BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci?
Kalau di tanya, Jessica punya banyak sekali. Terlalu banyak sampai-sampai dua puluh jari yang gadis itu miliki tidak akan cukup untuk menghitungnya. Terlalu banyak hal merepotkan nan Jessica benci hingga membuatnya mengerutkan kening tidak suka sepanjang hari. Kendati demikian pun sang gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia dengan tenang nan tentran setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Setidaknya di atas bumi yang mulai rusak ini. Toh, katanya rasa sedih dan bahagia selalu di takar seimbang untuk semua manua. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya. Jessica lebih percaya dan tertarik dengan apa yang terjadi di lapangan. Dunia nyata selalu tampak mengerikan kian hari berlalu. Salah satu contohnya ialah seperti acara sederhana keluarga besar Atriyadinata yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Sang kakek berpikir cara ini efektif untuk tetap menjalin komunikasi dan memperindah harmonisasi keluarga yang mana bagi Jessica merupakan kegiatan buang-buang waktu. Harmonisasi keluarga apanya, mereka ini saling membenci satu sama lain dan jikalau lengah, siap-siap saja untuk di tusuk dari belakang. Argh! Rasa jengkelnya menjadi-jadi sekarang bergolak dalam dada. Berada di satu ruangan bersama dengan orang-orang yang hatimu benci bukan kepalang itu sama halnya dengan oksigen ada di depan mata akan tetapi lehermu dicekik kuat-kuat hingga keinginan bernapas bebas merupakan harapan kosong dan fatamorgana belaka. Err! Menjijikan. Menyebalkan. Gondok sekali. Membayangkan bagaimana senyuman demi senyuman palsu nan di paksakan tersebut di sunggingkan murah meriah seperti mirip pakaian obral tahun baru di pasar membuat perut Jessica mendadak bergejolak mual bukan main. Berlatar belakang sebuah tempat mewah, salah satu restoran bintang lima kepunyaan sang kakek yang tentunya seluruh menu makan siang kali ini di hidangkan di depan sangat-sangat memanjakan mata. Beragam macam tetapi tak satu pun yang menggugah selera. Jessica betulan muak dan mual dalam satu waktu bersamaan lantaran di haruskan berada di satu atap nan sama dengan para badutㅡyah, begitulah gadis berponi itu menyebut sepupu-sepupu terkasih dan dua paman serta dua bibinya tersebut. Astaga! Look at them, everybody! Mereka semua berpakaian rapi luar biasa, mengenakan merk-merk pakaian ternama hanya untuk makan siang yang hanya berlangsung selama tiga jam ke depan. Ck! Dasar hama penjilat! Mereka terlalu berusaha keras untuk menarik perhatian sang penguasa Atriyadinata. Jessica itu gampang muak. Sementara orang-orang di meja yang duduk dengan posisi sopan, punggung lurus tegak seolah-olah tengah menjaga keseimbangan tubuh agar tatanan bumi dengan sikap tubuh sempurna mereka itu dan bercengkerama dengan nada suara di buat-buat; persis seperti para bangsawan penjilat abad 18-an. Berbanding terbalik dengan Jessica yang masih mengenakan seragam sekolah. Kusut, kumal dan bau matahari. Dia seakan datang ke ruangan yang salah kali ini. Belum lagi alih-alih bertindak-tanduk sebagai perempuan konglomerat biasanya, Jessica justru menaikkan kaki ke atas kursi untuk duduk bersila dan heboh sendiri memainkan permainan online di ponsel berwarna hitamnya. Mari biarkan semua sepupunya memandang benci dan terang-terangan melirik sinir kecuali Bastian yang terkekeh geli diam-diam