Share

Bagian 3

Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.

Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih berganti berdatangan. Tapi seberapa hebat mereka melawan takdir? Tuhan sudah mengatur semua, termasuk dengan kepergian Herdan dari mereka.

Usai menabur bunga dan berdoa, Mira berniat turun dari kursi roda. Tidak peduli dengan rok putih selutut miliknya yang mengenai tanah lembab itu. Tidak merasa direpotkan, Alan pun turut membantu Ibunya dengan hati hati, ia juga mencoba mengatur posisi badan Mira agar duduk nyaman, lalu memundurkan kursi roda di belakangnya. Detik setelahnya, tangan putih Mira yang berbalut cardigan panjang itu menyentuh dan mengusap nisan itu selama beberapa kali. Mira tersenyum, tangan lainnya beralih mengambil satu buah bunga yang di taburkan Alan tadi. Memindahkannya berdekatan dengan nisan.

"Hai sayang, aku datang. Kamu apa kabar? Di sini lebih damai, ya? Aku tau itu." lirih Mira.

"Lihat anak kita, sayang. Dia sudah tumbuh besar sekarang. Dia yang dulu bermain bola denganmu kini lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Membantu aku yang tidak berguna ini."

Alan menepuk pundak Mira, ia menggeleng namun ia juga menerbitkan senyum.

"Jangan berkata seperti itu, Bu. Ayah pasti tidak suka." kata Alan.

Mira terkekeh.

"Lihatlah, bahkan Alan sudah berani menegurku. Cara dia menegurku sama dengan cara kamu menegurku, sayang. Ahh aku mengerti, ternyata banyak dari sifatmu yang mendarah daging dalam diri anak kita. Oh iya, aku bawakan bunga untukmu. Kamu lihat sekarang? Sudah 10 tahun lebih tiap ulang tahun pernikahan kita, hanya aku yang memberikan bunga untukmu. Aku harap kamu suka dengan bunga ini." ujar Mira pada akhirnya. Ia meletakkan buket bunga yang cukup besar, bahkan sampai menutupi nisan suaminya. Lalu segera ia meminta bantuan kepada Alan untuk meminta duduk kembali di kursi roda, yang tentu dengan Alan di balas dengan senang hati.

Hari ini adalah tepat hari pernikahan Mira dan Herdan, sudah menjadi kebiasaan Mira dan Alan datang berkunjung. Membawakan buket bunga besar hanya untuk mendiang Herdan. Membersihkan makam dari rerumputan kecil juga tidak mereka lupakan sebelum akhirnya mereka pergi pulang. Seperti sekarang, dalam perjalanan pulang, Mira bercerita tentang masa lalu bersama Herdan. Dengan begitu, Mira berharap bahwa Alan tidak pernah kosong kehilangan figur seorang Ayah. Meski tidak lagi bisa bertatap dan berbicara langsung, tapi dalam lubuk hatinya, Alan percaya bahwa Ayah selalu menemaninya. Di sana, Ayah pasti tengah mengamati dan ikut serta mendengarkan cerita Mira.

"Dulu, saat usiamu 2 tahun. Ayah rela hujan-hujanan beli susu, karena kebetulan waktu itu susu kamu sudah habis. Persediaan juga sudah habis, padahal Ibu sudah bilang tidak perlu beli. Sekali absen minum susu juga tidak terlalu buruk. Tapi Ayah kamu itu keras kepala, sama seperti kamu. Tidak peduli dengan hujan yang masih deras, dia dengan payungnya pergi ke Minimarket. Ibu sampai heran dibuatnya." ujar Mira, ia terkekeh membayangkan masa itu. Ingatan tentang masa lalu bersama suaminya itu kembali, seperti lembar usang namun tidak pernah kehilangan makna di dalamnya.

Tok, tok, tok!

Terdengar ketukan pintu rumah, dengan tergopoh-gopoh Mira langsung membukakan pintu. Di depan, Herdan tersenyum puas dengan sebuah kresek di tangannya. Pakaiannya basah, bahkan ia tidak lagi berlindung dengan payung. Mira yang melihatnya langsung menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa di depannya sekarang adalah suaminya.

