Hari sebelum rencana Ares pindah ke Bogor dan jauh sebelum Ares bertemu Athena dan bersikap kejam pada gadis itu, Ares Adiwangsa adalah seorang lelaki yang baik hati dan penurut. Ada satu kejadian yang membuatnya menjadi seperti sekarang. Satu fakta yang hampir tidak diketahui siapapun kecuali kerabat dekat dan sahabat-sahabatnya.
Ares Adiwangsa memiliki seorang saudara kembar bernama Ariel Adiwangsa. Kembar identik dan hampir tidak bisa dibedakan kecuali dari sifat mereka yang bertolak belakang. Sifat yang berbeda membawa pendapat yang berbeda pula untuk mereka berdua. Dari mulai hal-hal kecil sampai hal besar.
“Gue mau jadi pembalap.”
Saat itu usia Ares dan Ariel masih 14 tahun, mereka sudah mulai merencanakan cita-cita masing-masing sebelum masuk ke bangku SMA. Dan Ares mengungkapkan cita-citanya sebagai pembalap.
“Nggak, lo nggak boleh jadi pembalap.”
“Kenapa? Suka-suka gue dong.”
“Lo udah gagal naik kelas sekali. Lo tahu sendiri waktu itu Papa marah kayak apa. Gimana kalau dia tahu cita-cita lo jadi pembalap?”
“Nggak masalah gue mau jadi apa, karena gue emang udah gagal dari awal. Gue udah ngecewain Papa duluan, jadi Papa nggak bakal peduli.”
“Ares!” Ariel yang sedang bermain PS saat itu terpaksa mengghentikan permainannya.
“Kenapa? Toh Papa punya lo sebagai pemegang masa depan. Lo bisa jadi Hakim sesuai kemauan Papa. Gue nggak perlu jadi apa yang Papa mau selama ada lo.”
“Sejak kapan lo jadi anak pembangkang? Selama ini lo selalu nurut sama Papa, bahkan sama Mama. Gue, Res, gue yang harusnya membangkang, bukan lo.”
“Percuma gue jadi anak penurut kalau nilai-nilai gue nggak berkembang. Papa tetep cuma nganggep lo sebagai anaknya, meskipun lo sering bolos sekolah dan ngebantah Papa. Selama nilai-nilai lo bagus, menang olimpiade, dan kejuaran Nasional, yang Papa lihat cuma lo!”
Ariel dengan cepat memberi satu pukulan pada wajah Ares, membuat lelaki bermata coklat itu sangat terkejut, “Sadar Ares. Sadar dari sekarang sebelum Papa makin nggak mau nganggep lo anaknya.” Ariel berucap dingin. Ares menatap saudara kembar yang lebih tua lima menit darinya itu tidak percaya, “Lo bisa perbaiki ini, Ares. Gue bakal jadi tutor lo supaya nilai lo naik. Dengan bigitu, lo bisa lulus dengan nilai yang bagus. Masih ada waktu dua tahun.”
“Kenapa?” Ares tanpa sadar meneteskan air matanya, “Kenapa lo tetep bolos sekolah dan ngebantah Papa kalau lo bisa aja jadi anak baik-baik karena lo pinter.”
“Siapa juga yang mau jadi pinter?” Ariel tertawa miris, “Dari awal gue nggak berharap bakal dapet gen cerdas ini, asal lo tahu. Apa kalau gue pinter, gue harus jadi anak baik-baik supaya kelihatan sempurna? Setelah gue sadar kalau pinter mengharuskan gue buat jadi anak penurut yang hidup seperti terikat dengan tali di leher gue, rasanya gue pengen geger otak sekalian daripada jadi orang yang lehernya terikat dan nggak bisa dengan bebas ngelakuin apa yang gue mau.”
“Lo bener-bener egois, Riel.” Ares menggeleng tidak percaya, “Tuhan udah kasih lo kelebihan berupa otak cerdas tanpa harus belajar. Sedangkan gue… gue yang pengen bisa jadi cerdas kayak lo malah terlahir jadi saudara kembar lo sampai Papa bisa lihat perbedaan drastis kita. Gue yang tersiksa karena tingkah lo, Riel.”
“LO BISA SELAMA LO BERUSAHA, ARES!”
“KATA SIAPA? SELAMA INI LO PIKIR GUE NGGAK BERUSAHA DENGAN BELAJAR MATI-MATIAN?!”
“Siapa standar lo?” Ariel betanya datar.
“Apa?”
“Kalau standar lo adalah gue, lo harus buang itu. Lo nggak bisa jadi gue, Res. Gue juga nggak bisa jadi lo. Kita beda.”
“Apa maksudnya, lo ngeremehin gue karena nggak bisa sama kayak lo?!”
“Bukan. Gue cuma mau lo berjuang buat diri lo sendiri. Gue mau lo nemuin standar lo sendiri dan bisa dapet pujian karena diri lo sendiri. Karena lo Ares. Bukan karena bisa sama kayak gue.”
Ares akhirnya terdiam.
“Gue tahu sekarang alasan kenapa pendapat gue selalu salah buat lo, dan begitu juga sebaliknya. Karena kita nggak sefrekuensi, Res. Kita nggak pernah benar-benar punya tujuan yang sama. Kita nggak sejalan, Ares.” Ariel menekan setiap kata-katanya, “Lo harus jadi diri lo sendiri. Lo harus berjuang buat lo, sesuai dengan kemampuan lo. Gue juga akan ngelakuin hal yang sama.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena standar Papa adalah lo, Gue nggak bisa bikin standar sendiri, gue harus sama, atau bahkan melebihi lo supaya Papa bisa bangga sama gue.”
“Lo bener-bener deh, Res. Keras kepala lo itu…” Ariel menghela napasnya, “Gue juga jadi susah ngebantu lo karena dari awal lo nggak sependapat sama gue.” Ariel mengusap wajahnya pelan.
“Lo nggak perlu ngebantu gue.” Ares berucap dingin, “Dan gue bakal tetep bilang ke Papa soal cita-cita gue jadi pembalap. Lo tetep harus jadi Hakim, Riel.”
“Okey, karena kita punya pendapat yang selalu beda. Untuk hari ini gue ngalah. Gue yang bakal gantiin lo. Nggak bakal ketahuan, gue jamin.”
“Apa maksud lo?”
“Gue bakal bilang kalau cita-cita gue jadi pembalap ke Papa. Lo nggak boleh. Sekarang lo mending belajar. Gue yang bakal terus jadi anak pembangkang buat Papa, supaya Papa muak sama gue, dan nggak ngejadiin gue standar lagi buat lo.”
“Riel.”
“Lo nggak boleh jadi anak pembangkang, Res.”
Saat itu Ares hanya bisa terdiam. Untuk sesaat dia merasa perkataan Ariel benar, tidak, ia berharap perkataan Ariel benar. Bahwa Papanya akan muak dengan Ariel dan akhirnya tidak menjadikan anak itu sebagai standar untuk Ares. Dengan begitu Ares bisa menciptakan standarnya sendiri dan mendapat pujian dari Papanya. Benar, Ares harus jadi anak penurut untuk Papanya sampai ia bisa menemukan standarnya sendiri.
###
“APA KAMU BILANG? PEMBALAP?!”
Adikara Wangsa, orang tua dari Ares dan Ariel—Papanya, melempar koran yang sedang dibacanya dengan kasar ke atas meja kerjanya setelah mendengar perkataan putranya. Ariel sudah tidak terkejut lagi dengan reaksi Papanya yang sudah pasti akan marah besar. Lelaki muda itu hanya bisa mengepal tangan di belakang punggungnya sambil menunduk.
