Share

6. Sebuah Paradoks

Mobil Ares sudah berjalan selama kurang lebih setengah jam, selama itu pula hanya ada keheningan di antara mereka—Athena dan Ares. Gadis yang rambutnya selalu dicepol itu tidak memiliki tenaga lagi untuk menghadapi Ares. Ia hanya akan diam sampai nanti tiba di rumahnya. Sedangkan lelaki yang memiliki mata coklat itu juga hanya bisa berdebat dengan batinnya.

“Gue nggak tahu kalau lo tahan diem setengah jam kayak gitu.” Ares akhirnya membuka suara. Athena hanya melirik sekilas ke arahnya, kemudian kembali membuang wajahnya ke luar jendela.

“Untuk ukuran yang baru kenal, lo berani juga naik ke mobil gue,” Ares menampilkan senyum liciknya, “Cuma karena kotak makan itu?” dagunya menunjuk pada kotak makan yang sudah ada di pangkuan Athena.

“Wah, lo keras kepala ya.” Ares mulai melajukan mobilnya lebih cepat, “Nggak apa-apa. Kita lihat seberapa tahan lo untuk nggak buka suara.”

Lalu seketika mobil yang dikendarai Ares melaju begitu cepat, membuat Athena harus berpegangan dan duduk tegak. Bahkan Ares mendapat teguran dari pengguna jalan lain karena menerobos lampu merah, sepertinya pria itu tidak peduli jika ditilang oleh polisi.

Ares salah. Dalam situasi panik, Athena malah tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Jika niat lelaki itu adalah membuat Athena buka suara bahkan jika hanya sebuah teriakan atau kata protes, maka Ares tidak akan mendapatkan itu. Bibir Athena semakin terkunci rapat.

Semakin kencang Ares mengemudikan mobilnya, semakin diam juga seorang Athena. Hanya mata gadis itu yang bicara, mata yang menggambarkan bahwa ia sangat ketakutan dan meminta Ares untuk menghentikan mobilnya saat itu juga. Ares menangkap maksud itu dari mata Athena. Karenanya ia segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan raya yang luas. Athena melepaskan cengkeraman pada pegangan di atasnya, dadanya naik turun meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Bahaya.” Ares geleng-geleng kepala, “Lo malah nggak bisa berkata-kata dalam kondisi kayak gitu? Bahkan teriak pun nggak?” Ares sepenuhnya menghadapkan diri pada Athena.

“Seandainya lo ketemu sama orang yang mau melecehkan lo di sebuah gang yang sempit, lo nggak bakal bisa minta tolong, dong?”

Seperti sebuah paradoks, semakin lama bersama Athena, Ares merasa apa yang dilakukannya semakin salah. Athena bagai sebuah tanya yang tidak memiliki jawaban. Ares selalu salah menilai apa yang dianggapnya benar terhadap Athena. Dan Athena bagai sebuah ruang rahasia yang terkunci, tapi sebenarnya tidak pernah ada kunci yang diciptakan untuk itu. Sejauh ini, itu adalah definisi seorang Athena menurut Ares.

“Bisa lah.”

“Gimana caranya?”

“Gimana caranya adalah rahasia yang harus dijaga dari lo. Siapa yang tahu, kalau orang yang bakal ngelecehin gue di gang yang sempit itu ternyata elo?”

Ini gila. Jawaban Athena mungkin akan membuat Ares mulai menyukainya. Karena untuk pertama kali, Ares tidak bisa berkata-kata saat berdebat dengan seseorang. Lelaki itu tertawa getir, ia menertawakan dirinya sendiri yang akhirnya kalah dalam perdebatan dengan gadis itu.

“Bener-bener nggak waras lo, Res.” Athena yang sekarang menggelengkan kepala, “Sebenarnya, apa sih maksud lo ngelakuin ini semua?”

“Udah gue bilang, gue suka lihat lo tersiksa.”

“Iya, tapi kenapa?”

“Tapi kenapanya adalah rahasia yang harus gue jaga juga dari lo. Nggak seru dong kalau lo tahu alasannya. Nanti lo nggak merasa tersiksa lagi.”

“Wah… lo nggak mau kalah juga ya.”

“Gue emang nggak pernah kalah.”

'Lo udah pernah kalah, Ares Adiwangsa.'

“Diem.”

“Dih, orang gue nggak ngomog apa-apa.” balas Athena, ia menatap Ares dengan pandangan yang tidak bisa dimengerti lelaki itu.

Tanpa Ares tahu, bagi Athena, lelaki itu seperti sebuah buku diary yang terkunci. Seperti sudah ada jawaban yang pasti, yang bisa ia baca kapan saja, tapi ia tidak bisa menemukan kunci untuk membukanya. Hanya satu yang jadi masalah, kunci itu berada entah di mana.

“Kita balik ke sekolah.”

“APA?!”

“Karena dari tadi gue cuma jalanin mobil ini tanpa tujuan. Takut lo lupa, gue baru pindah ke Bogor, gue nggak tahu jalan.”

“Gue tahu jalan! Puter arah di depan situ.” tunjuk Athena saat mobil Ares mendekat pada rambu putar balik.

“Tapi gue nggak mau nganter lo balik.”

“Kenapa? Lo harus tanggung jawab dong, kan lo yang minta gue naik.”

“Minta lo naik bukan berarti bakal anterin lo balik. Udah gue bilang, gimana bisa lo masuk ke dalam mobil orang yang belum lama ini lo kenal.”

Athena menggeleng kepala lagi, “Wah, kayaknya gue harus percaya kalau lo beneran nggak waras.”

“Jadi dari tadi lo nggak percaya?”

“Susah. Emang susah ngomong sama orang yang nggak sefrekuensi.”

Ares mengerem mobilnya dengan mendadak, “Turun dari mobil gue.”

“Apa?!”

“Nggak denger?”

“Bukan nggak denger, tapi lo bener-bener—“

“Turun.” suara Ares berubah jadi menyeramkan, Athena tidak bisa membantah.

Mungkin lelaki itu memang gila. Mungkin Ares mengidap semacam penyakit jiwa yang emosinya bisa berubah dengan cepat. Kalau begitu, berarti dugaannya salah. Ares bukan buku diary, lelaki itu hanya seorang psikopat kejam yang tidak bisa mengendalikan emosi.

Tanpa berkata apapun, Athena melepas seatbelt, dan segera keluar dari mobil silver—yang sudah mendapat klaksonan dari pengguna jalan lain karena berhenti mendadak dan membuat jalan menjadi macet. Setelah Athena keluar, Ares melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan gadis itu di pinggir jalan.

“Sakit jiwa tuh orang.” gumam Athena pelan, “Aduuuh… berapa ongkos ojol dari sini ke rumah gue? Mana duit gue tinggal sepuluh ribu. Sialan emang tuh iblis.” Athena hanya bisa menyumpah serapahi Ares.

Setelah mengecek harga ojol dari tempatnya saat itu ke rumahnya, Athena memutuskan untuk naik kendaraan umum karena ternyata uangnya kurang 15 ribu. Benar-benar hari yang sial karena harus berdesakan di angkutan umum pada malam Sabtu—yang biasanya jalanan kota Bogor akan sangat padat.

“Eh, katanya dia nggak tahu jalan, terus gimana bisa dia balik?” Athena bermonolog, “Ah, bodo amat lah. Itu urusan dia mau nyasar ke mana.”

###

“Susah. Emang susah ngomong sama orang yang nggak sefrekuensi.”

Ares mencengkram stir kemudi kuat-kuat.

“Gue tahu sekarang alasan kenapa pendapat gue selalu salah buat lo, dan begitu juga sebaliknya. Karena kita nggak sefrekuensi, Res.”

“Kita nggak pernah benar-benar punya tujuan yang sama.”

“Kita nggak sejalan, Ares.”

Ares semakin mengendarai mobilnya gila-gilaan. Ia memutuskan untuk memasuki jalan tol agar bisa dengan bebas kebut-kebutan. Suara-suara dalam kepalanya seperti hantu yang mengikutinya kemanapun dia pergi.

“Okey, karena kita punya pendapat yang selalu beda. Untuk hari ini gue ngalah. Gue yang bakal gantiin lo. Nggak bakal ketahuan, gue jamin.”

Suara yang beberapa hari ini sempat hilang di kepalanya kini kembali lagi. Seperti orang gila, Ares tertawa terbahak-bahak sendirian di dalam mobil yang kecepatannya tidak berkurang sedikit pun. Lelaki itu menatap jalan di depannya seperti musuh yang harus ia habisi.

“Buat apa lo gantiin gue, bangsat!” Ares memukul-mukul stir mobilnya.

“Kalau emang kita nggak sejalan dari awal, harusnya lo nggak usah ngalah.”

“Sialan. Gue yang harus nanggung semuanya karena pilihan lo yang salah.”

Ares terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Seperti berbicara dengan seseorang namun sebenarnya tidak. Karena tidak tahan dengan suara-suara dalam pikirannya, ia memutuskan untuk menghentikan mobilnya di bahu jalan tol. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi panjang tipis berisi beberapa batang rokok yang selama ini disembunyikan. Ares menyalakan pemantik api, dan merokok di sana. Untuk beberapa menit pikirannya benar-benar kosong. Hanya menikmati kepulan asap yang dibuatnya sampai rokoknya habis.

“Athena…” Ares tersenyum licik mengingat wajah gadis itu, “Kalau lo alasan kenapa dia selalu beda pendapat sama gue, berarti pilihan gue tepat udah ngelakuin semua ini.”

Ares menatap langit yang menggelap. Asap rokok keduanya ia biarkan mengepul di udara. Entah apa yang sedang dipkirkannya sekarang. Semua dimulai jauh sebelum ini. Jauh sebelum Ares bertemu dengan Athena. Tapi dunia memang sempit, siapa yang sangka ternyata apa yang sudah menimpanya disebabkah salah satunya oleh Athena. Siapa yang sangka juga bahwa peristiwa di Cafe membawanya pada fakta yang selama ini ia cari-cari?

Ares masih tidak bisa menerima fakta kalau ini semua salahnya. Ia butuh orang lain untuk disalahkan. Ares terlalu rapuh untuk menanggung semuanya sendirian. Tapi sifat Athena yang sulit ditebak dan bagaikan sebuah paradoks diam-diam terus membuatnya penasaran. Bagaimana nantinya jika Athena tahu bahwa dirinya menjadi alasan hancurnya seseorang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status