"Kalian ngapain di sini?"
"Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?"
Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya.
"Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya."
"Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh.
Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Pukul enam pagi tepat, sebuah mobil hitam perlahan memelan lajunya dan kemudian berhenti di parkiran kosong apotek. Masih sekitar 50 meter dari sekolah. Seorang pemuda yang mengemudi mobil itu menghela napas, kemudian bersandar diam pada sandaran jok mobil.Gadis yang duduk di sebelah kursi kemudi itu mengerjap. "Lo nggak mau nganterin gue sampe depan, El?""Nggak usah manja—""Ini masih jam enam pagi—""Gue bilang enggak, ya enggak." potong Ethan, pemuda itu dengan cepat. "Kita sepakat untuk nggak pernah debatin ini kan, La?"Tanpa pikir panjang lagi, Ella, gadis itu langsung mengambil ranselnya di jok belakang. Ketika ia bersiap untuk keluar, gadis itu terdiam. Menoleh kecil."Gue harap suatu hari nanti, lo bakal sudi ngakuin gue sebagai adek lo, El."Ethan diam sejenak. Tak langsung menjawab. Sampai satu sudut bibirnya naik, membuat sebuah tawa kecil. "Jangan pernah harap."Tepat setelah jawaban itu, Ella langsun
Dering bel yang ada di atas pintu kafe terdengar ketika Ethan masuk. Ia merunduk, membaca pesan dari Joshua untuk memastikan posisi gadis blasteran itu. Lantai satu pojok dekat bunga anggrek. Ethan langsung mengedarkan pandangannya. Tak butuh lama bagi manik coklatnya untuk mendapati seorang gadis duduk di sudut sana, sendirian. Namun parasnya berbeda dengan foto yang Joshua tunjukkan, membuat Ethan ragu. Namun gadis itu malah melambaikan tangan padanya. Membuat Ethan akhirnya menghampiri dan duduk di depan gadis itu, canggung. "Joanna nggak bisa datang. Jadi aku yang gantikan. Nggak papa, kan?" Ethan tersentak kecil mendengar aksen bahasa Indonesia gadis itu yang masih sangat mengambang. Berbeda dengan di foto, semua orang pun tahu gadis yang ada di depannya ini bukan blasteran. Tapi orang asing murni. "Eh, Joshua juga nggak bisa datang. Dia harus jenguk neneknya di rumah sakit. Aku Ethan." "Nggak masalah, aku sudah tahu. Joanna beri tahu aku
Ethan menyipitkan mata dari dalam mobil mendapati seorang pemuda asing ada di rumahnya, nampak berbincang dengan dua orang tua Ethan beserta Ella. Entah apa yang mereka bicarakan, namun hal itu membuat Ethan harus diam di dalam mobil selama beberapa saat. Sampai setidaknya pemuda itu kembali memakai sepatunya, lalu berpamitan pergi dengan semua orang. Ethan pun akhirnya turun dari mobilnya. Ethan masuk ke dalam rumah. Mendapati Ella yang sedang bicara pada dua orang tuanya soal pemuda tadi. Sementara Ethan melirik Ella sinis, kemudian langsung naik ke lantai dua rumah mereka. Ayah yang menyadari hal itu pun mengernyit. "Kamu bertengkar sama El?" "Eng? Oh, enggak, kok. Cuma aku bilang mau tidur sampe sore sama Kak El. Makanya dia heran liat aku pulang gini." jawab Ella berbohong. Seperti biasanya, Ethan dan Ella berpura-pura baik-baik saja di depan orang tua mereka. Ayah pun mengangguk percaya. "Oh, ya udah. Istirahat gih, sana." ujar pria itu sembari
"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin."Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus.""Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo.""Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya.Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemud
"Lo liat dua cewek tadi?" "Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?" "Bule. Rambut coklat bergelombang." "Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli. Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja. "Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil. "Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El." "Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil. "Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir."&nbs
Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak