Share

Chapter 6. Bocah Sirkus

Lamunannya terinterupsi ketika bus berhenti di halte tujuannya. Hujan kembali turun saat ia turun dari bus, membuat Lock harus berlari menembus hujan hingga ke gedung apartemennya.

Saat dalam perjalanan naik tangga menuju kamarnya yang ada di lantai 3, Lock menyadari bahwa ia basah kuyup dan jejak kakinya mengotori lantai. Mau tidak mau, bayangan tetangganya yang akan menghujaninya dengan 1001 sumpah serapah, terbayang di benak Lock. Bibi sebelah kamarnya selalu mencari hal untuk memarahi Lock, bahkan hingga ke hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini:

“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”

Dia melotot seolah-olah Lock adalah sumber tragedi yang membuat bunganya layu. Saat itu, Lock menjawab dengan wajah serius.

“Itu karena Bibi terlalu banyak tersenyum pada bunga itu.”

Sebelum wanita itu memproses makna jawabannya, Lock menyelinap masuk ke kamar dan tidak keluar hingga keesokan harinya.

 Mengingat kejadian tersebut membuat ekspresi wajah Lock menjadi bertambah datar dan suram, tetapi ternyata hari itu tetangga yang ia cemaskan tidak ada – setidaknya yang versi dewasa. Sebagai gantinya, seorang wanita berusia pertengahan 20 tahun sedang duduk meringkuk di depan kamar sebelahnya dalam keadaan basah kuyup seperti Lock.

Wanita itu berambut pirang panjang dengan wajah kaku dan bibir tipis yang terlihat garang. Dia sangat mirip dengan ibunya – dan mempunyai perangai yang mirip pula. Lock tidak ingin berurusan dengan keluarga tetangganya, jadi dia pura-pura tidak melihat wanita itu dan cepat-cepat membuka pintu kamarnya.

“Kau bahkan berpura-pura tidak melihatku?”

Pintu kamar Lock sudah setengah membuka saat ia membeku. Lock tidak punya pilihan lain selain menoleh dan berkata, “Oh, halo. Aku tidak melihatmu tadi.”

“…Apa kau tidak bisa berbohong lebih baik lagi? Dan berhenti tersenyum palsu begitu. Aku muak melihat gigimu.”

Lock mengamati Orim yang berwajah suram dan lelah, sangat tidak seperti biasanya. Lock bertanya basa-basi, “Apa yang terjadi? Mengapa kau basah seperti tikus got?”

“Kau mau mati?”

‘Apa dia bertengkar?’ pikir Lock saat menyadari bahwa pintu kamar di belakang Orim terbuka sedikit. Lock mengangguk yakin. Ia tidak ingin ikut campur urusan tetangganya dan memilih untuk undur diri dengan sopan.

“Hati-hati masuk angin.”

Orim memberinya tatapan garang dan bergumam. “Bocah brengsek.”

Lock buru-buru masuk ke dalam kamar tanpa berkata apapun lagi. Begitu ia masuk ke dalam kamarnya yang gelap dan pengap, Lock mendesah panjang, bersyukur tidak harus mendengar omelan tetangganya. Namun, itu tidak berarti Lock menghadapi ketentraman dan ketenangan karena beberapa saat kemudian, bisikan samar terdengar di telinganya.

[Kau harus pergi…. Aku tidak punya waktu lagi. Lock, kemarilah....]

Lock percaya keanehan di sekelilingnya akan semakin besar dan besar.

Tanpa mempedulikan bisikan samar tersebut, Lock pergi ke dapur untuk mengambil air  dari lemari es. Ia sudah terbiasa mendengar bisikan itu selama setahun lamanya. Bisikan itu terus berulang dengan kalimat yang sama beberapa kali dalam sehari sehingga Lock mulai membayangkan bisikan itu adalah dendang lagu. Bahkan Lock bisa bernyanyi menggunakan kata-kata itu saat ia sedang mandi.

Sambil minum, Lock berjalan menuju cermin dalam keremangan senja. Sejak setahun yang lalu, ia mulai lebih sering bercermin – terutama di dalam kegelapan. Ia mengamati bayangan wajahnya dalam cermin dengan tenang dan meninggalkan cermin itu beberapa saat kemudian saat ia memastikan bahwa tidak ada lagi yang berubah pada dirinya.

Pada pantulan cermin, mata kanan Lock bersinar kemerahan.

*

“Hei, Haru! Apa kau tidak bisa bergerak lebih cepat lagi?”

Di sebuah gedung yang berbau pesing dan apak, seorang pria kecil berdecak dengan raut wajah garang. Pria itu memiliki tubuh sedikit bungkuk dengan leher pendek seperti kura-kura, rambut ikal berminyak, janggut kotor yang tidak dicukur berhari-hari, dan luka memanjang yang menggores bagian wajah kanannya. Orang-orang tidak akan mengira dia adalah Joe, yang selalu tersenyum dan sukses mengundang tawa penonton saat berada di atas panggung. Kenyataan bahwa ia sekarang jauh dari kata ramah apalagi lucu, memelototi seorang anak kecil kotor dan kurus yang merangkak di dekat kakinya, tidak akan pernah terbersit di pikiran siapapun.

Para pemain sirkus lain yang sedang berlatih di dalam gedung yang sama, menghiraukan pemandangan tersebut. Mereka diam-diam mendesah lega karena tidak menjadi sasaran kebengisan Joe. Tidak ada gunanya menghentikan Joe, pria mengerikan yang sekaligus menjadi ketua rombongan sirkus Red Carnaval. Joe gampang naik pitam dan tidak segan-segan memukul atau melakukan hal yang mengerikan kepada mereka semua bila ia sedang marah.

