Sejak lama Thalia ingin merasakan solo travelling. Merasakan suasanan yang jauh berbeda, di tempat yang asing, hanya seorang diri. Tidak hanya dikhianati sahabat, perceraian kedua orang tuanya semakin membuat Thalia merasa jenuh dan tertekan, sehingga membulatkan keinginannya untuk pergi ke Chiang Mai tanpa ditemani siapapun. Siapa sangka, perjalanan solo travellingnya itu memberi kehidupan berbeda. Bertemu sahabat barunya Manee, cewek ganteng yang berprofesi sebagai penulis dan selalu siap sedia nganterin Thalia buat eksplor tempat-tempat menarik selama di Chiang Mai. Perjalanan itu pun membuat Thalia bertemu dengan Brian, cowok cuek asal Indonesia yang sama-sama lagi menghabiskan waktu keliling dunia, mengisi aktivitas gap-year. Rasa spesial di antara mereka membangun hubungan yang tidak biasa. Manee yang diam-diam punya perasaan dengan Thalia, juga Brian dan Thalia yang sama-sama naksir satu sama lain. Melalui perjalanan singkatnya, Thalia mendapat banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia tanyakan pada dunia.
View More“It’s not hard to make decisions when you know what your values are,”- Disney
Sampai.
Setelah lima jam lalu mengunjungi Changi Airport untuk sekadar transit, akhirnya sampai juga di bandara tujuan utama. Berhasil menginjakan kaki di Chiang Mai International Airport membuat dadaku berdegup lebih kencang. Segalanya terasa asing, puluhan pertanyaan berterbangan di kepala. Ke mana aku harus pergi setelah ini? Apa sekarang aku harus menelepon Tante Tantri? Rasa takut yang perlahan muncul mulai membuatku khawatir. Ah! Tidak! Aku berani! Aku bisa! Aku mengangguk, mengatur napas yang mulai ngos-ngosan, lalu memaksa kaki berjalan mencari bangku kosong sambil membulatkan keberanian yang semakin lama semakin runtuh.
Rasanya mual melihat banyak orang berlalu-lalang tiada henti, lelah meraba satu-persatu plang petunjuk, dan asing meraba ruangan demi ruangan bandara. Ditambah beberapa pasang mata yang seolah memperhatikanku dari ujung kaki ke kepala. Seakan aku tidak seharusnya berada di sini. Semakin jauh melangkah, membuatku semakin sadar kalau sebenarnya aku takut untuk berada sendirian di tempat asing. Sadar tidak ada orang yang bisa diajak ngobrol asyik sambil menunggu koper datang. Sadar kalau aku tidak memiliki tempat bergantung selain pada diriku sendiri.
Aku berani! Ini adalah keputusanku dan aku sudah mengobrankan banyak hal. Langkah pertama yang harus aku lakukan tentunya menyelesaikan urusanku di bandara. Mengambil koper, membeli SIM Card Thailand, lalu... apa lagi?! Sepertinya aku harus mencari tempat duduk supaya bisa berpikir lebih tenang, sambil menghilangkan rasa khawatir agar tidak semakin menindasku. Aku memilih bangku sedikit lebih ‘sepi’. Setidaknya tidak ada sekelompok turis yang sejak tadi berisik membicarakan agenda perjalanan mereka. Atau sepasang suami istri dengan anak-anak kecil yang dibiarkan berlari sana-sini.
Rasanya aneh saat menyadari dua turis laki-laki asing duduk tepat di samping kanan dan kiriku. Turis di samping kananku memiliki perawakan bule Eropa yang memiliki tubuh tegak dan tinggi. Sementara turis di samping kiriku memiliki perawakan bule Jepang yang sejak tadi tampak sibuk mengipas-ngipas tubuhnya. Kutarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Andai saja saat ini ada orang yang kukenal, bisa diajak berbicara, sambil menunggu koperku datang. Andai saja aku tidak pergi sendiri. Dan andai saja aku tidak se-impulsif ini. Seharusnya aku merayu Mama untuk mengizinkanku berlibur bersama Elga.
Saat ini aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri.
Penyesalan selalu datang belakangan. Selalu.
Sudah hampir dua jam berlalu sejak aku turun dari pesawat. Kupandangi langit di luar bandara yang sudah berubah menjadi gelap sambil sesekali melihat ke sana ke mari mencari teman Mama yang baru saja menghubungiku, meminta agar aku menunggu di luar bandara agar lebih mudah dijemput.
