TATKALA amarah menguasai sel demi sel di sekujur tubuh seseorang pernah berkata padanya, untuk menenangkan jiwa yang sedang di liputi amarah absolut maka hal yang harus di lakukan adalah berhitung. Entah itu di dalam hati atau di lakukan secara lisan. Yang mana katanya akan sangat-sangat membantu mengontrol gelegak emosi yang tengah membara. Jessica pikir itu adalah saran terkonyol dari sekian juta petuah yang berada di dunia ini. Ya, awalnya gadis berponi tersebut demikian sebelum kalimat yang di sampaikan laki-laki berwajah kalem itu ternyata cukup ampuh dan berguna baginya dalam melalui hari-hari berat nan menguras tenaga sekaligus energinya. Sangat berguna, sungguh dan Jessica sepenuhnya menyesal telah menertawai saran tulus laki-laki tersebut sore hari itu.
Jessica mengakui dengan baik bahwa ia memiliki sumbu emosi yang terbilang pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah sekali tersulut amarahnya akan sesuatu hal yang terkadang tergolong sepele. Bahkan terkadang dia tidak akan sungkan melepas tantrum besar-besaran guna mengeluarkan segala amarah dalam dada kalau-kalau saja Chelsie tidak datang guna menenangkan. Suatu waktu, ada masanya Jessica ingin membenarkan komentar-komentar yang di lontarkan oleh orang-orang secara percuma. Bahwasanya Jessica mutlak merupakan seorang pembawa masalah murni di hidupnya sendiri, juga sekaligus bagi orang-orang di sekitarnya. Maka daripada itu si gadis akan melupakan rentetan adegan kemarahannya di restoran secepat mungkin. Selain tidak begitu penting untuk di ingat-ingat lagi, Jessica juga harus melupakannya agar amarah dalam dada cepat sirna sesegera mungkin. Napas gadis beriris bulat kecokelatan itu terhembus kasar dan berat, kepalanya mendongak kemudian guna melihat lembayung jingga mulai mewarnai langit. Ia berhenti melangkah, diam di posisinya dan menikmati betapa indahnya angkasa sekarang. Serta-merta senyumannya terulas tipis, yah, walau terlalu tipis sampai-sampai ragu kalau lengkungan tersebut bisa di sebut sebagai sebuah senyuman. Jessica mengambil jeda sejenak demi ketentraman hatinya, mengambil oksigen sebanyak yang ia mampu dan menghembuskan udara perlahan-lahan. Rasa tenang pun agaknya mulai menggenggam kendali hati. Jessica merasa cukup lega sekarang ini. Apa yang laki-laki pucat itu katakan benar juga untuk yang satu ini. "Coba kamu take a time for yourself. Cuma ada kamu dan jiwa kamu. Jalan-jalan sendiri dan perhatiin bagaimana dunia berjalan di sekitar. Maka kamu, Sicaku, akan tau seberapa tenangnya bumi jika kita ingin lihat." Ah, bahkan Jessica sampai-sampai merasa mendengar suara hangat itu kembali memenuhi gendang telinganya. Kepala gadis tersebut kontan tertunduk kecil, ia serta-merta terkekeh hambar di buatnya sebelum mulai merasa jantungnya berdenyar pahit bukan kepalang. Dirinya seolah-olah kehilangan tujuan sekarang. Namun seberapa pun berengseknya Jessica terhadap semesta, ia takkan sudi mengasihani dirinya sendiri dan mengeluh, sekurang-kurang demi mempertahankan sisa-sisa harga dari eksistensi diri ialah ia hanya perlu dan wajib mensyukuri apa-apa yang telah ia miliki sejauh ini. Setidaknya gadis bersurai panjang bergelombang itu akan menggenggam kalimat manis pemuda tersebut dan mempercayainya dengan perasaan puas. "Menurut kamu, aku bisa bahagia?" lirihnya bertanya menatap langit. Berharap ada balasan akan tetapi hal sesinting itu takkan pernah terjadi. Jessica pikir perpaduan angin sepoi-sepoi, pendar hangat dari lembayung jingga angkasa dan aroma makanan dari pedagang kaki lima akan menjadi satu kesatuan yang membawanya merasakan ketentraman bumi dengan khidmat. Yah, sekurang-kurangnya menilik bagaimana di sana, orang-orang sibuk berlalu lalang dengan atau tidak bersama segudang kegiatan pekerjaan mereka yang menyita cukup waktu serta tenaga. Lagi, awalnya ia berpikir sedemikian baiknya kalau-kalau saja manik perempuan berponi itu tidak menangkap sosok familiar nan menyebalkan di depan sana. Dalam satu gerakan gesit Jessica berbalik dan berderap menjauh seolah-olah tidak melihat apa pun. Jessica kontan kembali mengutuk bumi, takdir dan alur kisah hidupnya yang berjalan cenderung aneh. "Orang-orang pernah bilang kalau nggak ada yang kebetulan di dunia ini," Sebuah suara berat berceletuk ringan di sisi si gadis tidak lama kemudiam, kepalanya tertunduk kecil guna menyamakan posisi wajah mereka. "Berarti kita jodoh dong?" Ya Tuhan! Manusia di bumi memangnya cuma Alvin saja sampai-sampai engkau kirim dia lagi dan lagi kepada Jessica? Jessica cuma berharap sisa harinya sedikit lebih tenang, astaga! "Jes, cogan lo anggurin?" Jessica enggan menyahut sungguh! Akan tetapi Alvin malah lancang merangkul pundaknya dan cemberut masam. "Babe, orang ganteng nggak boleh di cuekin. Pamali." Buru-buru gadis berponi itu melepaskan diri dan memberikan jarak