dari balik punggung tangan. Tidak lama kemudian pintu ruangan terbuka, Eleanor segera menepuk pelan bahu putri bungsunya tersebut saat Demian mulai memasuki ruangan akan tetapi si empu enggan berdiri dan menyambut sang kakek. Hapal betul tabiat cucu perempuan satu-satunya itu, Demian segera memberikan kode agar menantu pertamanya tersebut berhenti memaksa Jessica untuk bangkit. Pria di penghujung umur 60-an itu lantas mendekati sang cucu, mengecup puncak kepalanya penuh sayang dan meninggalkan usapan hangat lembut di sana. "Siang, sweetheart?" Jessica mendongak dan meletakkan ponselnya di sisi meja sembari menurunkan kaki lalu memeluk Demian erat seraya berbisik. "Kalau mau makan bareng aku cukup berdua aja. Aku benci ada di sini, you know that." Sang kakek terkekeh pelan dan meminta Jessica kembali duduk usai balas berbisik. "Only three hours, can you?" Gadis yang lahir dengan bingkai wajah serupa boneka itu nyaris saja mengeluarkan erangan kekesalan kalau-kalau saja sang ibu tidak memberikan tepukan pada lengan atasnya; total memperingati. Ck! Kalau saja Jessica tidak menyayangi Demian sebagaimana kakek mencintainya selama ini, mungkin kabur dari acara makan siang bersama nan memuakkan ini merupakan perkara mudah. Ha! Ini makin merepotkan saja. Yah, benar, Jessica. Mari lakukan saja demi kakek tercintamu. Mari doktrin dirimu dengan niat baik sebagai cucu nan berbakti, setidaknya hanya selama tiga jam ke depan. Semua orang kembali duduk di kursi mereka masing-masing usai sang tetua keluarga mendaratkan diri dengan nyaman. Butuh beberapa sekon bagi Demian untuk mengedarkan pandangannya menatap satu persatu anggota keluarga sebelum ia mengangguk kecil. "Ayo mulai makannya." Satu kalimat pendek Demian menjadi kode halus bagi para pelayanan untuk segera mendekat dan membantu menuangkan air. Jessica sempat mengira bahwa mereka semua akan betulan tenggelam dalam keheningan menyesakkan kala tidak ada satu pun orang yang berniat berbicara. Benar-benar sunyi. Mereka hanya fokus dengan hidangan pembuka. Jessica seolah-olah sedang menghadiri pemakaman alih-alih jamuan makan siang sekarang. Berbeda ketika ia makan bersama ketiga sahabatnya, ada-ada saja yang akan mereka ributkan, perdebatkan dan memicu perkelahian kecil. Berisik berlebihan seperti tengah berada di dalam pasar. Perbedaannya terlalu signifikan. Orang asing rasa keluarga. Keluarga rasa orang asing. Yah, setidaknya sekarang orang-orang asing itu bisa Jessica sebut sahabat sekaligus keluarga kecilnya. Namun nyatanya keheningan itu tak bertahan lama sebab Stelia berdeham pelan sejenak dan berhasil memancing perhatian mereka setelah beberapa menit berlalu. Wanita tersebut kemudian tersenyum lebar nan manis sembari mengusap bahu putranya dengan bangga dan membuka konversasi. "Oh iya, Pa. Minggu lalu Jeremy juara satu nasional di lomba kecerdasan buatan, lho, Pa. Acaranya di adain sama pemerintah pusat langsung." Lihat, lihat. Jessica juga bilang apa. Berada di sini hanya akan membuatnya tambah muak. Dia mencibir diam-diam dan mendumal dalam hati, di kira kakek nggak tau kali ya, goblok banget, pamer najis, ew! Jeremy menyunggingkan senyuman tatkala tahu Demian menaruh minat menelan makanannya. "Really? Glad to hear it. Kamu bikin alat apa, Jeremy?" Seperti saat ini, sang kakek selalu saja bertingkah pura-pura tidak tahu dan mengikuti alur drama para anggota keluarganya. Sudah