Share

4 | Gejolak Jiwa Remaja

     Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan.

     Ning Probolinggo Golek Jahe ...

     Niat lungo arep nyambut gawe...

     Ning Sidoarjo Golek Waluh ...

     Aku kerjo kowe malah selingkuh ...

     Aku kerjo kowe malah selingkuh ...

     Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mobil Juke berwarna merah yang siang itu berhenti di sana. Pengemudi di dalamnya tak berlama-lama pun menurunkan kaca mobilnya dan memandang tertegun kepadaku sembari memasukkan sebuah koin seribuan rupiah ke dalam topi wadahku mengumpulkan recehan.

     "Ayo Ben, Jalan!" seru penumpang lain dalam mobil itu yang melihat lampu lalulintas menyala hijau.

Aku pun berteduh di pinggir jalan saat kakiku terasa lelah. Meminjam korek api lain kepada Budi rekan sesama pengamen yang tinggal di gang sempit tak jauh dari terminal di dekat sana. Dan saat aku lihat langit mulai mendung, aku pun memutuskan kembali pulang dan langkahku terhenti saat sebuah suara memanggilku.

     "Mas Andy!" ku lihat Romi melambaikan tanganku dan meletakkan sol sepatu yang tadinya dikerjakannya.

     "Mangkal di sini Rom?" balasku saat ia mendekatiku.

     "Iya Mas, saat aku tanya mas sering mangkal di mana, saya lihat-lihat belum ada tukang jahit sepatu yang mangkal di sekitar pom bensin ini, makanya saya minta ijin ke pengelolanya untuk diijinkan mangkal di bawah pohon di luar pagar, katanya nggak apa-apa asal nggak ngganggu mobil yang keluar!"

     "Oh, baguslah! Jadi nggak harus bayar pajak lagi ke Geng Brewok!" balasku.

     "Ya kan Mas Andy bilang juga kalau menghindari masalah sama Geng Narko itu, jadi saya berpikir tempat mangkal Mas Andy pastinya jauh dari para begundal itu!"

      Nggak disangka pinter juga Romi ini membaca suasana, "Ya sudah aku pulang dulu ya! Semoga rame yang reparasi sepatu kamu hari ini, Rom!"

      "Makasih, Mas!" aku pun melenggang pergi untuk segera menuju ke warung Bu Asih melakukan pekerjaanku di sana seperti biasa.

     Tapi di jalan aku lihat Satriyo anak Bu Asih yang masih memakai seragam lengkap sedang diganggu oleh beberapa anak buah Narko. Aku tak biasa membiarkan begitu saja. Aku khawatir pada Satriyo yang sedang bertiga dengan temannya yang lain.

     Sembari memberikan uang saku mereka, masing-masing memberikan lima ribuan rupiah dari kantong mereka kepada anak buah Narko itu, barulah Satriyo dilepaskan oleh kawanan preman tersebut. Karena tidak terjadi apa-apa maka kemudian aku pun lantas melanjutkan kembali langkah kakiku dengan melewati gang lain menghindari Geng Brewok tersebut. Karena jika mereka melihatku, kemungkinan aku juga akan menjadi target mereka selanjutnya.

 

     Namun tidak aku temukan Satriyo begitu aku tiba di warung Bu Asih. Jadilah aku menggantikan Satriyo membuatkan minuman untuk pelanggan warung tersebut. Baru sekitar satu jam kemudian Satriyo datang dengan wajah muram dan melempar tasnya dengan kesal.

     "Riyo baru pulang, dari mana kamu, Nak?" tanya Bu Asih mewakili rasa ingin tahu yang ada di benakku.

     "Lapor polisi!" ucap Satriyo dengan ringan sepertinya berurusan dengan Polisi itu hal yang enteng saja.

      "Lho ngapain, Nak pakai lapor polisi segala?" lanjut Bu Asih kemudian mengambil sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan di letakkan di hadapan Satriyo. "Apa tugas dari sekolahan?"

      "Nggak Bu, tugas sebagai masyarakat yang baik saja! Menurut guruku kita harus berani jika dalam posisi benar!" Satriyo pun beranjak dari duduknya dengan gelagat bangga dengan apa yang baru saja dilakukannya.

     "Ya sudah cuci tangan dulu, terus makan!" Perintah Bu Asih kemudian kembali melayani pelanggannya.

     "Memangnya apa yang kamu laporin, Yo?" tanyaku ini terus mengulik benakku bersiap dengan apapun langkah yang diambil Satriyo itu.

     "Aku laporin Geng Brewok yang sering mangkal di pasar besar! Aku sama teman-teman sering dimintai pajak, Mas! Kan ya habis uang setiap hari harus dipalak mereka! Padahal aku kan yo nabung buat beli motor mereka rampas gitu saja!"

     Waduh, yang aku kira ini pasti tidak akan berhenti di sini saja! Pasti akan berbuntut panjang kemudian kalau sampai Pemimpin mereka Si Narko sampai tahu siapa yang melaporkan. "Besok kamu pulang jam berapa Yo?"

      "Seperti biasa jam satu-an, Mas!"

     Aku mengingatnya, besok aku harus bersiap di gang tempat Satriyo pulang sekolah, jangan sampai aku lengah dulu. Aku tidak mungkin membiarkan Satriyo, aku yakin geng Brewok lainnya akan mencari Satriyo dan kawan-kawannya untuk membuat perhitungan.

     Sepulang dari tugasku mencuci piring di warung Bu Asih hingga petang, aku merenungi ulah Satriyo tadi siang bersamaan dengan tiap langkahku menuju rumah. Aku menendang kaleng bekas minuman yang tergeletak di tengah jalan. Dan tepat di tikungan pria berambut panjang anggota Geng Brewok pun menatap ke arahku. Mata mereka beringas seperti anjing liar yang kelaparan. Berbagai atribut dari rantai mereka pasang sebagai aksesoris upaya agar terlihat gagah. Beberapa tindik di alis, bibir dan hidung mereka jadikan kebanggaan betapa mereka berhak untuk ditakuti sebagai geng dengan anggota terbanyak di pasar besar ini.

     Tak sedikitpun aku berminat beradu pandangan dengan mereka. Kupluk rajut yang ku pakai aku gunakan untuk berlindung dari tatapan mereka. Tadinya mereka memang memandangiku, tak seorang pun yang lewat di sini tanpa mereka mintai pajak uang lewat. Dan kini mereka mulai berjalan mendatangiku. Dua orang berjalan ke arahku, dan aku bersiap untuk melindungi barang kali mereka hendak merampas satu-satunya ukulele yang aku punya.

   

     Dan merekapun terus mendekat ke padaku, dan meloloskanku ..., aku sempat terhenyak heran. Apa yang salah sehingga mereka bisa meloloskan aku begitu saja. Setelah salah seorang dari mereka bahkan hanya membuang kunyahan permen karet dari mulutnya yang ia arahkan kepadaku. Aku jadi agak curiga. Tidak mungkin tanpa alasan, mereka membiarkan aku lewat. Saat aku membalik badan, rupanya target mereka beralih tatkala melihat seorang gadis cantik baru saja turun dari angkot. Untunglah jika begitu, aku lanjutkan saja pulang.

     Aku pun memasuki lorong gang jalan tercepat menuju ke kontrakanku, menyudahi keberadaanku yang sudah terlalu dekat dengan geng mereka lagi, namun ....

     "AAAAAARRRRHHHH!!!"" sebuah teriakan mengagetkanku. Sumber suara itu dari arah belakang. Langkahku surut ke belakang.

       "AAAARRRHHHH!!! JANGAAAANNN!!" teriakan itu lagi dan semakin kencang.

 

       Karena teriakan itu semakin menjadi. Aku melesat mencari tahu apa yang terjadi, apa mungkin itu suara perempuan tadi... ?

Azra Tyas

*Yuk Follow cerita keduaku ya, jangan lupa Tap Love agar masuk ke daftar baca kalian.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status