Home / Young Adult / The Reason Why / 6. Sebuah Paradoks

Share

6. Sebuah Paradoks

Author: atriaskhaer
last update Last Updated: 2021-07-01 22:00:40

Mobil Ares sudah berjalan selama kurang lebih setengah jam, selama itu pula hanya ada keheningan di antara mereka—Athena dan Ares. Gadis yang rambutnya selalu dicepol itu tidak memiliki tenaga lagi untuk menghadapi Ares. Ia hanya akan diam sampai nanti tiba di rumahnya. Sedangkan lelaki yang memiliki mata coklat itu juga hanya bisa berdebat dengan batinnya.

“Gue nggak tahu kalau lo tahan diem setengah jam kayak gitu.” Ares akhirnya membuka suara. Athena hanya melirik sekilas ke arahnya, kemudian kembali membuang wajahnya ke luar jendela.

“Untuk ukuran yang baru kenal, lo berani juga naik ke mobil gue,” Ares menampilkan senyum liciknya, “Cuma karena kotak makan itu?” dagunya menunjuk pada kotak makan yang sudah ada di pangkuan Athena.

“Wah, lo keras kepala ya.” Ares mulai melajukan mobilnya lebih cepat, “Nggak apa-apa. Kita lihat seberapa tahan lo untuk nggak buka suara.”

Lalu seketika mobil yang dikendarai Ares melaju begitu cepat, membuat Athena harus berpegangan dan duduk tegak. Bahkan Ares mendapat teguran dari pengguna jalan lain karena menerobos lampu merah, sepertinya pria itu tidak peduli jika ditilang oleh polisi.

Ares salah. Dalam situasi panik, Athena malah tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Jika niat lelaki itu adalah membuat Athena buka suara bahkan jika hanya sebuah teriakan atau kata protes, maka Ares tidak akan mendapatkan itu. Bibir Athena semakin terkunci rapat.

Semakin kencang Ares mengemudikan mobilnya, semakin diam juga seorang Athena. Hanya mata gadis itu yang bicara, mata yang menggambarkan bahwa ia sangat ketakutan dan meminta Ares untuk menghentikan mobilnya saat itu juga. Ares menangkap maksud itu dari mata Athena. Karenanya ia segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan raya yang luas. Athena melepaskan cengkeraman pada pegangan di atasnya, dadanya naik turun meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Bahaya.” Ares geleng-geleng kepala, “Lo malah nggak bisa berkata-kata dalam kondisi kayak gitu? Bahkan teriak pun nggak?” Ares sepenuhnya menghadapkan diri pada Athena.

“Seandainya lo ketemu sama orang yang mau melecehkan lo di sebuah gang yang sempit, lo nggak bakal bisa minta tolong, dong?”

Seperti sebuah paradoks, semakin lama bersama Athena, Ares merasa apa yang dilakukannya semakin salah. Athena bagai sebuah tanya yang tidak memiliki jawaban. Ares selalu salah menilai apa yang dianggapnya benar terhadap Athena. Dan Athena bagai sebuah ruang rahasia yang terkunci, tapi sebenarnya tidak pernah ada kunci yang diciptakan untuk itu. Sejauh ini, itu adalah definisi seorang Athena menurut Ares.

“Bisa lah.”

“Gimana caranya?”

“Gimana caranya adalah rahasia yang harus dijaga dari lo. Siapa yang tahu, kalau orang yang bakal ngelecehin gue di gang yang sempit itu ternyata elo?”

Ini gila. Jawaban Athena mungkin akan membuat Ares mulai menyukainya. Karena untuk pertama kali, Ares tidak bisa berkata-kata saat berdebat dengan seseorang. Lelaki itu tertawa getir, ia menertawakan dirinya sendiri yang akhirnya kalah dalam perdebatan dengan gadis itu.

“Bener-bener nggak waras lo, Res.” Athena yang sekarang menggelengkan kepala, “Sebenarnya, apa sih maksud lo ngelakuin ini semua?”

“Udah gue bilang, gue suka lihat lo tersiksa.”

“Iya, tapi kenapa?”

“Tapi kenapanya adalah rahasia yang harus gue jaga juga dari lo. Nggak seru dong kalau lo tahu alasannya. Nanti lo nggak merasa tersiksa lagi.”

“Wah… lo nggak mau kalah juga ya.”

“Gue emang nggak pernah kalah.”

'Lo udah pernah kalah, Ares Adiwangsa.'

“Diem.”