Jessica katakan bukan jikalau makan siang ini menyesakkan? Teramat memuakkan. Mereka berlomba-lomba menyombongkan prestasi-prestasi yang di raih anak-anak mereka. Tak mau kalah. Tak mau ketinggalan. Harus menjadi nomor satu. Setiak perkataan di tekankan sesekali melirik pada Jessica yang tidak pernah menghasilkan atau memberi apa pun untuk membalas semua kasih sayang yang Demian berikan tanpa syarat padanya. Dia di anggap sampah di keluarga besarnya sendiri bukan hal baru, jadi Jessica takkan mau ambil pusing dan hanya memilih menertawakan kepicikan mereka di dalam kepala. Lanjutkan saja acara jilat menjilatnya, dasar rendahan! Ia terkadang hanya mendadak bertanya-tanya, kira-kira apa yang mereka harapkan setelah menyombongkan diri sebegitu kerasnya? "Bastian dapet undangan di kampus Jerman, Pa. Dia bisa kuliah di sana tahun ini juga setelah menang lomba sains internasional," tutur Fransisca senang dan mengusap telapak tangan putranya itu. Maka percayalah saat itu Jessica sedang memasang wajah jijik bukan kepalang. Demian tampak terkejut di kursinya; lagi-lagi berakting. "Lalu bagaimana, Bastian kamu mau lanjut kuliah di sana?" "Kalau urusan aku di sekolah udah selesai semua, rencananya aku nerima tawaran itu, Kek," sahut Bastian kalem dan tenang bersama seulas senyum. Sang kakek manggut-manggut, ia menatap bangga. "Ada baiknya kamu terima. Jarang-jarang ada orang yang bisa loncat kelas kayak kamu. Selamat, Tian," ujar Demian tulus. Ia meneguk minumnya dan menatap Albert kemudian. "Albert, gimana projekㅡ" "Kalau Kakek mau ngomongin pekerjaan itu bukan pas lagi makan tapi di jam rapat," sela Jessica cuek, seraya memasukkan potongan daging ke dalam mulut ia mendongak menatap Demian. "Kakek mau bikin aku kehilangan selera makan?" Ya, ya. Kalian bebas beranggapan Jessica adalah manusia kurang ajar dan silakan cari maki dirinya sebagai cucu tidak tahu di untung setelah semua cinta serta fasilitas maksimal yang Demian berikan tanpa syarat kepadanya. Terserah! Ia muak. Jessica tak akan mau repot-repot peduli. Tak akan mau pusing-pusing memikirkan bagaimana tanggapan atau respon orang-orang dengan ratusan omong kosong sebab ia sedari awal memang di lahirkan untuk di benci. Barangkali sebagian orang, bisa jadi pula bagi semua orang. Ia tidak peduli lagi, sungguh. So funny, akan tetapi begitulah kehidupan seorang Jessica. "Jessica, jaga bicara kamu. Kamu tau itu tidak sopankan?" tandas Fransisca, irisnya memang tidak melotot namun mutlak menyorot memperingatkan; tajamnya bukan main. Gadis berponi tersebut berpangku dagu dan tersenyum miring menatap sang bibi. "Aku ... nggak minta opini, Tante, tuh." "Yang sopan lo ngomong sama orang tuaㅡ" Jessica kembali menyela dengan nada bosan dan mengedikkan bahunya tak acuh ke arah Givan sembari berpaku dagu; total memandang dingin. "Orang tua lo, 'kan? Bukan gue? What's wrong? Toh, mereka juga nggak pernah anggep gue like they daughter, right?" Sudah tahu belum kalau Jessica sangat-sangat pandai bersilat lidah kala berdebat dengan anggota keluarga besarnya? Kalau belum, maka sekarang kalian sudah tahu. Givan mengepalkan tangannya dan berusaha keras menahan amarah, baru saja ingin membalas namun nyalinya total menciut ketika Demian memandangnya serius, memberi sinyal untuk menghentikan perdebatan tak bermutu itu. Pria itu menghela napas berat dan melirik Jessica selanjutnya. "Maaf, Pa," ucap