Share

EP 08 - Luka Yang Dilupakan

Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh.

Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri?

"Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih,"

"Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya.

Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?"

"Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang.

Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak dikenal.

'Akhirnya gue beli pulpen hari ini'

Ella sontak tersenyum, lalu menatap Seno. "Emang tadi ngga pake pulpen?"

"Engga, gacul punya temen."

"Gacul?"

"Pinjem, La. Bercanda elah."

Ella terkekeh pelan. "Emang udah punya temen?"

"Hm?" Seno tak menjawab ia justru menaruh tangannya di pucuk kepala Ella, lalu mengusapnya lembut.

Ella hanya diam. Tak mengerti maksud perlakuan Seno. Sampai pemuda itu berbalik dan berjalan terlebih dahulu ke kasir.

"Udah, yuk. Dibayar dulu." kata Seno sudah berjalan.

Ella pun mengangguk setuju. Tak berpikir lebih jauh. Laki-laki kan kebanyakan memang lebih cepat akrab dalam suatu ruang lingkup pertemanan baru.

**

Ethan tiba di rumah dengan tubuh yang lelah dan raut wajah lesu. Ia tiba di rumah ketika hari sudah semakin petang. Walau begitu, ia tidak menerima ajakan Jenn untuk pergi kemana pun. Ethan hanya menenangkan diri sejenak di minimarket.

Tiba di melewati ruang tengah, Ethan mendapati Bunda sudah duduk di sofa. Fokus dengan Tab, membaca berita di sana.

"Ella—"

"Iya. Ella udah ngabarin Bunda dia pergi cari buku sama temennya."

Ethan meneguk ludah, diam. Agak lega karena hal itu. Walau sejujurnya Ethan tak tahu Ella akan pergi mencari buku. Tapi yang penting, Bunda tidak mempermasalahkan hal itu. Ayah juga belum nampak pulang.

"Hm." Ethan mengangguk tak enak, lalu memutuskan untuk berjalan naik.

"Kamu nggak mau salim dulu?" kata Bunda membuat langkah Ethan terhenti seketika.

Bunda menoleh, maniknya melirik menatap Ethan. Lalu kembali melengos merunduk pada Tab. "Kamu selalu salahkan Ella kalau merasa tersingkir. Sedangkan attitude kamu sendiri nggak membuat kamu pantas ada di atas."

Ethan langsung mendekati ibunya. Tanpa pikir panjang lagi, Ethan mencium tangan. Walau hatinya rasanya dongkol sekali. Tapi Ethan menyembunyikan semua itu dengan wajah datar. Berakting baik-baik saja di depan orang tuanya seperti biasa.

"El masuk dulu ya, Bun." katanya pada Bunda.

Bunda tak langsung menjawab. Wanita itu nampak membenahkan gagang kaca matanya, dan kembali membaca berita. Lalu barulah terdengar jawaban.

"Sana naik."

Saya juga nggak mau lihat wajahmu di depan mata saya.

Ethan tahu, kalimat itu ditahan Bunda dalam pikirannya. Ini bukan waktunya untuk berdebat besar tanpa alasan. Bunda ingin bernapas tenang di rumah tanpa ada pertengkaran.

"Iya, Bunda." jawab Ethan lembut. Kemudian barulah ia kembali berjalan naik ke kamarnya di lantai atas.

Ethan masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di sana. Melepas lelah dan segala beban pikirannya. Tentang bagaimana Ella hidup tenang dan bisa berkumpul dengan teman-temannya tanpa kecurigaan ataupun perasaan berjarak.

Sial, Ethan benar-benar tiba di fase kehidupan di mana... dia sangat iri dengan Ella.

**

Suara deru motor yang berlalu-lalang menjadi pengisi sepi. Ella dan Seno memalingkan pandang, keduanya sama-sama menahan diri. Tahu akan ada perang yang pecah kalau sampai mereka sama-sama melangkah lebih jauh lagi dari ini.

"La—" Seno mendadak diam tak melanjutkan. "Lo bener-bener, ya. Nggak bisa dipercaya."

"Gue justru nggak tau lo berubah jadi pemaksa gini, Sen." jawab Ella menoleh sepenuhnya menatap Seno.

Seno diam, tak langsung menjawab. Ia melempar pandangan ke aspal. "Sikap keras lo itu, wah," Seno mengusap belakang kepalanya. "Kayak siapa, aja." sambungnya pelan, menyindir.

Membuat raut wajah Ella seketika berubah. Tahu siapa orang yang Seno maksud. Ia sudah bersiap untuk meledak di sana, tapi Ella kembali menahan diri. Sebab segala tentang Emmanuel Tithan Rahadi, Ella harus berhati-hati.

"Gue pulang naik ojek. Lo terserah mau ngapain." kata Ella beranjak. Tak ingin memicu perdebatan lebih besar.

"Gue udah bilang. Gue anterin lo sampe ke rumah, Ella." kata Seno menarik lengan Ella dan membuat langkahnya terhenti.

Ella menoleh. "Dan gue cuma nggak mau lo datang ke rumah, Arseno Gibran." tegasnya menatap Seno tepat.

Membuat Seno sedikit terkejut dengan hal itu. "Wah, lo, elo. Bener-bener gila." kata Seno termundur dan melepaskan genggaman di lengan Ella. "Belum apa-apa lo udah mau ngusir gue aja, La."

"Gue nggak ngusir lo, Seno. Gue cuma—"

"Gue cuma? Cuma apa?" sahut Seno cepat, nampak mulai terbawa emosi. "Lo emang nggak suka gue datang kan, La?"

"Seno lo apa sih, nuduh gue gini terus."

"Lo tersinggung karena semua tuduhan itu bener, kan, La?"

Ella ternganga kecil. Nampak tak percaya Seno terus menyudutkannya. Dan Ella sangat benci kondisi ini. Di mana ia terus dituduh tapi tak diberi kesempatan untuk bicara sama sekali.

Ella melirik sekitar. Mereka masih ada di trototar yang kini semakin ramai karena para pedagang sudah mulai buka lapak menjelang hari makin petang.

Tanpa pikir panjang, Ella langsung beranjak dari sana menuju ke sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari toko buku. Setidaknya kini ia harus menjauh dari Seno untuk menghindari pertengkaran di pinggir jalan.

Namun Seno justru turun dari motor dan berlari mengejar Ella. "La, mau lo apa sih?" tanyanya menarik tangan Ella dan membuat gadis itu berbalik secara paksa.

"Jangan maksa, Sen. Mau gue, lo jangan maksa!" katanya tegas.

Seno mendadak diam. Tak percaya Ella membentaknya di pinggir jalan begini. Hingga tanpa sadar ekspresinya berubah serius.

"Eh, itu Ella, kan?"

"Ella? Eh iya, Ella."

"Woi! Lepasin nggak!"

Seno sontak mundur ketika sepasang kekasih mendekati mereka. Ella menoleh, mendapati Fara dan pacarnya, Marvin keluar dari pusat perbelanjaan dan menghampiri. Marvin nampak garang hendak membela Ella. Namun Seno sudah mundur duluan. Ia langsung berbalik pergi dengan motornya. Meninggalkan Ella di sana dengan dua orang itu.

"Ella lo nggak papa, kan?" tanya Fara langsung memastikan kondisi Ella.

"Enggak, gue nggak papa, kok." jawabnya masih menatap Seno yang pergi dan Fara di depannya secara bergantian.

"Itu anak pindahan jurusan MIPA kan, Yang?" kata Marvin memastikan.

"Iya." kata Fara menjawab.

"Gila. Belum ada satu minggu udah problematic." kata Marvin geleng-geleng kepala, tak percaya.

Sementara Marvin dan Fara membicarakan Seno, Ella melirik pergelangan tangan dan juga lengannya. Mendapati brkas merah di sana. Seakan Ella tahu, Seno sudah berubah. Ella tak pernah mengenali Seno yang sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status