“Dih, orang gue nggak ngomog apa-apa.” balas Athena, ia menatap Ares dengan pandangan yang tidak bisa dimengerti lelaki itu.

Tanpa Ares tahu, bagi Athena, lelaki itu seperti sebuah buku diary yang terkunci. Seperti sudah ada jawaban yang pasti, yang bisa ia baca kapan saja, tapi ia tidak bisa menemukan kunci untuk membukanya. Hanya satu yang jadi masalah, kunci itu berada entah di mana.

“Kita balik ke sekolah.”

“APA?!”

“Karena dari tadi gue cuma jalanin mobil ini tanpa tujuan. Takut lo lupa, gue baru pindah ke Bogor, gue nggak tahu jalan.”

“Gue tahu jalan! Puter arah di depan situ.” tunjuk Athena saat mobil Ares mendekat pada rambu putar balik.

“Tapi gue nggak mau nganter lo balik.”

“Kenapa? Lo harus tanggung jawab dong, kan lo yang minta gue naik.”

“Minta lo naik bukan berarti bakal anterin lo balik. Udah gue bilang, gimana bisa lo masuk ke dalam mobil orang yang belum lama ini lo kenal.”

Athena menggeleng kepala lagi, “Wah, kayaknya gue harus percaya kalau lo beneran nggak waras.”

“Jadi dari tadi lo nggak percaya?”

“Susah. Emang susah ngomong sama orang yang nggak sefrekuensi.”

Ares mengerem mobilnya dengan mendadak, “Turun dari mobil gue.”

“Apa?!”

“Nggak denger?”

“Bukan nggak denger, tapi lo bener-bener—“

“Turun.” suara Ares berubah jadi menyeramkan, Athena tidak bisa membantah.

Mungkin lelaki itu memang gila. Mungkin Ares mengidap semacam penyakit jiwa yang emosinya bisa berubah dengan cepat. Kalau begitu, berarti dugaannya salah. Ares bukan buku diary, lelaki itu hanya seorang psikopat kejam yang tidak bisa mengendalikan emosi.

Tanpa berkata apapun, Athena melepas seatbelt, dan segera keluar dari mobil silver—yang sudah mendapat klaksonan dari pengguna jalan lain karena berhenti mendadak dan membuat jalan menjadi macet. Setelah Athena keluar, Ares melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan gadis itu di pinggir jalan.

“Sakit jiwa tuh orang.” gumam Athena pelan, “Aduuuh… berapa ongkos ojol dari sini ke rumah gue? Mana duit gue tinggal sepuluh ribu. Sialan emang tuh iblis.” Athena hanya bisa menyumpah serapahi Ares.

Setelah mengecek harga ojol dari tempatnya saat itu ke rumahnya, Athena memutuskan untuk naik kendaraan umum karena ternyata uangnya kurang 15 ribu. Benar-benar hari yang sial karena harus berdesakan di angkutan umum pada malam Sabtu—yang biasanya jalanan kota Bogor akan sangat padat.

“Eh, katanya dia nggak tahu jalan, terus gimana bisa dia balik?” Athena bermonolog, “Ah, bodo amat lah. Itu urusan dia mau nyasar ke mana.”

###

“Susah. Emang susah ngomong sama orang yang nggak sefrekuensi.”

Ares mencengkram stir kemudi kuat-kuat.

“Gue tahu sekarang alasan kenapa pendapat gue selalu salah buat lo, dan begitu juga sebaliknya. Karena kita nggak sefrekuensi, Res.”

“Kita nggak pernah benar-benar punya tujuan yang sama.”

“Kita nggak sejalan, Ares.”

Ares semakin mengendarai mobilnya gila-gilaan. Ia memutuskan untuk memasuki jalan tol agar bisa dengan bebas kebut-kebutan. Suara-suara dalam kepalanya seperti hantu yang mengikutinya kemanapun dia pergi.

“Okey, karena kita punya pendapat yang selalu beda. Untuk hari ini gue ngalah. Gue yang bakal gantiin lo. Nggak bakal ketahuan, gue jamin.”

Suara yang beberapa hari ini sempat hilang di kepalanya kini kembali lagi. Seperti orang gila, Ares tertawa terbahak-bahak sendirian di dalam mobil yang kecepatannya tidak berkurang sedikit pun. Lelaki itu menatap jalan di depannya seperti musuh yang harus ia habisi.

“Buat apa lo gantiin gue, bangsat!” Ares memukul-mukul stir mobilnya.

“Kalau emang kita nggak sejalan dari awal, harusnya lo nggak usah ngalah.”