Eleanor menyesal. "Nanti Jessica aku tegur, maaf sekali, Pa." Stelia mendengus kasar dan sembari meneguk jus dia berkata pelan, "Kelihatan. Anak yang nggak pernah diurus." Adegan berikutnya, satu ruangan menahan napas bergelung bersama teror kuat tatkala Jessica bangkit dengan cepat, menyambang vas bunga dan melemparnya dengan kuat bukan main melewati telinga Stelia. Gelegak amarahnya menjadi-jadi di bawah kulit. Sebagai anak sulung, Angello langsung berdiri guna mendekati adiknya namun Jessica menolak untuk di sentuh. Gadis berponi tersebut menyeringai, matanya yang bulat semakin melebar mengirim satu teror lagi memandang tante bungsunya sebelum menyugar rambut panjangnya kasar. "Itu hasil dari anak yang nggak pernah di urus, Tante," tekannya menahan gelegak emosi. Jeremy baru saja ingin bangkit dan tahu-tahu serta harus rela tangannya tergores pisau yang gadis itu lemparkan secepat kilat. Jessica kembali tersenyum sinting di posisi. "Apa perlu gue potong lidah lo biar diem dan nggak usah ikut campur, Tuan Sok Pintar? Suara lo nggak enak di denger, sialan! Keep your mouth shut!" "Sica, Sayang. Udah ya?" bujuk Angello dan lagi-lagi tepisan kasar yang diterima. Jessica terbahak-bahak kemudian sampai air matanya keluar. Ia melirik Albert dan Eleanor secara bergantian sebelum tangannya membabi buta membanting apapun yang bisa ia raih. Membuat manusia-manusia yang berada di ruangan melindungi diri dari pecahan kaca yang bisa saja melukai mereka. Angello terpaksa mendekap kuat adiknya bersama Alano tetapi tenaga si bungsu nyatanya jauh lebih kuat untuk kembali lepas. "I told you then, Grandpa!" seru Jessica, menahan diri untuk tidak mengeluarkan berbagai macam umpatan. Bola matanya berkaca-kaca berang menatap Demian. "Aku nggak suka ada di sini. Satu atap, satu tempat dan harus berbagi oksigen yang sama dengan mereka. I hate them so much, you know that. Kalian bisa makan tanpa aku. Kalian bisa saling ngobrol dengan tenang tanpa ada pengganggu kayak aku. Toh, di sini aku juga nggak ada gunanya, 'kan? Jadi ... please! Sebelum aku menggila dan ngegorok leher menantu Kakek tersayang itu. Jangan coba-coba undang aku ke sini lagi!" Demian ingin meraih lengan cucunya namun urung kala Jessica menyambar kasar ponselnya dan berderap menjauh dari sana. Suasana sukses memberat dan Eleanor tak tahu harus apa lagi selain menunduk penuh penyesalan ke arah ayah mertuanya. "Maafin Sica, Pa. Maaf karena aku nggak becus ngejaga dia," sesal Eleanor yang langsung dirangkul putra keduanya. Stelia yang masih syok dengan apa yang baru saja menimpanya lantas menyahut penuh amarah. "Kak, tolong dong. Jessica Kakak didik baik-baik. Bisa-bisanya anggota keluarga Atriyadinata berbuat sembrono kayak gitu. Ngamuk-ngamuk nggak jelas kayak nggak pernah didik. Kalau kepala saya yang kena, Kakak mau tanggung jawab?!" Namun alih-alih Eleanor, Demian yang menyahut bersama nada suara setenang telaga di posisi sambil memasukkan satu potongan daging ayam ke mulut. "Dan kalau saja kamu bisa menjaga mulut kamu. Cucu saya tidak akan mengamuk dan pergi dari sini, Stelia. Kamu sadar bukan semua ini bermula dari kamu yang menyulut amarahnya?" Stelia di bungkam telak, tangannya yang bersedekap kini turun ke pangkuan. Demian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Kita lanjutkan makan siangnya. Silahkan."APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di