“Kata siapa kamu boleh meminta izin atas cita-citamu yang sembrono itu? Masa depanmu sudah Papa tentukan. Kamu harus jadi Hakim dan meneruskan riwayat pendidikan keluarga kita.”
“Kata siapa juga aku minta izin Papa? Aku cuma mau Papa tahu, supaya Papa nggak kaget.”
“Tidak akan Papa izinkan. Kamu mau bikin malu keluarga kita? Anak dari Hakim Tertinggi menjadi bocah jalanan? Jangan harap!”
“Bocah jalanan?” Ariel mengulang kalimat Papanya dengan sarkas, “Pembalap juga profesi, Pa! Apa Papa pikir balapan itu cuma hal yang negaif? Balapan juga kompetisi, Pa, ada gelar juaranya. Papa juga yang selama ini nyuruh aku ikut olimpiade matematika, sains, bahkan sampai cabang olahraga renang dan atletik, dan aku bisa dapat gelar kejuaraan Nasional. Papa lupa?”
“Semua itu Papa izinkan selama kamu tetap akan menjadi Hakim. Tapi kalau kamu menolak untuk jadi Hakim, tidak akan Papa izinkan.”
“Kenapa? Kenapa harus aku?”
“Karena cuma kamu yang bisa, Ariel.”
“Apa?” Ariel tertawa getir, “Cuma aku yang bisa?” ulangnya, “Masih ada Ares. Dia bisa jadi Hakim, Pa.”
“Kamu pikir dia bisa jadi Hakim setelah tidak naik kelas dan dengan nilai-nilainya yang buruk itu?!” Papanya naik pitam.
Ariel menggelengkan kepala tidak percaya, “Kenapa Papa cuma percaya sama aku? Apa Ares bukan anak Papa?! Dia juga bisa! Ares bisa jadi apa yang Papa mau! Dia penurut, dia nggak pernah membangkang sama Papa. Harusnya Papa lebih percaya sama dia, bukan aku!” Ariel balas membentak Adikara, “Kalau Papa aja nggak percaya sama Ares, gimana dia bisa percaya sama dirinya sendiri, Pa? Ares juga butuh dukungan dari Papa!”
“Pikirkan saja masa depanmu. Papa juga sudah punya rencana untuk adikmu. Walau dia tidak bisa menjadi Hakim, dia harus ikut tes untuk menjadi Pegawai Negeri, atau menjadi penerus di perusahaan Mama mu. Papa sudah perhitungkan, sekolah bisnis tidak akan sesulit sekolah hukum, asal dia bisa lulus dengan nilai yang lebih bagus dan masuk ke SMA berbasis Internasional.”
Ariel tertawa kencang sampai ia terkekeh. Lelaki muda itu memegangi perutnya saking merasa bahwa perkataan Papanya itu lucu, “Ah, maaf, Pa. Aku pikir Papa selama ini nggak peduli sama Ares. Ternyata Papa juga udah punya rencana buat masa depannya.” Ariel berkata pelan, “Tapi, Pa… apa Papa nggak pernah minta pendapat kami berdua sebelum merancang semua masa depan kami? Papa pikir, kita berdua bakal setuju dengan rencana Papa?”
“Ariel!”
“Kalau Ares denger soal ini, mungkin dia bener-bener bakal jadi anak pembangkang.”
“Ariel Adiwangsa! Sepertinya kamu butuh banyak pendidikan soal sopan santun. Bagaimana bisa kamu memiliki otak cerdas tapi tidak tahu caranya menghormati orang yang lebih tua?”
“Harusnya Papa juga menghormati pilihan kami sebelum Papa minta dihormati.”
“KAMU! BERANI-BERANINYA!” Adikara sudah siap untuk memukul Ariel, tapi tangannya tertahan oleh tangan Ares yang memeganginya. Ariel terkejut atas kedatangan Ares.