“Sialan. Gue yang harus nanggung semuanya karena pilihan lo yang salah.”

Ares terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Seperti berbicara dengan seseorang namun sebenarnya tidak. Karena tidak tahan dengan suara-suara dalam pikirannya, ia memutuskan untuk menghentikan mobilnya di bahu jalan tol. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi panjang tipis berisi beberapa batang rokok yang selama ini disembunyikan. Ares menyalakan pemantik api, dan merokok di sana. Untuk beberapa menit pikirannya benar-benar kosong. Hanya menikmati kepulan asap yang dibuatnya sampai rokoknya habis.

“Athena…” Ares tersenyum licik mengingat wajah gadis itu, “Kalau lo alasan kenapa dia selalu beda pendapat sama gue, berarti pilihan gue tepat udah ngelakuin semua ini.”

Ares menatap langit yang menggelap. Asap rokok keduanya ia biarkan mengepul di udara. Entah apa yang sedang dipkirkannya sekarang. Semua dimulai jauh sebelum ini. Jauh sebelum Ares bertemu dengan Athena. Tapi dunia memang sempit, siapa yang sangka ternyata apa yang sudah menimpanya disebabkah salah satunya oleh Athena. Siapa yang sangka juga bahwa peristiwa di Cafe membawanya pada fakta yang selama ini ia cari-cari?

Ares masih tidak bisa menerima fakta kalau ini semua salahnya. Ia butuh orang lain untuk disalahkan. Ares terlalu rapuh untuk menanggung semuanya sendirian. Tapi sifat Athena yang sulit ditebak dan bagaikan sebuah paradoks diam-diam terus membuatnya penasaran. Bagaimana nantinya jika Athena tahu bahwa dirinya menjadi alasan hancurnya seseorang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Reason Why   Ucapan Terima Kasih

    Halo para pembaca "The Reason Why" di manapun kamu berada!Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, buku ini selesai dituliskan. Sejak Juni 2021 sampai Mei 2022, saya mengalami banyak hal selama penulisan buku ini; lika-liku-luka, susah-senang-sakit, dan masih banyak lagi. Tapi itu semua berhasil saya lewati berkat kalian yang selalu mendorong saya untuk terus menulis. Terima kasih saya ucapkan dengan setulus hati.Buku ini memang selesai dituliskan. Tapi sebenarnya, kisah semua karakter yang ada di buku ini akan selalu berlanjut serta berkelana di hati dan benak para pembaca sekalian! Bagaimana kisah selanjutnya, hanya kalian yang bisa menentukan di dalam imajinasi masing-masing. Selamat berpetualang!Oh ya, saya juga menulis buku baru dengan judul "Terbelenggu Takdir". Buku baru saya ini bisa dikatakan masih satu kaitan dengan "The Reason Why". Sedikit spoiler: beberapa karakter TRW akan muncul di buku saya yang baru! Karena itu, kalau kalian penasaran juga, silakan baca!Sekian

  • The Reason Why   Extra Chapter III: Kembali Pulang (END)

    Ares's Point of ViewLo tahu kenapa sekarang gue senyum kayak orang gila? Karena di sebelah gue ada perempuan lagi tidur sambil mangku buku tebel yang judulnya pake bahasa Inggris. Dia Athena Amerta.Konyol, kan? Dulu gue benci banget sama cewek ini. Tapi lebih konyol lagi, gue lupa kenapa gue bisa sampai sebenci itu sama cewek yang bahkan enggak pernah muncul di hidup gue. Tapi tiga tahun setelah hari pertama gue ketemu sama cewek ini di Cafe bareng tante gue, Dita, sekarang gue dan dia lagi duduk di pesawat menuju bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, dari Boston.Kita sama-sama nyeselasiin program pertukaran mahasiswa dari kampus tepat satu tahun. Setahun lalu, bokapnya minta gue ikut program magang dari kantornya yang kerja sama bareng cabang perusahaan rekannya di Amerika. Alasannya sih supaya anak cewek satu-satunya ini ada yang ngawasin dan jagain selama jauh dari pantauannya. Dulu gue mikir, 'Apa enggak salah nitipin anak perempuannya ke lelaki yang notabenenya adalah sang pacar,

  • The Reason Why   Extra Chapter II: Momen Mendebarkan

    Athena’s point of view Di dalam sebuah ruang tunggu klinik terapis, aku menantikan Ares muncul dari balik pintu yang bertuliskan “ruang konsultasi”. Sudah genap dua tahun aku dan Ares menjalin hubungan. Walau satu tahun kami habiskan dengan LDR—karena aku harus kuliah di Jakarta, sementara dia menyelesaikan SMA-nya—tapi satu tahun berikutnya Ares menyusul ke kampus yang sama dengan jurusan Manajemen, satu fakultas dengan Sidney. Sekarang, kami sedang sama-sama menikmati liburan semester dan pulang ke Bogor untuk menghadiri acara keluarga. Oh ya, omong-omong aku dan Ares sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua kami untuk terus menjalin hubungan—meski pada awalnya mamaku masih setengah hati menerima Ares—dan kedua adikku menggunakan kesempatan itu untuk seenaknya datang dan pergi ke apartemen Ares di Jakarta. Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Ares muncul dari balik pintu dengan senyuman manis khasnya, yang dulu sempat aku sebut sebagai senyum iblis. Hey, pada awalnya senyu

  • The Reason Why   Extra Chapter I: Roller Coaster

    Satu tahun kemudian …Athena sedang merapikan meja di dalam studio siaran kampusnya. Kertas-kertas script yang berisi poin-poin penting isi siarannya berserakan hingga ke bawah meja. Itu semua terjadi karena Sidney yang tiba-tiba datang ke dalam studio siaran sambil berteriak—padahal dirinya jelas-jelas sedang on-air—dan hal itu menyebabkan dirinya diberikan hukuman untuk merapikan studio sementara rekan satu club nya sudah pergi lebih dulu.“Lama banget sih, Na!”“Ini semua karena lo yang teriak di dalem ruang siaran! Suara lo masuk dan akhirnya ngebocorin siaran live gue!”Sudah satu tahun Athena menjalani kehidupan kampus—yang sialnya harus dilewati juga bersama Sidney—dan selama itu pula Athena tidak bisa menjalani hari yang normal sebab ulah Sidney yang sering seperti hari ini; tiba-tiba datang ke studio saat Athena sedang siaran, atau masuk ke kelas Athena di tengah presentasi dosen.“Salah siapa lo ngotot beda fakultas sama gue. Jadi gue harus selalu nyariin lo ke sini!” Sidney

  • The Reason Why   Epilog

    “Menurut kalian arti kehidupan itu apa?”Athena membuka episode podcastnya dengan sebuah pertanyaan.“Apa kalian pernah bertanya-tanya kenapa kalian hidup selama ini? Apa kalian pernah mencari tahu alasan kenapa Tuhan menciptakan kehidupan untuk kita? Mungkin saja selama ini Tuhan membiarkan kita hidup untuk merasa. Kehidupan yang kita jalani ini dilewati dengan tawa, tangis, cinta, luka, tantangan, cobaan, dan hikmah di balik itu semua.”“Dalam pencarian jati diri, aku menemukan hal-hal baru tentang sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah ada. Sebuah rasa benci yang muncul tiba-tiba bisa membawa hidupku sampai di titik ini. Kenapa bisa begitu? Ya, mungkin saja karena emosi itu bisa berkembang—entah ke arah yang lebih baik, atau lebih buruk.”“Banyak di antara kita pasti punya rasa yang mengganjal di hati, entah karena apa sebabnya, yang jelas kita tidak pernah ingin perasaan itu ada di hati kita. Perasaan itu bisa berkembang dan terus berkembang menciptakan jati diri kita. Pada dasar

  • The Reason Why   86. Bersiap untuk Awal yang Baru

    Tiga hari kemudian Athena sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Luka jahitannya sudah mengering dan hanya perlu datang untuk check-up beberapa kali. Sementara Roy sudah mendapat jadwal operasi yang akan dilaksanakan dua hari berikutnya. “Na, lo yakin enggak mau balik sama gue?” Sidney yang datang untuk menjemput Athena keluar dari rumah sakit, kini sedang memberikan ekspresi cemberut sambil menopang dagunya. “Sori ma fren, gue udah janjian balik sama Ares.” Athena menjawab tanpa nada sesal sama sekali. Tangannya fokus memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Oh jadi gitu ya? Karena sekarang lo udah nemuin true love, sampe sahabat sendiri lo lupain.” Bukannya merasa bersalah mendengar nada kesal Sidney, Athena justru tertawa. “True love? Istilah lebay apa lagi, tuh?” Sidney yang semula meletakkan kepala pada ranjang rumah sakit yang telah dirapikan, kini bangkit berdiri dan mendekat ke arah Athena dengan wajah tidak percaya. “Apa? Lo bilang lebay? Coba sini gue cek dulu.” Sidn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status