selebar mungkin di antara kita. Irisnya kontan memandang tajam pemuda serupa kelinci tersebut. "Pertama, lo bacot. Kedua, gue lagi nggak dalam keadaan mood ngeladenin lo. Ketiga ... permisi, ngomong sama lo nggak guna, cuma buang-buang waktu." Yah, dan bukan Alvin namanya jikalau tidak berani dan bertindak senewen dalam memancing kemarahan Jessica dalam waktu relatif singkat. Tangan kekar pemuda serupa kelinci itu kemudian dengan lancang memanjang guna menarik lengan Jessica lalu memeluk posesif pinggang ramping gadis serupa boneka tersebut di pinggir taman. Di saksikan jingga menawan langit dan pejalan kaki sebagai saksi bisu adegan bak film romansa picisan itu. Manik bulan Jessica membulat sempurna menatap penuh teror kepada Alvin yang justru sekarang sedang terkekeh geli bahkan dengan semakin berani dan kurang ajarnya menipiskan jarak antara wajah mereka. "SINTING YA LO?! LEPAS!" Alvin makin mengeratkan pelukannya dan mengukir senyum miring. "Gue udah pernah bilang belum kalau lo itu cantik, hm?" Keyakinannya meningkat drastis akan dugaan Alvin itu pasien rumah sakit jiwa yang berhasil kabur dari bangsal isolasi tingkat berbahaya dan hidup dengan identitas baru. Jessica berusaha mendorong kuat-kuat dada si pemuda namunㅡsial! Mengapa dekapan Alvin kuat sekali mengukungnya, astaga?! Jessica semakin menatap tajam pemuda di depannya ini. "Lepas selagi gue ngomong baik-baik, Alvin. Lepasin! Lo apa-apaan, sih?!" "Gimana kita dinner? Sebentar lagi jam makan malam, lho," tawarnya tiba-tiba, nada suaranya masih terdengar ringan seakan-akan si empunya tidak melakukan tindakan menyebalkan apapun. Tangan gadis berponi terkepal kuat-kuat dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghadiahi Alvin tamparan kuat. Hal tersebut sukses membuat pemuda tidak sopan itu mundur beberapa langkah. "Denger ya, bangsat! Jangan pernah sama-samain gue dengan cewek-cewek tolol yang lo mainin itu! Gue bukan mereka! Silahkan main dengan mereka bukan gue!" tandasnya berang bukan kepalang. Alih-alih marah apalagi merasa jengkel Alvin malah terkekeh dan itu semakin memperkuat title kurang warasnya. Sembari memegangi pipinya yang memerah, Alvin membalas kelewat santai tanpa beban. "Gue nggak pernah merasa apalagi bilang lo itu sama kayak cewek luaran sana. Nggak pernah, sekali pun. Jadi jangan sotoy sama isi pikiran orang lain. Salah paham sendiri, marah sendiri. Kan ribet sendiri jadinya." Jessica menghela napas kasar. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirin pemuda sinting di hadapannya ini. Ia menyugar rambutnya kasar. "Masih untung tangan lo nggak gue patahin karena berani-beraninya megang-megang gue. Sialan! Enyah lo!" "Dan seharusnya lo berterima kasih ke gue karena gue masih waras nggak nyium bibir ... seksi lo itu," sahut Alvin sekenanya. Percayalah! Jessica tengah memaki-maki Alvin di dalam benaknya lantaran tenaganya seolah menguap begitu cepat hanya untuk mengumpat sekarang. Jessica mengibaskan tangannya dan berbalik pergi seraya berkata jengah. "Silakan cium cewek lain. Di klub banyak cewek yang mau di kasih cumbuan murahan itu." Seharusnya dengan segala macam cara Jessica harus memberikan laki-laki siluman kelinci itu pelajaran seperti patah tulang di tangan, leher atau setidaknya satu bogem mentah pada wajah menyebalkan tersebut. Karena beberapa sekon sebelum ketenangan jiwanya terguncang, usai si gadis berponi ingin berderap menjauh, Alvin kembali menarik lengan Jessica dengan gerakan kilat dan kali ini bukan lagi untuk sekadar sebuah dekapan biasa. Melainkan pemuda tersebut merunduk dalam guna memberikan sebuah kecupan singkat di sudut bibir Jessica. Alvin mengusak gemas puncak kepala si gadis yang sepenuhnya membeku di posisi. "Kalau ada lo, kenapa harus nyari yang lain, hm?" Mungkin Jessica terlalu syok dan kaget sampai-sampai membiarkan Alvin menghilang begitu saja dari sana. Sadar betul akan situasi si gadis buru-buru mencegat taksi, menyodorkan ponselnya yang berisi sebuah alamat dan butuh belasan menit untuk sampai yang mana Jessica langsung meloncat turun meski sang sopir berteriak meminta bayaran atas jasanya. Gadis itu menulikan pendengaran dan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah Chelsie hanya untukㅡ "BERENGSEK! MATI LO ABIS INI, SIALAN! ANAK SETAN! BERENGSEK! ARRRGHHHH! BANGSAT! ANJㅡ@#¥%**@&¥@¥*" Chelsie berkedip berkali-kali di ujung tangga, tentu, kedatangan Jessica dan teriakan penuh umpatannya itu bukanlah salah satu dari makanan fast food yang ia pesan sore ini. Sembari meneguk sebotol jamu di tangan, ia bergumam, "Stres ya, Sica?" tanyanya lempeng. Jessica menatapnya dengan sepasang mata berkobar marah dan menyeringai menyeramkan kemudian. "Tolong cariin cara pembunuhan paling sadis dan tragis, hehe. Gue harus matiin hama. Tolong!"APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di