"Astaga sayang, ayo cepat masuk. Terima kasih sekali sudah bersedia hujan-hujanan demi susu ini. Payung yang kamu bawa kemana? Aku masih ingat sebelum berangkat tadi aku memberikanmu payung biru. Sebentar, aku sembari buatkan teh hangat dulu. Kamu gantilah semua pakaian itu. Aku tidak ingin kamu sakit." ujar Mira sarat dengan kekhawatirannya.

"Payung yang aku bawa, di tengah jalan tadi terbang terbawa angin. Anginnya tadi luar biasa. Bahkan aku seperti akan ikut terbawa terbang." Herdan terkekeh. Ia melepas jaket, membuka kancing kemeja satu persatu dan meletakkannya di ember kecil berdekatan dengan mesin cuci.

"Ayahhh!!"

Alan kecil berteriak, suara nyaringnya menggema satu rumah. Herdan yang melihat anaknya berlari akan mendekatinya itu pun langsung cepat menyilangkan kedua tangannya di depan.

"Roarrr!! Raksasa besar datang! Jangan mendekat atau pangeran kecil ini akan mati." begitu ucap Herdan. Ia berlagak layaknya Ayah yang tengah bercanda dengan anaknya. Mira yang melihat tingkah suami dan anaknya dari penyekat dapur itu tertawa.

"Sini, nak. Biarkan Raksasa besar itu membersihkan dirinya." kata Mira.

Alan kecil pun berlari, memeluk kaki Mira yang membuat sang pemilik kaki menjadi gemas. Mira lantas berjongkok guna menyamakan tinggi anaknya. Ia mencubit pelan hidung mancung Alan, Alan nampak risih. Namun itu malah membuat Mira semakin gemas.

"Alan mau apa, sayang? Mau susu, ya? Sebentar ya." kata Mira, ia memberikan kecupan singkat di kepala Alan. 

Sembari menunggu susu miliknya datang, Alan kecil berlari menuju sofa panjang di ruang tengah. Ia merebahkan dirinya dengan sebuah robot Ultraman. Beberapa menit kemudian, sofa berguncang. Membuat Alan langsung terduduk. Netranya melihat kanan kiri, namun tidak ada siapa-siapa. Alan kecil pun berdiri sebelum akhirnya matanya bertatapan dengan mata Herdan, Ayahnya. Begitu mengetahui Herdan datang, Alan memekik girang. Ia langsung meminta gendong yang disambut semangat oleh Herdan.

Sudah pukul sepuluh malam, namun putra kecil mereka itu nampak masih segar untuk masuk ke kamar dan tidur. Tubuhnya masih aktif berlari kesana kemari mengajak Herdan untuk mengejarnya. Seperti musuh dan penyelemat, mereka saling menyerang dalam akting. Sebelum akhirnya semua disudahi saat mendengar nasihat Mira untuk segera tidur. Mira juga segera memberikan susu itu kepada Alan dan secangkir teh hangat untuk Herdan. Saat semuanya sudah selesai, Mira langsung meminta mereka untuk pergi tidur mengingat malam sudah semakin larut.

"Ayah hebat, Bu!" Alan tertawa, membayangkan dirinya dan Ayah yang di marahi Mira semasa dulu.

"Sungguh, waktu itu kalian benar-benar buat Ibu sudah kesal. Bahkan, saat Ibu hendak pergi tidur Ibu mendapat sebuah pesan dari tetangga. Dia menanyakan kenapa rumah kita sangat berisik. Hahaha."

Keduanya masih sibuk tertawa, hingga tidak merasa bahwa mereka sudah sampai di Rumah. Cepat sekali, pikir mereka. Mungkin karena sibuk berceloteh cerita tadi, membuat mereka tidak sadar bahwa perjalanan panjang pun serasa singkat seperti saat ini. Seperti kehidupan, akan menjadi lebih cepat apabila dijalani dengan bahagia. Namun lebih cepat di sini tidak membuat rugi, tidak ada yang perlu di sayangkan dengan menjalani kehidupan yang bahagia. Dengan rasa tabah dan damai di dalamnya, bahkan rasa luka dan sedih akan melebur. Tidak sepenuhnya memang, tapi setidaknya sakit yang di rasa akan berkurang ketika bahagia datang. Nikmatilah setiap waktu yang berjalan, agar kamu mampu memaknai apa yang terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status