Share

EP 07 - Dua Cerita Berbeda

"Wih, preman gang mana, nih!"

Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah."

"Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.

Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.

Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.

Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal.

"Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh."

"Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin."

"Bentar lagi juga cerai. Liat aja."

"Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."

"Namanya juga anak broken home. Bapak brengsek anaknya juga pasti brengsek. Buah kan nggak pernah jatuh jauh dari pohonnya."

Alvi yang mendapati Ethan terdiam dengan tatapan kosong itu pun menyikut pelan Ethan. Namun pemuda itu masih diam dalam lamunannya. Sampai Alvi pun akhirnya menggebrak meja Ethan cukup keras. Hingga Ethan mengerjap tersadar.

"Ditanyain Joshua. Alasannya apa?"

"Ha?" Ethan mengangkat dua alis tinggi, tak mengerti. "Apa? Alasan apa?"

"Alasan lo bentrok." kata Miko menoyor kepala Ethan, gemas sendiri. "Makin budek ya lo diajak omong, lama-lama."

"Oh, itu," Ethan mengalihkan pandangan. "Gue lewat pas mereka lagi mabok sih, terus ketauan beach gue anak sekolah sini. Jadi ya bentrok." bohong Ethan dengan sempurna.

Alvi pun melebarkan mata. Tanpa sadar mulutnya ternganga. Ditambah dengan kehebohan Miko, Ethan terus menutupi lukanya dengan cerita bohong. Hingga tanpa sadar jarak psikis Ethan dan teman-temannya jadi semakin jauh. Tapi ia tak masalah. Sebab semua orang pun akan pergi kalau mereka tahu kisah yang sebenarnya. Kisah yang tak seharusnya orang lain dengar.

Mungkin perasaan jarak inilah yang membuat mereka tak sedekat kelihatannya. Sama seperti Ella, Ethan tak pernah tahu kapan ia akan dikhianati oleh teman-temannya itu.

**

"Pulang bareng gue ya, La."

Ella terdiam di depan pintu kelasnya. Baru selesai ia piket, di tengah lorong jurusan yang sudah sepi, Ella nampak berpikir dan ragu.

"Nggak usah, gue biasa pulang sendiri."

"Nah, makanya, kan. Dari pada lo pulang sendiri, mending bareng gue."

Ella memalingkan pandang, ia meneguk saliva berat. Seno adalah orang kedua yang mampir ke rumah setelah Abian. Ethan tidak tahu soal ini. Mereka belum sempat membicarakannya. Kemungkinan besar ia juga tidak tahu karena suara Ayah di ruang tengah waktu itu lebih besar dari suara motor Seno.

"Gue nggak langsung pulang hari ini, Sen." kilah Ella masih menghindar.

Bagaimana pun, kondisinya hari ini sudah kembali normal di rumah. Ia juga berangkat dan pulang bersama Ethan. Ella hanya ingin minggu tenang untuk mulai menyambut kesibukan ujian. Ia tidak ingin memercik sedikit pun masalah dengan Ethan yang memang sensitif.

"Oh ya? Lo mau ke mana? Cari buku buat SBM? Atau apa?"

Ella agak membelalak, ia menoleh kaget Seno bisa tahu wishlist Ella minggu ini. Bahkan saat Ethan tak pernah peduli dengan hal itu.

"Iya."

"Ya udah! Ke Gramedia, yuk!" ajak Seno bersemangat.

Ella terdiam sejenak, masih ragu. Terakhir Ella tak langsung pulang ke rumah, Ethan berakhir dipukuli oleh Ayah. Kalau dibilang Ella tidak peduli dan Ella tidak punya rasa bersalah, semua itu bohong. Ella juga memikirkan Ethan. Ella juga pedih melihat semua bekas luka dari Ayah di sekujur tubuh Ethan. Ella juga sakit. Ethan tak pernah tahu itu.

"Gimana, La?"

Pertanyaan Seno menyeret kembali pikiran Ella ke alam nyata. Ia mendongak, lalu mengangguk dengan senyuman tipis. "Yuk!"

**

03.45 PM

Ella: Gw pergi sama temen gw, lo langsung pulang aja

Ethan yang membaca pesan masuk dari Ella beberapa detik lalu itu terdiam selama beberapa saat. Lalu mendengus sembari melempar ponsel ke kursi sebelah kemudi.

Terakhir mereka tak pulang bersama karena Ethan dan Ella bertengkar. Lalu Ethan pergi menemui pacarnya dan berakhir dipukuli Ayah. Belum genap seminggu setelah kejadian itu, mengapa Ella tak pernah sedikit pun memikirkannya? Mengapa Ella tak pernah khawatir sedikit pun akan kondisi Ethan di rumah? Kenapa?

Apa Ella benar-benar berniat menyingkirkan Ethan seperti yang selalu dilakukan Tante Ita?

Sial, Ethan tak bisa berhenti berpikir buruk tentang adik kembarnya itu. Tapi kenyataannya memang begitu, kan? Apa hal baik yang ada dalam Ella selain menjadi sempurna di mata orang tuanya dan terus membuat Ethan tersingkir?

Ethan menarik napas panjang, kemudian menyandarkan diri ke sandaran kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan napas berat.

"Liat, deh. El emang cocok pake wig buat teater. Jadi lebih cantik dari Ella."

"Ella kan tomboy, ya."

"Iya ketuker. El laki-laki, tapi kayak banci."

Suara tawa menggema di kepala Ethan. Ethan yang saat itu berusia 8 tahun hanya bisa diam menatap mereka semua setelah didandani bak princess.

Mereka bilang, gender Ethan dan Ella tertukar saat dalam kandungan. Mereka bilang saat itu Ella yang lebih berani dan keras seharusnya terlahir menjadi laki-laki.

Namun sejujurnya, Ethan tahu seharusnya ia tak pernah lahir di dunia ini.

Saat hari persalinan dulu, Ethan mendengar cerita dari Tante Ita tentang kebenarannya. Bunda tidak pernah tahu kalau ia akan melahirkan anak kembar dengan dua jenis kelamin berbeda. Dari hasil pemeriksaan dulu, yang Ethan tahu Bunda hanya akan melahirkan satu anak perempuan. Memang ada kemungkinan Bunda melahirkan anak kembar, tapi tidak ada yang berpikir itu adalah Ethan. Anak kembar laki-laki mereka, versi laki-laki dari Ella, adiknya.

Karena itulah sejak kecil di rumah, lebih banyak mainan dan pernak-pernik anak perempuan. Sebab dari awal, kehadiran Ethan memang tidak pernah diharapkan.

"Eh," Ethan tersentak kecil saat menyadari ujung matanya basah. Ia terdiam sejenak di sana, memandang pantulan dirinya dari balik kaca di tengah mobil.

Ethan... menangis.

Ia benar-benar berada dalam titik stresnya di minggu-minggu terakhir ini.

"Astaga," Ethan langsung menyeka air matanya. Ia duduk menegak lalu mengambil napas panjang. Kembali bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

Padahal Ethan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menangis. Ethan akan menjadi laki-laki sejati, seperti dalam gambaran orang-orang. Walau terkadang rasanya... begitu berat dan sakit.

Dering ponsel Ethan masuk, menandakan sebuah panggilan. Pemuda itu langsung menoleh. Kemudian mengangkat alisnya tinggi melihat panggilan masuk dari Jenn.

**

"Ella, liat, deh. Lem Aibon."

Ella menoleh. Dahinya mengernyit. "Kenapa?" sahutnya kemudian berjalan mendekat.

"Mabok, La. Ngelem." kata Seno tak berdosa. Nampak tersenyum lebar, sontak hal itu mengundang toyoran dari Ella.

"Sinting lo." kata Ella mendengus pendek. Seno hanya terkekeh pelan dan mengembalikan kaleng lem itu ke tempatnya di rak.

"Ella, pulpen!"

Ella hampir oleng ketika Seno tiba-tiba menariknya ke rak pulpen warna-warni. Bak anak kecil dengan rasa penasaran yang besar, Seno mengambil sebuah pulpen berwarna hijau kemudian menuliskan sesuatu di kertas tester.

'Seno ♥️ Ella forever'

"Sen, gila ya!" ujar Ella malu seketika langsung memukul lengan Seno. "Kayak anak SD aja lo! Parah!"

Namun Seno hanya tertawa. Ya, ia kembali tertawa. Seolah ia memang benar-benar senang berada di sekitar Ella.

"Gue ambil ini, deh. Satu." kata Seno santai. "Warna wadahnya ijo neon, tapi tintanya warna item. Bagus."

"Aduh. Iya deh, terserah. Lo nggak jadi cari buku buat SBM? Gue udah ambil." kata Ella mengganti topik, masih salah tingkah.

"Ha? Enggak." jawab Seno tegas, tapi tetap nampak santai. "Gue cuma mau pergi sama lo. Jadi itung-itung nemenin gitu."

Ella sontak terbatuk kecil. Ia memalingkan wajahnya yang terasa hangat. Dari awal pun, kehadiran Seno memang benar-benar tak baik bagi jantung Ella.

"Eh? Kenapa?" tanya Seno pura-pura bodoh, ia nampak tertawa pelan melihat tingkah Ella. Hingga ia teringat akan sesuatu. Akhirnya Seno pun mengeluarkan ponselnya dari balik jaket denim. "Nomor lo, La." kata Seno sembari memberikan benda pipih berwarna hitam itu pada Ella.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status