“Gue denger semuanya, Riel.” Ares berucap datar, “Ah… kenapa juga lo harus ngebelain gue sampai segininya.” Ares menatap Ariel dengan dingin, lalu ia menatap pada Adikara, “Apa seorang Hakim Agung pantas memukul anaknya sendiri? Dimana kewibawaan yang selalu Papa tunjukin di meja pengadilan?” nada bicara Ares terdengar sangat dingin dan menyeramkan.
“Ares.” Ariel menegur adik kembarnya pelan.
“Lo nggak perlu berkorban sejauh ini, Riel. Gue yang mau jadi pembalap, kenapa harus lo yang ngaku ke Papa?”
“Apa?!” Adikara tampak terkejut.
“Tapi makasih, berkat lo gue tahu kalau ternyata Papa ada pedulinya sama gue. Yah, walaupun hal itu bukan yang gue pengenin. Sekolah Bisnis?” Ares menatap Papanya, “Okey kalau itu yang Papa mau. Tapi jangan paksa Ariel buat jadi Hakim kalau dia nggak mau.”
“Ares, lo apa-apaan sih?”
“Lo yang bilang sendiri. Gue bakal ngelakuin apa yang Papa mau, kan? Karena gue anak yang penurut. Dan bagusnya, Papa nggak nyuruh gue jadi Hakim buat ngegantiin lo.”
“Kamu memang anak Papa.” Adikara berucap, membuat Ares dan Ariel sontak menoleh ke arahnya. Ariel tersenyum kecil—merasa senang karena akhirnya Adikara memuji saudara kembarnya, tapi Ares tetap berwajah datar—malah ia merasa sangat marah di dalam hatinya.
“Aku ngelakuin ini bukan karena nurut sama Papa. Aku ngelakuin ini untuk Ariel. Jadi Papa nggak usah maksa dia buat jadi Hakim.”
Adikara memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Ia adalah seorang Hakim, maka ia harus memutuskan sesuatu secara adil. Ia harus memikirkan hukuman yang pantas untuk anak yang pembangkang. Untuk sesaat, Adikara merasa bahwa dirinya sudah salah mendidik mereka.
“Baik. Papa nggak akan minta Ariel untuk jadi Hakim, tapi nama Ariel tidak akan ada lagi di daftar keluarga kita. Dia adalah anak pembangkang, dan Papa tidak pernah punya anak yang melanggar peraturan yang Papa buat.”
“PA!” Ares hendak protes.
“Dan kamu, Ares… berjanjilan kalau kamu benar-benar akan masuk ke SMA berbasis Internasional dan melanjutkan ke Sekolah Bisnis. Pertama-tama nilaimu kali ini harus naik.”
Adikara berbalik, hendak keluar dari ruang kerjanya menuju kamar. Tapi sebelum itu, ia menoleh lagi pada Ares dan Ariel, “Ingat Ares, lakukan ini demi saudara kembarmu. Begitu kan yang kamu mau?” lalu Adikara menghilang di balik pintu ruang kerjanya.
Ares terduduk lemas, kakinya seperti kehilangan tenaga, “Riel, gimana ini? Kalau Papa beneran ngehapus nama lo dari daftar keluarga—“
“Ares,” Ariel ikut berjongkok di sebelah kembarannya itu, “Jangan khawatir. Nama yang nggak ada di daftar keluarga bukan apa-apa dibanding harus ngejalanin masa depan yang bukan atas kemauan sendiri. Harusnya gue yang nanya, lo nggak apa-apa?”
“Gue… gue nggak tahu.”
“Lo harus baik-baik aja. Papa udah muji lo. Papa udah mengakui lo sekarang, ini kan yang lo mau? Harusnya lo seneng.” Ariel berucap pelan, ia tersenyum pada Ares dan menepuk pundaknya. Tanpa disadari bahwa hatinya sendiri diselimuti rasa cemas. Tapi melihat Ares sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, dirinya ikut senang.
“Lo nggak bener-bener pengen jadi pembalap, kan?”
“Kata siapa? Kalau dipikir-pikir, jadi pembalap boleh juga. Kayaknya seru deh. Lagian gue emang belum mikirin mau jadi apa.”
“Cih, padahal setahun lagi lo lulus. Huh, gue harus ngulang dan masih dua tahun lagi sebelum ke bangku SMA.”
Ariel menepuk-nepuk punggung saudaranya, “Tenang aja, nilai lo pasti naik. Gue bakal bantu lo belajar. Sekarang lo udah punya standar sendiri, kan?”
Ares tersenyum, sontak memeluk Ariel, “Iya. Makasih banyak. Ini semua karena keputusan yang lo ambil. Yah, walau harus gue akui kalau kali ini gue kalah debat sama lo.”
Ariel tertawa, “Ini keputusan lo juga. Inget itu.”
Halo para pembaca "The Reason Why" di manapun kamu berada!Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, buku ini selesai dituliskan. Sejak Juni 2021 sampai Mei 2022, saya mengalami banyak hal selama penulisan buku ini; lika-liku-luka, susah-senang-sakit, dan masih banyak lagi. Tapi itu semua berhasil saya lewati berkat kalian yang selalu mendorong saya untuk terus menulis. Terima kasih saya ucapkan dengan setulus hati.Buku ini memang selesai dituliskan. Tapi sebenarnya, kisah semua karakter yang ada di buku ini akan selalu berlanjut serta berkelana di hati dan benak para pembaca sekalian! Bagaimana kisah selanjutnya, hanya kalian yang bisa menentukan di dalam imajinasi masing-masing. Selamat berpetualang!Oh ya, saya juga menulis buku baru dengan judul "Terbelenggu Takdir". Buku baru saya ini bisa dikatakan masih satu kaitan dengan "The Reason Why". Sedikit spoiler: beberapa karakter TRW akan muncul di buku saya yang baru! Karena itu, kalau kalian penasaran juga, silakan baca!Sekian
Ares's Point of ViewLo tahu kenapa sekarang gue senyum kayak orang gila? Karena di sebelah gue ada perempuan lagi tidur sambil mangku buku tebel yang judulnya pake bahasa Inggris. Dia Athena Amerta.Konyol, kan? Dulu gue benci banget sama cewek ini. Tapi lebih konyol lagi, gue lupa kenapa gue bisa sampai sebenci itu sama cewek yang bahkan enggak pernah muncul di hidup gue. Tapi tiga tahun setelah hari pertama gue ketemu sama cewek ini di Cafe bareng tante gue, Dita, sekarang gue dan dia lagi duduk di pesawat menuju bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, dari Boston.Kita sama-sama nyeselasiin program pertukaran mahasiswa dari kampus tepat satu tahun. Setahun lalu, bokapnya minta gue ikut program magang dari kantornya yang kerja sama bareng cabang perusahaan rekannya di Amerika. Alasannya sih supaya anak cewek satu-satunya ini ada yang ngawasin dan jagain selama jauh dari pantauannya. Dulu gue mikir, 'Apa enggak salah nitipin anak perempuannya ke lelaki yang notabenenya adalah sang pacar,
Athena’s point of view Di dalam sebuah ruang tunggu klinik terapis, aku menantikan Ares muncul dari balik pintu yang bertuliskan “ruang konsultasi”. Sudah genap dua tahun aku dan Ares menjalin hubungan. Walau satu tahun kami habiskan dengan LDR—karena aku harus kuliah di Jakarta, sementara dia menyelesaikan SMA-nya—tapi satu tahun berikutnya Ares menyusul ke kampus yang sama dengan jurusan Manajemen, satu fakultas dengan Sidney. Sekarang, kami sedang sama-sama menikmati liburan semester dan pulang ke Bogor untuk menghadiri acara keluarga. Oh ya, omong-omong aku dan Ares sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua kami untuk terus menjalin hubungan—meski pada awalnya mamaku masih setengah hati menerima Ares—dan kedua adikku menggunakan kesempatan itu untuk seenaknya datang dan pergi ke apartemen Ares di Jakarta. Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Ares muncul dari balik pintu dengan senyuman manis khasnya, yang dulu sempat aku sebut sebagai senyum iblis. Hey, pada awalnya senyu
Satu tahun kemudian …Athena sedang merapikan meja di dalam studio siaran kampusnya. Kertas-kertas script yang berisi poin-poin penting isi siarannya berserakan hingga ke bawah meja. Itu semua terjadi karena Sidney yang tiba-tiba datang ke dalam studio siaran sambil berteriak—padahal dirinya jelas-jelas sedang on-air—dan hal itu menyebabkan dirinya diberikan hukuman untuk merapikan studio sementara rekan satu club nya sudah pergi lebih dulu.“Lama banget sih, Na!”“Ini semua karena lo yang teriak di dalem ruang siaran! Suara lo masuk dan akhirnya ngebocorin siaran live gue!”Sudah satu tahun Athena menjalani kehidupan kampus—yang sialnya harus dilewati juga bersama Sidney—dan selama itu pula Athena tidak bisa menjalani hari yang normal sebab ulah Sidney yang sering seperti hari ini; tiba-tiba datang ke studio saat Athena sedang siaran, atau masuk ke kelas Athena di tengah presentasi dosen.“Salah siapa lo ngotot beda fakultas sama gue. Jadi gue harus selalu nyariin lo ke sini!” Sidney
“Menurut kalian arti kehidupan itu apa?”Athena membuka episode podcastnya dengan sebuah pertanyaan.“Apa kalian pernah bertanya-tanya kenapa kalian hidup selama ini? Apa kalian pernah mencari tahu alasan kenapa Tuhan menciptakan kehidupan untuk kita? Mungkin saja selama ini Tuhan membiarkan kita hidup untuk merasa. Kehidupan yang kita jalani ini dilewati dengan tawa, tangis, cinta, luka, tantangan, cobaan, dan hikmah di balik itu semua.”“Dalam pencarian jati diri, aku menemukan hal-hal baru tentang sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah ada. Sebuah rasa benci yang muncul tiba-tiba bisa membawa hidupku sampai di titik ini. Kenapa bisa begitu? Ya, mungkin saja karena emosi itu bisa berkembang—entah ke arah yang lebih baik, atau lebih buruk.”“Banyak di antara kita pasti punya rasa yang mengganjal di hati, entah karena apa sebabnya, yang jelas kita tidak pernah ingin perasaan itu ada di hati kita. Perasaan itu bisa berkembang dan terus berkembang menciptakan jati diri kita. Pada dasar
Tiga hari kemudian Athena sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Luka jahitannya sudah mengering dan hanya perlu datang untuk check-up beberapa kali. Sementara Roy sudah mendapat jadwal operasi yang akan dilaksanakan dua hari berikutnya. “Na, lo yakin enggak mau balik sama gue?” Sidney yang datang untuk menjemput Athena keluar dari rumah sakit, kini sedang memberikan ekspresi cemberut sambil menopang dagunya. “Sori ma fren, gue udah janjian balik sama Ares.” Athena menjawab tanpa nada sesal sama sekali. Tangannya fokus memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Oh jadi gitu ya? Karena sekarang lo udah nemuin true love, sampe sahabat sendiri lo lupain.” Bukannya merasa bersalah mendengar nada kesal Sidney, Athena justru tertawa. “True love? Istilah lebay apa lagi, tuh?” Sidney yang semula meletakkan kepala pada ranjang rumah sakit yang telah dirapikan, kini bangkit berdiri dan mendekat ke arah Athena dengan wajah tidak percaya. “Apa? Lo bilang lebay? Coba sini gue cek dulu.” Sidn