Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe.
Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu.
"Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet.
"Hah? Pesen?"
"Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?"
Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua."
"Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Pukul enam pagi tepat, sebuah mobil hitam perlahan memelan lajunya dan kemudian berhenti di parkiran kosong apotek. Masih sekitar 50 meter dari sekolah. Seorang pemuda yang mengemudi mobil itu menghela napas, kemudian bersandar diam pada sandaran jok mobil.Gadis yang duduk di sebelah kursi kemudi itu mengerjap. "Lo nggak mau nganterin gue sampe depan, El?""Nggak usah manja—""Ini masih jam enam pagi—""Gue bilang enggak, ya enggak." potong Ethan, pemuda itu dengan cepat. "Kita sepakat untuk nggak pernah debatin ini kan, La?"Tanpa pikir panjang lagi, Ella, gadis itu langsung mengambil ranselnya di jok belakang. Ketika ia bersiap untuk keluar, gadis itu terdiam. Menoleh kecil."Gue harap suatu hari nanti, lo bakal sudi ngakuin gue sebagai adek lo, El."Ethan diam sejenak. Tak langsung menjawab. Sampai satu sudut bibirnya naik, membuat sebuah tawa kecil. "Jangan pernah harap."Tepat setelah jawaban itu, Ella langsun
Dering bel yang ada di atas pintu kafe terdengar ketika Ethan masuk. Ia merunduk, membaca pesan dari Joshua untuk memastikan posisi gadis blasteran itu. Lantai satu pojok dekat bunga anggrek. Ethan langsung mengedarkan pandangannya. Tak butuh lama bagi manik coklatnya untuk mendapati seorang gadis duduk di sudut sana, sendirian. Namun parasnya berbeda dengan foto yang Joshua tunjukkan, membuat Ethan ragu. Namun gadis itu malah melambaikan tangan padanya. Membuat Ethan akhirnya menghampiri dan duduk di depan gadis itu, canggung. "Joanna nggak bisa datang. Jadi aku yang gantikan. Nggak papa, kan?" Ethan tersentak kecil mendengar aksen bahasa Indonesia gadis itu yang masih sangat mengambang. Berbeda dengan di foto, semua orang pun tahu gadis yang ada di depannya ini bukan blasteran. Tapi orang asing murni. "Eh, Joshua juga nggak bisa datang. Dia harus jenguk neneknya di rumah sakit. Aku Ethan." "Nggak masalah, aku sudah tahu. Joanna beri tahu aku
Ethan menyipitkan mata dari dalam mobil mendapati seorang pemuda asing ada di rumahnya, nampak berbincang dengan dua orang tua Ethan beserta Ella. Entah apa yang mereka bicarakan, namun hal itu membuat Ethan harus diam di dalam mobil selama beberapa saat. Sampai setidaknya pemuda itu kembali memakai sepatunya, lalu berpamitan pergi dengan semua orang. Ethan pun akhirnya turun dari mobilnya. Ethan masuk ke dalam rumah. Mendapati Ella yang sedang bicara pada dua orang tuanya soal pemuda tadi. Sementara Ethan melirik Ella sinis, kemudian langsung naik ke lantai dua rumah mereka. Ayah yang menyadari hal itu pun mengernyit. "Kamu bertengkar sama El?" "Eng? Oh, enggak, kok. Cuma aku bilang mau tidur sampe sore sama Kak El. Makanya dia heran liat aku pulang gini." jawab Ella berbohong. Seperti biasanya, Ethan dan Ella berpura-pura baik-baik saja di depan orang tua mereka. Ayah pun mengangguk percaya. "Oh, ya udah. Istirahat gih, sana." ujar pria itu sembari
"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin."Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus.""Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo.""Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya.Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemud