Beranda / Urban / The Real Successor / 4 | Gejolak Jiwa Remaja

Share

4 | Gejolak Jiwa Remaja

Penulis: Azra Tyas
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-12 16:58:53

     Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan.

     Ning Probolinggo Golek Jahe ...

     Niat lungo arep nyambut gawe...

     Ning Sidoarjo Golek Waluh ...

     Aku kerjo kowe malah selingkuh ...

     Aku kerjo kowe malah selingkuh ...

     Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mobil Juke berwarna merah yang siang itu berhenti di sana. Pengemudi di dalamnya tak berlama-lama pun menurunkan kaca mobilnya dan memandang tertegun kepadaku sembari memasukkan sebuah koin seribuan rupiah ke dalam topi wadahku mengumpulkan recehan.

     "Ayo Ben, Jalan!" seru penumpang lain dalam mobil itu yang melihat lampu lalulintas menyala hijau.

Aku pun berteduh di pinggir jalan saat kakiku terasa lelah. Meminjam korek api lain kepada Budi rekan sesama pengamen yang tinggal di gang sempit tak jauh dari terminal di dekat sana. Dan saat aku lihat langit mulai mendung, aku pun memutuskan kembali pulang dan langkahku terhenti saat sebuah suara memanggilku.

     "Mas Andy!" ku lihat Romi melambaikan tanganku dan meletakkan sol sepatu yang tadinya dikerjakannya.

     "Mangkal di sini Rom?" balasku saat ia mendekatiku.

     "Iya Mas, saat aku tanya mas sering mangkal di mana, saya lihat-lihat belum ada tukang jahit sepatu yang mangkal di sekitar pom bensin ini, makanya saya minta ijin ke pengelolanya untuk diijinkan mangkal di bawah pohon di luar pagar, katanya nggak apa-apa asal nggak ngganggu mobil yang keluar!"

     "Oh, baguslah! Jadi nggak harus bayar pajak lagi ke Geng Brewok!" balasku.

     "Ya kan Mas Andy bilang juga kalau menghindari masalah sama Geng Narko itu, jadi saya berpikir tempat mangkal Mas Andy pastinya jauh dari para begundal itu!"

      Nggak disangka pinter juga Romi ini membaca suasana, "Ya sudah aku pulang dulu ya! Semoga rame yang reparasi sepatu kamu hari ini, Rom!"

      "Makasih, Mas!" aku pun melenggang pergi untuk segera menuju ke warung Bu Asih melakukan pekerjaanku di sana seperti biasa.

     Tapi di jalan aku lihat Satriyo anak Bu Asih yang masih memakai seragam lengkap sedang diganggu oleh beberapa anak buah Narko. Aku tak biasa membiarkan begitu saja. Aku khawatir pada Satriyo yang sedang bertiga dengan temannya yang lain.

     Sembari memberikan uang saku mereka, masing-masing memberikan lima ribuan rupiah dari kantong mereka kepada anak buah Narko itu, barulah Satriyo dilepaskan oleh kawanan preman tersebut. Karena tidak terjadi apa-apa maka kemudian aku pun lantas melanjutkan kembali langkah kakiku dengan melewati gang lain menghindari Geng Brewok tersebut. Karena jika mereka melihatku, kemungkinan aku juga akan menjadi target mereka selanjutnya.

 

     Namun tidak aku temukan Satriyo begitu aku tiba di warung Bu Asih. Jadilah aku menggantikan Satriyo membuatkan minuman untuk pelanggan warung tersebut. Baru sekitar satu jam kemudian Satriyo datang dengan wajah muram dan melempar tasnya dengan kesal.

     "Riyo baru pulang, dari mana kamu, Nak?" tanya Bu Asih mewakili rasa ingin tahu yang ada di benakku.

     "Lapor polisi!" ucap Satriyo dengan ringan sepertinya berurusan dengan Polisi itu hal yang enteng saja.

      "Lho ngapain, Nak pakai lapor polisi segala?" lanjut Bu Asih kemudian mengambil sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan di letakkan di hadapan Satriyo. "Apa tugas dari sekolahan?"

      "Nggak Bu, tugas sebagai masyarakat yang baik saja! Menurut guruku kita harus berani jika dalam posisi benar!" Satriyo pun beranjak dari duduknya dengan gelagat bangga dengan apa yang baru saja dilakukannya.

     "Ya sudah cuci tangan dulu, terus makan!" Perintah Bu Asih kemudian kembali melayani pelanggannya.

     "Memangnya apa yang kamu laporin, Yo?" tanyaku ini terus mengulik benakku bersiap dengan apapun langkah yang diambil Satriyo itu.

     "Aku laporin Geng Brewok yang sering mangkal di pasar besar! Aku sama teman-teman sering dimintai pajak, Mas! Kan ya habis uang setiap hari harus dipalak mereka! Padahal aku kan yo nabung buat beli motor mereka rampas gitu saja!"

     Waduh, yang aku kira ini pasti tidak akan berhenti di sini saja! Pasti akan berbuntut panjang kemudian kalau sampai Pemimpin mereka Si Narko sampai tahu siapa yang melaporkan. "Besok kamu pulang jam berapa Yo?"

      "Seperti biasa jam satu-an, Mas!"

     Aku mengingatnya, besok aku harus bersiap di gang tempat Satriyo pulang sekolah, jangan sampai aku lengah dulu. Aku tidak mungkin membiarkan Satriyo, aku yakin geng Brewok lainnya akan mencari Satriyo dan kawan-kawannya untuk membuat perhitungan.

     Sepulang dari tugasku mencuci piring di warung Bu Asih hingga petang, aku merenungi ulah Satriyo tadi siang bersamaan dengan tiap langkahku menuju rumah. Aku menendang kaleng bekas minuman yang tergeletak di tengah jalan. Dan tepat di tikungan pria berambut panjang anggota Geng Brewok pun menatap ke arahku. Mata mereka beringas seperti anjing liar yang kelaparan. Berbagai atribut dari rantai mereka pasang sebagai aksesoris upaya agar terlihat gagah. Beberapa tindik di alis, bibir dan hidung mereka jadikan kebanggaan betapa mereka berhak untuk ditakuti sebagai geng dengan anggota terbanyak di pasar besar ini.

     Tak sedikitpun aku berminat beradu pandangan dengan mereka. Kupluk rajut yang ku pakai aku gunakan untuk berlindung dari tatapan mereka. Tadinya mereka memang memandangiku, tak seorang pun yang lewat di sini tanpa mereka mintai pajak uang lewat. Dan kini mereka mulai berjalan mendatangiku. Dua orang berjalan ke arahku, dan aku bersiap untuk melindungi barang kali mereka hendak merampas satu-satunya ukulele yang aku punya.

   

     Dan merekapun terus mendekat ke padaku, dan meloloskanku ..., aku sempat terhenyak heran. Apa yang salah sehingga mereka bisa meloloskan aku begitu saja. Setelah salah seorang dari mereka bahkan hanya membuang kunyahan permen karet dari mulutnya yang ia arahkan kepadaku. Aku jadi agak curiga. Tidak mungkin tanpa alasan, mereka membiarkan aku lewat. Saat aku membalik badan, rupanya target mereka beralih tatkala melihat seorang gadis cantik baru saja turun dari angkot. Untunglah jika begitu, aku lanjutkan saja pulang.

     Aku pun memasuki lorong gang jalan tercepat menuju ke kontrakanku, menyudahi keberadaanku yang sudah terlalu dekat dengan geng mereka lagi, namun ....

     "AAAAAARRRRHHHH!!!"" sebuah teriakan mengagetkanku. Sumber suara itu dari arah belakang. Langkahku surut ke belakang.

       "AAAARRRHHHH!!! JANGAAAANNN!!" teriakan itu lagi dan semakin kencang.

 

       Karena teriakan itu semakin menjadi. Aku melesat mencari tahu apa yang terjadi, apa mungkin itu suara perempuan tadi... ?

Azra Tyas

*Yuk Follow cerita keduaku ya, jangan lupa Tap Love agar masuk ke daftar baca kalian.

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Real Successor   59 | Bukan Menyerang Dahan, Tapi Akar #2

    Aku geram, Alex banyak sekali melontarkan alasan untuk ngotot ikut denganku di penangkaran. Sudah ku katakan keadaan di sana masih berbahaya. Sedangkan aku sangat membutuhkan dia di kantor pusat. Produk kosmetik tante ku sedang gencar-gencarnya dicari di pasaran. Bagaimana ia bisa mengabaikan begitu saja perintahku. Bersikap santai seolah-olah tidak terjadi bahaya yang mengintai di penangkaran kami."Siapa yang dari dari tadi mengikuti kita di belakang?" tanyaku heran, sudah lebih dari setengah jam mobil di belakangku mengekor tanpa henti bahkan kecepatan mobil itu menyesuaikan dengan mobil yang ku kendarai."Gondes, aku lihat mas Andrew kukuh tidak mau mengajakku jadi ya buat menambah kewaspadaan kita, aku membawa gondes beserta grupnya." cengenges Alex membanggakan apa yang telah dilakukannya."Lex, tau apa yang sudah kamu lakukan? Tindakanmu justru akan memancing kemarahan mereka! Kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bantuan mereka aku abaikan, kita malah membawa bantuan semacam ini!"

  • The Real Successor   58 | Bukan Menyerang Dahan, Tapi Akar

    "Kamu harus makan dengan banyak, jangan lupakan makan siang! Musuhmu mudah melemahkanmu di saat kamu lapar!" sergah Tante Margareth mengagetkanku, beliau tiba-tiba berada di depan meja kerja ku sembari menyodorkan kotak makan bersusun yang terbuat dari kaca dengan ornamen indah pada tutup dan pegangannya."Terima kasih, Tante untuk makan siangnya! Maaf aku tidak ikut dalam peluncuran produk kita, aku malah menyerahkan semua kepada Tante!" aku mengiba karena wajah tanteku tampak lelah sekali siang ini."Aku paham kamu sedang banyak masalah di penangkaran. Mengurusi mutiara, mengurusi karyawan yang kena musibah, belum lagi perbaikan laboratoriummu. Justru aku senang bisa membantumu, Nak!""Apalah aku tanpa Tante! Tante sudah makan? Ayo makan bersamaku!""Setelah lounching produk kita, aku sangat bersemaangat karena respon masyarakat yang bagus kepada kita! Gabungan antara mutiara premium, bluberry dan yuju orange. Mereka sangat tertarik dengan kombinasi produk kita itu! Saking senangnya

  • The Real Successor   57 | Mereka Geng Yang Sama

    Aku segera mendatangi lokasi penangkaran yang diserang itu, "Berapa orang yang datang?" aku menanyai beberapa security yang bertugas siang ini. Mereka hanya bisa menunduk dan gemetar, ruang kemanan terlihat rusak parah. Kantor bagian depan dan tengah juga bernasib sama. Semua akuarium besar pun tak luput dari sepakan-tendangan dan penghancuran geng bengal itu. Pos penjagaan saja serusak itu, bisa ku bayangkan bagaimana keadaan orang-orang di dalamnya. Mereka sengaja terlebih dulu menghancurkan CCTV, sebelum menyerang ruang tengah sebagai sasaran utama mereka. Sengaja agar wajah dan tindak tanduk mereka tidak terbaca. Menurut cerita yang kudapat dari security yang bertugas, dengan sekali tebas menggunakan parang yang mereka bawa, mereka bisa meremukkan alat perekam itu hingga menjadi kepingan yang kini aku saksikan puingannya berceceran di atas lantai."Menurut rekan kami, mereka berjumlah sekitar lima puluhan orang, Pak! Menyerang dari depan dan memporak-porandakan semua, pak!" teran

  • The Real Successor   56 | Gangguan Datang

    Akhirnya aku bisa kembali ke kantorku. Masih lekat di ingatanku, betapa lucunya wajah Fenno menahan sakit. Tapi gadis itu, bagus juga pertahanan dirinya. Dia bisa membuat Fenno tak berkutik kepadanya. Lumayan untuk sebuah hiburan. Aku mulai melajukan mobilku keluar dari tempat parkir dan bersiap menuju jalan utama. Namun, ... Cyiiittt! Hampir saja aku menabrak seorang wanita yang melintas di depan mobilku tiba-tiba. Hijab hitam menutupi kepalanya. Dan gaun kuning emas itu, itu gadis yang sama yang tadi memberi pelajaran untuk Fenno. "Cepat lajukan mobilnya!" perintahnya setelah dengan cepat ia memasuki mobilku. Tanpa menengok ke arah belakang atau lainnya, aku menuruti saja permintaannya itu. Lagipula aku juga harus segera kembali ke kantor. Napas gadis itu berantakan, masih memandangi belakang dan spion. Ia terlihat resah jika masih ada yang mengikuti. Apa mungkin Fenno masih mengikutinya? "Kamu sudah aman!" entah mengapa aku keluarkan kata-kata itu. "Kamu nggak paham orang

  • The Real Successor   55 | Membela Diri

    "Hello kakak? Sedang bersantai di sini juga rupanya? Kebetulan sekali!" ujar Zico dengan senyuman miring angkuhnya, dengan langkah kakinya yang dibuat searogan mungkin, ia semakin mendekati aku. "Mari bergabung ke meja kami! Kami sedang mengadakan pertemuan dengan orang penting jadi mungkin Anda tertarik untuk menambah daftar kolega! Mumpung kami memberikan kesempatan!" ajak besar mulut Zico sembari menyerahkan minuman dingin berwarna putih bening itu kepadaku. "Kebetulan kami punya urusan yang harus diselesaikan, jadi lain waktu saja aku bergabung!" jawabku sembari memundurkan kursi hendak beranjak dari hadapan pemuda tengil ini. "Eits! Mengapa harus terburu-buru!" Zico menahan lenganku membuatku menghentikan langkah, "Tidak baik mengabaikan waktu pertemuan dengan saudara laki-lakimu, Kak. Lagi pula kita jarang punya waktu berbincang, ada baiknya Kakak ikut memberi saran dengan cara kerja kami mengelola perusahaan yang baru diberikan kepada kami ini." Lanjut Zico dengan

  • The Real Successor   54 | Siap Untuk Bertempur

    "Semua pembiayaan sudah siap, sample juga sudah lolos uji. Aku akan segera menghubungi ibu Margareth dengan kabar baik ini." terang Alex sumringah di sela-sela rapat tertutup kami membicarakan rencana besar ku untuk mulai meruntuhkan Fenno. "Lengkapi semua dokumen biar dia juga bisa mengecek kekurangan produk ini ada di mana. Kita akan siap bekerjasama dengan perusahaan tante ku itu, aku yakin beliau tidak akan menduga jika itu kita." timpalku sembari menandatangani dokumen yang terakhir. "Ya untungnya Belva menyambut baik teleponku, aku tidak menyangka dia bekerja di perusahaan Ibu Margareth," ada nada aneh saat Alex mengatakan ini, tapi aku rasa ada sesuatu terjadi dengannya dan Belva, "Tapi tidak mengapa, dengan begini kita mendapatkan jalan pintas dan kolega yang terpercaya." "Apapun itu yang terjadi padamu dan Belva jangan sampai mempengaruhi pekerjaan!" sindirku ku bubuhi dengan senyuman. "Ah, nggak masalah, aku hanya tidak menyangka bertemu lagi dengan kawan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status