat dari gerak-geriknya sepertinya mereka peka terhadap cahaya, yang menyebabkan mereka berlari cepat menuju rumah ketika lampu dihidupkan semua." Satria mengamati mereka berkumpul di bawah lampu taman yang bersinar sangat terang berusaha dengan keras meraih lampu yang sedang bercahaya.

"Sepertinya begitu pak Satria." Jawab Dicky dengan cepat.

"Tidak apa kita kegelapan demi keselamatan." Dicky memberi saran kepada para pembantunya.

"Saya akan ambil lilin den di dapur buat penerangan sederhana kita, saya rasa kalau lilin tidak akan menarik perhatian karena cahayanya yang cukup hanya untuk penerangan kita." Satria membantu Hasnah duduk di sofa sebelum pergi mencari lilin.

Dicky lari ke lemari mengambil kotak P3K yang ada di kamarnya, dan mengeluarkan minyak urut mencoba mengoleskan kepada kaki Hasnah.

"Mbak saya pijat ya." Memegang kaki Hasnah dengan perlahan.

"Jangan den, jangan." Hasnah merasa segan kepada Dicky, karena Dicky adalah anak majikannya.

"Tidak apa mbak, mbak harus sehat karena kalau tidak ada mbak kami makan apa mbak."

"Tapi den..."

"Saya mulai urut ya mbak, papa pernah ngajarin pertolongan saat orang lain terkilir. Tahan sebentar ya mbak rasa sakitnya."

"Iya den."

Dicky mulai memijat kaki Hasnah yang mulai membengkak semangkin parah akibat  terkilir. Jeritan kesakitan Hasnah tertahan karena berusaha tidak membuat suara yang terdengar keluar, demi keamanan hidup diri sendiri dan semua orang yang ada di rumah. Satria yang sudah kembali dari dapur menghidupkan lilin dan meletakkan di atas meja. 

"Mbak harus istirahat, pak Satria juga. Kita harus bertahan hidup dan baik saja sampai papa pulang." Dicky seakan telah menjadi dewasa dalam waktu sekejap.

"Baik den." Hasnah dan Satria menjawab secara bersamaan tanpa janjian.

Akhirnya hari yang melelahkan akan tertutup oleh waktu, para manusia yang selamat melanjutkan istirahat di malam hari dengan suasana yang remang-remang dengan bercampur hati yang was-was. Tidak ada ketenangan yang tercermin, cahaya lilin yang sangat kecil tidak bisa menerangi seluruh ruangan dengan cahaya yang dihasilkan seakan menerjemahkan kesuraman yang mulai menggerogoti kehidupan. Dicky tertidur di kamarnya bersama kegelapan tanpa cahaya, kebiasaan tidur dengan lampu mati membuat hal menguntungkan saat ini. Sedangkan Satria masih terduduk di sofa mencoba mencerna setiap apa yang terjadi hari ini dan Hasnah tertidur di sofa dengan pulas. Satria bangkit dari duduknya ketika mendengar jeritan wanita yang sangat keras, suara wanita yang meminta tolong. 

"Tolongggggg!!!!!! Tolong saya!!!!!"

Satria berjalan dan membuka pintu balkon, melihat gadis yang berteriak telah menjadi santapan makan malam oleh para manusia yang lepas kendali, organ tubuh telah terlepas dari tubuh mungil bersih. Mencabik-cabik organ  manusia dan memakan dengan lahap tanpa rasa bersalah membuat Satria merasa sangat prihatin atas kesadisan yang ada di depan mata.

"Mereka monster." Kesimpulan yang diambil Satria atas pemandangan yang dilihat.

"Jika mereka Zombie yang sama seperti di film, mereka tidak mungkin memakan organ manusia ketika mereka lapar. Mereka hanya mampu menularkan saja. Hmm... Saya dan Hasnah harus menjaga den Dicky sampai tuan datang, saya pasti bisa melindungi aden." Semangat Satria membara untuk melindungi majikannya, karena telah menganggap Dicky seperti anaknya sendiri.

"Lebih baik sekarang Saya istirahat tidur agar besok punya tenaga yang banyak." Satria menutup pintu balkon dengan perlahan, dan mulai terlelap tidur di sofa.

Malam akan terus berganti dengan siang untuk menjalankan waktu dalam detikannya. Adegan baru saja dimulai dengan peran masing-masing yang sangat menakjubkan. Hari ini adalah mimpi yang paling buruk menjadi nyata dan besok dengan harapan terbangun dari mimpi yang nyata menghadapi aktivitas seperti biasa tanpa ada manusia terinfeksi. Hanya untuk kembali hidup di dunia virtual atau di dunia nyata. Hari pertama terjadi pandemi yang menegangkan, menciptakan hari-hari berikutnya yang penuh dengan ketakuta. Langit merah menghitam berkalborasi menciptakan keindahan malam tidak mampu tersentuh sebagai hiasan atas tragedi yang telah terjadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arya Manggala
lumayan untuk ceritanya.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status