Share

Bagian 2

Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu. 

"Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.

Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, terjatuh dari kursi roda. 

Kecelakaan yang dialami Mira dua tahun lalu, menyebabkan kedua kaki Mira kehilangan fungsi sebagaimana mestinya. Meskipun Mira mengatakan ia baik-baik saja, Alan tentu masih bisa melihat bagaimana luka menghancurkan dirinya. Seringkali tiap malam, Alan mendengar Ibunya menangis. Di dalam kamar yang tertutup rapat, Mira merintih, ia selalu menangisi malam di mana orang-orang telah terlelap dalam tidur. Alan yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya terdiam menjadi pendengar dan saksi betapa sulit hidup Mira akibat kecelakaan yang menimpanya itu. Tapi hidup seolah tidak mengenal duka kan? Hidup akan terus melaju, seperti tidak peduli betapa sulitnya seseorang untuk kembali bangkit berdiri, menampakkan kakinya di tanah dengan baik. Saat usia Alan baru menginjak 14 tahun, ia meminta izin kepada Ibunya untuk mengambil alih toko kue yang Mira dan suaminya dirikan. Toko kue itu berada di penghujung jalan raya, berpapasan langsung dengan para pejalan kaki dan lalu lalang kendaraan, berbeda dengan tempat tinggal Alan dan Mira tempati. Jarak keduanya seperti selatan dan utara, ujung dengan ujung. Alan tentu tidak tega harus melihat Mira mendorong penuh usaha kursi rodanya setiap pagi hanya untuk berjaga dan menyapa pelanggannya. Akhirnya, setelah berdebat kecil dengan Mira, ia mengizinkan Alan untuk mengambil alih tugasnya itu yang dengan senang hati Alan lakukan.

Beruntung, dari toko kue itulah mereka bisa merasa cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok. Meski harus hidup berkecukupan, itu bukan menjadi masalah besar untuk mereka. Asal masih ada sayang, semua akan baik-baik saja kan? Meski tiada Ayah yang seharusnya menjadi tulang punggung serta pelengkap keluarga kecil itu, tidak membuat Alan berhenti begitu saja. Sebab ia mengerti, bahwa harus ada tawa yang masih ia jaga. Ya, dia adalah Mira. Satu-satunya wanita yang menjadi alasan utama ia bertahan. Sekalipun ia harus merelakan masa remaja seperti seharusnya remaja lain, ia tidak apa-apa. Tidak selamanya Alan menyamaratakan kehidupannya dan orang lain.

"Alan, hari ini tidak perlu bekerja, ya? Biar Ibu saja yang menjaga toko, lihatlah matamu. Sudah seperti mata panda saja, kamu pasti lelah menjaga toko saat pulang sekolah hingga larut malam. Kamu tidur saja sana." sambung Mira.

Alan menggeleng, ia tidak menyetujui perkataan Ibunya. Perlahan Alan bangkit dari paha Mira yang ia jadikan bantal, ia menggenggam tangan Mira dengan lembut. Lantas tersenyum dan berujar, "Kalo Alan nggak mau gimana, Bu?" Alan terkekeh. Membuat Mira memasang raut wajah seperti marah. Ia mencubit hidung Anaknya.

"Maka Ibu akan menarik hidungmu seperti ini dengan kekuatan Ultraman." 

Mereka tertawa setelahnya, Ultraman adalah salah satu kartun favoritnya sejak dulu, bahkan koleksi Ultraman Alan nampak berjejer rapi di dalam kamar juga meja ruang tamu di Rumah minimalis yang mereka tinggali.

"Kita berangkat berdua saja, ya, Bu? Alan pikir Ibu nampak merindukan toko kue, iya kan, Bu?" 

Mira mengangguk, tidak bisa di pungkiri lagi. Hampir dua pekan ini Mira membiarkan putranya itu menjaga toko kue seorang diri. Oleh karena itu, hari ini ia memantapkan diri sendiri untuk berkunjung di toko tersebut. 

----

Toko kue milik Mira ini sebenarnya cukup luas, tidak terlalu kecil. Hanya saja, berdampingan dengan sebuah restoran terkenal kerap kali membuat toko kue miliknya bersaing keras. Beruntung Mira dan pemilik Restoran adalah teman yang baik, bahkan seringkali saat toko di sepanjang jalan mulai tutup, Pak Naren sebagai pemilik restoran itu membantu Alan berberes di toko kue. Hal tersebut terkadang membuat Mira mengingatkan memori bersama sang suami yang telah lama meninggalkan ia untuk selamanya. Sekarang, saat Mira dan Alan sudah sampai di toko, keduanya lantas mempersiapkan segala keperluan. Alan mulai menyapu dan membereskan meja kursi pelanggan terlebih dahulu. Ia juga mengecek persediaan kue di meja yang terlindungi kaca. Saat Alan mulai menyibukkan diri, Mira pun juga tidak jauh berbeda. Perlahan dengan tangan yang mendorong kursi roda juga beberapa lembar brosur berada di pangkuannya, mulai bergerak untuk menarik perhatian orang yang sedang lewat. Mira dengan satu persatu memberikan brosur yang tidak lain berisi promosi kue-kue miliknya, ia dengan senyumnya juga mengajak dan menarik beberapa orang untuk singgah di rokoknya itu. Mencicipi kue dan membelinya, itulah harapan Mira.

Tidak mudah tentu, namun semangat yang menggebu, Mira berhasil mendapatkan orang-orang yang mulai memasuki toko. Ramai pelanggan yang mulai memadati toko, membuat Alan tertawa kewalahan. Di sela-sela Alan tengah melayani pembeli, ia memberikan dua jempol tangannya kepada Mira, membuat senyum Mira semakin lebar. Alan menyukai senyum lebar itu, rasanya seperti candu. Bahkan seandainya Alan bisa meminta, maka ia akan meminta untuk melihat senyum lebar Ibunya itu di setiap saat, di sepanjang hari yang berjalan.

Saat kondisi sudah mampu membuat Alan bernapas normal, ia segera menghampiri Ibunya yang masih berada di luar. Detak jarum jam kini menunjukkan angka delapan, rasanya sudah terlalu lama membiarkan Mira di luar sendirian. Bertambah cuaca hari ini cukup dingin sedangkan Mira hanya mengenakan pakaian yang tidak cukup tebal untuk mampu menghalau dingin. Dengan membawa jaket hangat, Alan melangkah dan berjongkok di depan kursi sang Ibu.

"Ibu, pakai jaket Alan, ya. Setelah ini kita pulang, cuaca sedang dingin. Alan nggak mau Ibu sampai sakit nanti. Masuk dulu, ya, Bu. Alan tadi sudah buatkan Teh Hangat untuk Ibu." kata Alan.

Mira mengangguk pelan, ia membiarkan Alan menguasai kursi rodanya. Saat sudah sampai di dalam toko, dengan sopan Alan memberikan ia secangkir teh seperti ucapan Alan beberapa detik yang lalu. Mira dengan pelan mulai menyeruput teh tersebut, menikmati kehangatan yang membuat nyaman di tubuh. Sesekali Mira memerhatikan Alan yang sedang beberes, dengan telaten tangan putranya itu membersihkan toko kue, mulai dari menyapu, mengelap meja, dan mengepel. Nampak di sana bulir bulir keringat membasahi badan Alan. Lihat, cuaca sedang dingin, tetapi Alan malah berkeringat seperti itu. 

Setelah di rasa puas meminum Teh, Mira mulai mendekati Alan. Ia berniat membantu, namun lagi, ia lupa bahwa anaknya adalah seseorang yang keras kepala. Belum juga menyelesaikan omongannya, Alan sudah dengan cepat menggelengkan kepala.

"Ehhh tidak-tidak! Ibu tidak perlu membantu Alan. Alan bisa, kok! Nanti di rumah saja, ya? Aku lapar dan ingin makan masakan Ibu. Alan mau nasi goreng!" kata Alan masih berkutat dengan kain pel.

"Ahhh oke, nanti Ibu akan membuat nasi goreng yang luar biasa dengan potongan sosis di atasnya! Cepat selesaikan, dan ayo kita pulang." jawab Mira, memilih mengalah daripada berdebat lagi dengan Alan. Sungguh, berdebat dengan Alan seperti tidak ada habisnya. Ia tidak sanggup.

Kemudian menit membawa mereka melewati malam dengan tawa, bahkan setelah pulang dan memasak nasi goreng. Menghabiskan dua piring yang tidak meninggalkan satu sisa nasi, mereka masih nyaman untuk saling melempar celoteh dan canda-canda kecil. Malam itu, mereka menghabiskan malam dengan bahagia, Alan yang sejenak melupakan teriakan dan makian dari teman-temannya serta Mira yang sejenak melupakan jurang kesedihan akibat kondisinya yang seperti sekarang. Keduanya, sama-sama pintar menutupi luka masing-masing demi menjaga hangat sayang antara keduanya. Bukankah begitu? Bahkan seburuk apapun kita, saat di hadapan orang terkasih kita akan menjadi pengecut untuk membiarkan luka di lihat. Seringkali kita memilih untuk tetap baik-baik saja agar tidak menyakiti hati lain, padahal isi pikiran berkeliaran dan saling bersahutan. Bertengkar di dalam sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status