Tidak ada yang berani melawannya karena Joe memiliki banyak anak buah dan berteman dengan para preman. Selain itu, pada dasarnya para rombongan sirkus yang mengikuti Joe adalah ‘peliharaan’. Mereka tidak ada bedanya dibandingkan gajah, simpanse, atau macan, yang dipelihara oleh rombongan.

Bocah laki-laki yang saat ini menjadi bulan-bulanan Joe adalah Haru, yang sedang meringkuk di tanah seperti seonggok lap kumal. Pemandangan sesosok tubuh kurus kekurangan gizi yang penuh luka dan lebam tidak membuat Joe jatuh kasihan. Alih-alih demikian, Joe berjongkok di depan bocah tersebut dan menjambak rambutnya untuk mengamati wajah kecil Haru.

Haru menatap manik mata Joe tanpa berkedip. Walau mata kirinya bengkak parah hingga tidak bisa terbuka, Haru memandangi tatapan licik Joe dengan menantang tanpa rasa takut. Hal tersebut membuat Joe tertawa terbahak-bahak. Ia menampar-nampar wajah Haru.

“Bocah pemberani kau, ya?” cemoohnya tiap kali ia menampar Haru dengan pelan. “Bukan hanya membuat binatang peliharaanku kabur, kau ingin pergi dariku sebelum kau membayarku? Hah? Aku membelimu. Kau seharusnya menurut padaku.”

Tamparan itu kemudian menjadi semakin keras.

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan di luar sana? Kau itu bocah yang dijual oleh sanak saudaramu sendiri. Kau pikir diluar sana ada orang lain yang menginginkanmu, hah!?”

Darah mengalir keluar dari mulut Haru ketika tamparan itu berubah menjadi pukulan yang sangat menyakitkan.

“Kau tahu apa yang dikatakan orang-orang diluar tentangmu? Anak seorang pembunuh. Kau pikir dengan lari dariku bisa membuatmu terbebas!?”

“Joe, cukup.” Seorang asisten terdekat Joe akhirnya bertindak. Ia menangkap tangan Joe saat hendak melayangkan pukulan lagi. “Cukup. Dia bisa mati jika kau terus melakukannya.”

Haru sudah setengah sadar. Tubuhnya lunglai seperti sayuran layu dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa giginya yang tanggal terjatuh di lantai yang penuh bercak-bercak darahnya. Kondisi bocah itu sangat menyedihkan hingga mungkin sanggup membuat seorang preman kampung meneteskan air mata. Namun tentu saja tidak berlaku bagi Joe. Setelah mengamati Haru sesaat, Joe melepas tangannya yang memegang rambut Haru begitu saja, membuat tubuh bocah itu merosot di lantai kotor.

Joe bangkit berdiri setelah meludahi Haru. Setelah itu, ia mengambil rokok dari kantongnya dan memanggil seseorang. “Hei, kau! Obati anak ini dan masukan dia ke dalam kandang.”

Tidak ada yang melawan Joe. Joe berkata lagi pada Haru sebelum memanggil semua rombongan untuk makan malam.

“Kau sebaiknya berusaha lebih keras lagi untuk menggantikan kerja simpanse-ku yang kabur karena ulahmu. Paham!?”

Tanpa menunggu jawaban, Joe berlalu dari ruang latihan bersama dengan iringan pemain sirkus di belakangnya. Seseorang mengobati luka Haru asal-asalan dan menyeret bocah itu ke dalam kandang simpanse yang sekarang kosong. Setelah itu, lampu ruang latihan dipadamkan, meninggalkan Haru yang meringkuk sendirian di dalam kegelapan.

Haru berpikir di tengah kesadarannya yang mulai menghilang.

‘Aku harus membunuhnya. Aku akan membunuhnya. Aku akan membunuhnya berkali-kali.’

Tanpa ia sadari, air mata mengalir dari matanya yang bengkak.

‘Kenapa aku tidak bisa apa-apa? Aku.. aku.. kenapa aku tidak mati saja?’

Ia teringat semua yang dialaminya hingga harus berakhir di dalam neraka ini. Dadanya sesak, setiap inci tubuhnya sakit, dan Haru masih hidup. Air matanya terus mengalir. Ia kelelahan dan ingin berhenti.

Namun kemudian wajah Joe terbayang di benaknya. Tubuh Haru seketika membeku dan tangan kecilnya perlahan mengepal dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih dan ia merasakan kuku tajamnya menghujam kulit telapak tangannya.

‘Tidak, aku tidak boleh mati. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu sebelum aku mati. Bedebah itu. Aku akan membunuhnya. Aku akan..’

Malam itu, bocah sirkus Haru hidup dengan penuh harapan dan kebencian. Tiap hari ia menjalani hari-harinya dengan penuh tekad. Tiap malam ia memikirkan cara membunuh Joe dan anteknya. Ia selalu membayangkan bagaimana wajah sekarat Joe, dan itu membuatnya senang.

Ironisnya, hal itulah yang membuat Haru bertahan hidup hari demi hari. Ia terus menunggu kesempatan bagus dimana ia bisa membunuh Joe dan mengakhiri hidupnya dengan damai.

‘Tidak, aku harus menjadi sedikit lebih kuat agar dia semakin tersiksa...’

Pada akhirnya, dua tahun berlalu begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status