“Thalia ya?” Seorang wanita berkaca mata tiba-tiba berdiri di hadapanku. Rambutnya ikal sebahu. Untuk sekilas, dia terlihat seperti Mama dengan rambut pendek. Tepat di sampingnya bersembunyi anak perempuan dengan tatapan waspada. Wanita itu mengulurkan tangannya.
Aku bangkit, ikut mengulurkan tangan. “Iya.”
“Maaf ya, lama. Saya baru pulang dari kantor. Saya kira pesawatnya sampai lebih malam. Kenalan dulu, saya Tantri.”
Tante Tantri adalah teman kantor Mama yang memiliki apartemen di Chiang Mai. Kalau tidak ada Tante Tantri, mungkin sekarang aku sedang sibuk mencari penginapan.
“Saya Thalia. Nggak apa-apa kok, Tante. Eh, ini siapa?” ucapku membalas jabatan tangannya sambil menunduk dan mencubit gemas pipi anak perempuan di sampingnya.
Anak perempuan itu mundur beberapa langkah bersembunyi di belakang kaki Tante Tantri. “Eh, kenalan dong sama kakaknya ini. Biasa, malu-malu. Namanya Nadia.”
“Wah, halo Nadia! Cantiknya... Nadia pasti bisa bahasa Thailand, dong?”
“Bisa, tapi baru beberapa kosa kata. Ya maklum, dia harus belajar dua bahasa sekaligus.” Tangan Tante Tantri mengusap kepala Nadia lembut, membuatnya tersenyum kecil. Tatapan matanya lebih ramah dari sebelumnya.
“Mari saya antar ke apartemen. Udah malam, kamu pasti capek, kan?” Tante Tantri meraih koper.
Dengan cepat aku menarik pelan koper, kembali ke tanganku. “Tante, nggak usah. Ini kan koper Thalia.”
Aku menghela napas, mengikuti langkah cepat Tante Tantri ke tempat parkir. Rasanya jauh lebih tenang setelah bertemu dengannya. Nyatanya, aku tidak benar-benar sendiri di tempat asing ini.
Welcome to Chiang Mai, Thalia! Aku berteriak dalam hati, jadi lebih bersemangat.
Aku sengaja membuka kaca pesawat, melihat gumpalan awan yang bertebaran. Langit hari ini cerah sekali, aku tidak mau melewatkannya. Pemandangan yang indah selalu berhasil membuat nyaman di mana pun berada. Bukan hanya pemandangan ini yang membuat aku merasa nyaman, tetapi sentuhan kepala Brian yang sejak tadi menyender di bahuku, tertidur. Begitulah Brian. Semakin sering bertemu dengannya, semakin aku mengenalnya. “Brian, bangun!” Aku mengelus pipinya. “Bentar lagi kita mendarat.” Brian menguap. “Tugasnya udah beres?” Aku membuka mini notebook. Sejak diberi benda ini oleh Brian, aku jadi lebih senang menulis apa pun di sini. “Ke Melbourne Zoo, terus ketemu binatang laut di Sea Life Melbourne Aquarium, ke tempat gratisan Royal Botanic Gardens sama Shrine of Remembrance, lanjut ke National Gallery of Victoria. Sisanya kita atur bareng.” “Oh ya, berat kamu sekarang berapa?” “Kenapa memang?” “Nggak, nggak kenapa-kenapa.”
“I am a big believer that in life, things happen the way they are supposed to.”―Kristin Harmel,When We Meet Again Rasanya seperti mimpi yang beberapa kali aku dapati di malam hari. Bertemu seseorang yang secara singkat pernah kukenal untuk kedua kali di tempat berbeda tanpa kuduga. Apa mungkin dia datang ke mari dan sengaja menemuiku? Atau ini hanya sekadar sebuah kebetulan saja? Brian terkekeh. “Lo udah makan belum? Bengong mulu, takut gue dilihatin kayak gitu.” “Hah?” “Tha? Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk. Sadar, Thalia.... Ini kenyataan, ini kenyataan... “Nah, kayaknya lo belum makan makanya jadi kayak patung gini. Pak, ke Kemang ya.” Brian menepuk bahu bapak supir. Aku dan Brian saling diam. Beberapa kali Brian mengajakku berbicara, menanyakan tentang banyak hal, tapi entah mengapa yang aku bisa lakuk
“Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” – Dr. Seuss Manee sudah semakin sukses. Tadi pagi dia menghubungiku, memberi tahu berita bahagia mengenai salah satu impian dia yang selama ini ditunggu akan segera tergapai. Salah satu novel best seller miliknya akan dibuat menjadi versi film yang dibintangi aktor dan aktris Thailand terkenal. Dia juga telah turun dan terlibat langsung dalam kegiatan casting. Selepas dari liburan ke Chiang Mai beberapa bulan lalu, aku merasa lebih baik. Aku memilih mengambil sisi positif dalam segala hal, melupakan yang dianggap tidak berguna lagi untuk diingat, memaafkan kesalahan mereka yang telah mengkhianatiku. Aku juga sudah dapat sedikit berbicara serius dan terbuka pada Mama. Begitu juga Mama yang sudah dapat memahami perasaan anak-anaknya, mengurangi pembicaraan tentang Papa. Setidaknya berkurang sedikit. Terkadang, segalanya terasa sakit ka
“You have the rest of your lives to catch up together. After all, soulmates always end up together. Best friends stay with you for ever.” – Cecelia AhernAkhirnya, hari itu datang juga. Aku harus kembali ke Indonesia. Waktu berjalan begitu cepat dan aku sangat berterimakasih dengan semua orang yang menemaniku selama di sini. Setelah berulang kali mengecek koper merapikan barang bawaan yang semakin banyak, mengelilingi apartemen memastikan tidak ada yang tertinggal, merapikan tempat tidur, dan mengembalikan kondisi apartemen seperti semula. I’m ready to come back home.Aku naik ke atas, menghampiri apartemen Tante Tantri. Hari ini weekend sehingga aku pastikan mereka semua ada di apartemen. Tante Iren dengan semangat menyuruhku untuk masuk, memintaku ikut sarapan bersama mereka. Nadia baru saja mandi, melihatku datang dia menghampiriku, bertanya tentang koper, baju yang aku pakai.Tante Tant
“When someone loves you, the way they talk about you is different. You feel safe and comfortable.” – Jess C. ScottTadi malam aku menangis. Selepas Brian pergi melanjutkan gap year, masuk ke dalam taksi untuk pergi ke terminal, dan melambaikan tangan, aku sadar kalau hanya waktu yang bisa menjawabnya. Apakah nanti kami akan benar bertemu lagi? Apakah waktu akan berpihak pada kami?Setelah mandi, aku berencana untuk meminjam mobil Om Dahlah, kemudian pergi ke tempat penjual oleh-oleh. Sebenarnya malam ini ada pasar malam yang sering disebut Night Bazzar. Menjadi satu tempat yang tidak lepas dari para turis dan rasanya ingin mencoba datang. Tapi karena aku sendiri, aku lebih memilih jam yang aman dan juga tempat yang aman.Aku mengendarai mobil dengan mengandalkan GPS, mencari letak pusat oleh-oleh terdekat. Sesuai rekomendasi Tante Iren, di dekat apartemen ada banyak kios pinggir jalan yang menjual berbagai bar
“I want her to melt into me, like butter on toast. I want to absorb her and walk around for the rest of my days with her encased in my skin. I want.” – Sara Gruen Brian tampak terkejut melihat emosiku yang tiba-tiba meluap. Iya, aku menangis di sampingnya, mengeluarkan semua yang ingin kukeluarkan, mengeluarkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit menyiksaku perlahan. Tadinya Brian mengajakku untuk pergi ke tempat wisata, menghabiskan waktu terakhir kami sebelum Brian melanjutkan aktivitas gap year ke Laos. Tapi saat melihat Brian, aku memilih mengajaknya ke Villlage Coffee, menghabiskan waktu bersama di bawah terik matahari siang dan belaian angin sejuk Chiang Mai. Brian tidak langsung menghakimiku, bertanya aku kenapa, ada apa denganku sampai aku menangis kencang seperti orang kehilangan kendali. Dia hanya diam, membiarkanku menangis sampai aku puas. Sesekali menyentuh bahuku, menepuk pelan, memberi kenyamanan yang aku butuhkan. Dua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments