Kaluna menatap pusara sang ibu dengan nanar. Raut wajahnya penuh dengan guratan, tak lupa bekas air mata yang ada dipipi membuat dirinya terlihat lebih menyedihkan. Ia dengan tegar memeluk sang adik erat.
Tak banyak yang menghadiri pemakaman ini selain tetangga, karena keluarga Kaluna tergolong baru di lingkungan ini meskipun sudah dua tahun menetap. Ayah Kaluna masih duduk di teras dan melamum sedangkan Kaluna yang masih berusia empat belas tahun hanya bisa menemani sang adik.
Ibunya meninggal pagi tadi karena serangan jantung saat Kaluna masih ada di sekolah. Saat itu wali kelasnya datang dan hanya mengatakan bahwa Kaluna bisa pulang lebih awal dengan satpam sekolah yang menemani, tentu saja hal itu menjadi teka-teki tersendiri untuk Kaluna.
“Kaluna,” panggil Ayah Kaluna.
Kaluna yang masih ada didalam kamar segera menghampiri Sang Ayah.
“Iya yah?” tanya Kaluna.
“Sekarang tinggal ada kita bertiga, kamu mau nya gimana?” tanya Sang Ayah.
Tentu saja apa jawaban yang diharapkan dari anak umur empat belas tahun selain sebuah pertanyaan lain.
“Luna kan masih ada Ayah, memang Ayah mau kemana?” balas Kaluna.
Sang Ayah menghela nafas berat. Keduanya mengobrol di beranda rumah. Rumah sederhana yang Ayah sewa saat mereka pertama kali datang ke kota ini. Sudah pasti rumah ini tidak lebih besar dari dapur mereka di rumah yang lama, namun keluarga kecil ini harus mulai mensyukuri segala keadaan mereka sekarang.
“Ibu pernah bilang, apapun yang terjadi nanti kami gak boleh jauh dari Ayah. Sekalipun Nenek atau Eyang berusaha bawa kami pulang, Ibu bilang Luna dan Evan harus sama Ayah terus,” jelas Kaluna.
Ayah kembali menghela nafas. Tak pernah sedikitpun terpikir tindakannya di tempat kerja lama nya akan berdampak sebesar ini dikehidupan mereka.
“Kalau Ayah gak ada, kamu mau gimana?” tanya Sang Ayah.
Kaluna mengerutkan keningnya. Pertanyaan seperti ini membuat dirinya bingung. Sekali lagi, apa yang diharapkan dari anak umur empat belas tahun.
“Ayah mau ninggalin Luna sama adik?” tanya Kaluna.
Bukannya menjawab, Ayah justru kembali meneteskan air matanya. Pikirannya berkecamuk, hatinya belum sembuh setelah terpaksa harus jauh dari kota kelahirannya serta didepak dengan paksa dari pohon keluarga namun sekarang lukanya kembali disiram air garam, istrinya meninggal saat keduanya sedang berusaha kembali membangun semuanya dari awal. Sebagai kepala keluarga ini beban berat baginya, apalagi ditinggalkan bersama dua buah hati yang masih butuh perhatian penuh dari kedua orang tua.
“Ayah gak akan ninggalin kalian. Tapi Luna kalau hal buruk seperti sekarang terjadi, apa yang akan kamu lakukan kalau hanya ada Luna sama adik ?” tanya Ayah lagi.
Kaluna menghembuskan nafasnya.
“Luna harus gimana Ayah?” ucap Kaluna dengan raut wajah tak kalah frustasi, bahkan sekarang air mata nya kembali mengalir.
Ayah pergi menuju kamar lalu kembali lagi membawa sebuah tas ditangannya. Kaluna terdiam dan berusaha meredakan tangisannya. Kaluna tau kalau itu adalah tas kerja ayahnya, namun dirinya tak pernah tahu apa isinya. Yang Ia tahu tas itu cukup berharga untuk kedua orang tuanya karena sejak mereka pindah, tas itu selalu dijaga dengan baik oleh Ibu.
“Kamu tau ini apa?” tanya sang Ayah.
“Tas kerja Ayah.”
Sang Ayah mengangguk. Lalu mengeluarkan sebuah amplop kecil.
“Kalau suatu saat nanti Ayah gak bisa jagain Luna sama adik, Ayah boleh minta satu hal?” mohon Ayah.
“Sure.”
“Di amplop ini akan menjelaskan semua alasan kenapa keluarga kita harus pergi dari rumah lama. Dan semua dokumen di tas ini adalah file penting. Jadi kalau nanti Ayah sudah gak ada sama kalian lagi, janji sama Ayah. Kalau Luna ingin kembali ke Eyang sama Nenek, Luna harus buka tas ini dulu dan selesaikan semuanya untuk Ayah dan Ibu. Tapi kalau Luna gak ingin kembali lagi ke sana, Luna cuma perlu simpan dan jangan pernah buka. Mbak pergi ke alamat yang ada di sini, dan simpan tas nya jangan sampai siapapun tau apa isinya,” ujar Ayah sembari menyerahkan sebuah kertas kecil berisikan kartu nama seseorang.
“Ingat kata-kata Ayah, jangan pernah buka kalau kamu belum siap. Ayah boleh percaya sama Luna kan?” imbuh Ayah.
Kaluna mengangguk pelan lalu memeluk sang ayah. Ia tak tau apa yang akan terjadi setelah ini namun yang Ia tahu, Ia akan segera kehilangan sang ayah cepat atau lambat.
“Kaluna sayang Ayah,” lirihnya.
“Ayah juga sayang mbak.”
***
Kaluna segera pulang setelah mejemput sang adik dari sekolahnya. Setiap hari keduanya berangkat sekolah hanya berdua sedangkan sang Ayah harus bekerja di sebuah proyek pembangunan. Ayahnya dulu adalah seorang petinggi perusahaan dengan jabatan yang cukup bergengsi, namun semenjak kejadian dua tahun yang lalu mereka harus membangun semua dari awal dan ayahnya memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan di sana.
Tentu saja semua berjalan dengan sangat sulit. Kaluna harus pintar-pintar meyembunyikan identitas dan cerita masa lalu nya sehingga tak jarang ada beberapa teman sekelasnya yang mengatai dirinya sebagai anak aneh karena tak mau berbagi cerita tentang dirinya. Namun Kaluna bersyukur ada satu dua orang yang memaklumi nya walaupun tidak semua tapi Kaluna senang karena masih ada orang yang menghargainya.
“Temenin mbak dulu ya,” ujar Kaluna kepada Si Adik.
“Kemana mbak?” tanya Adiknya.
“Beli alat gambar,” balas Kaluna.
“Mbak punya uang?”
“Mbak udah nabung dari lama,” jelas Kaluna.
Sang adik mengangguk dan mengikuti langkah ringan sang kakak. Keduanya masuk ke sebuah toko peralatan tulis. Kaluna terlihat antusias dan senang sekali karena dirinya bisa membeli alat gambar sendiri setelah menabung berbulan-bulan. Selama ini Ia hanya bisa meminjam milik temannya atau meminjam milik sekolah. Bukannya Ia tak bisa meminta pada orang tuanya, namun Kaluna cukup tahu diri melihat situasi keluarganya saat ini.
“Kalian mau beli apa?” tanya salah satu penjaga toko.
“Saya mau beli pensil warna,” jawab Kaluna.
“Kalian ada uang?” tanya pegawai tersebut dengan tidak yakin.
Kaluna mengangguk mantap sembari menunjuk kesalah satu set pensil warna yang paling laris dan berujar, “Saya bawa uang tabungan saya mbak, semoga cukup buat beli yang itu.”
Sang pegawai segera mengambilkan apa yang diminta Kaluna dan membawa nya ke meja kasir. Untung saja uang yang disiapkan Kaluna cukup untuk membeli pensil warna yang cukup mahal itu. Dirinya dulu memiliki beberapa set pensil warna yang lebih mahal dari ini namun semuanya tertinggal di rumah lama mereka.
Kaluna dan adiknya keluar dengan menenteng sebuah plastik berlogo toko tersebut dan pulang dengan riang. Keduanya bahkan sempat mampir di pedagang telur gulung dan membeli beberapa dengan sisa uang saku mereka.
“Mbak, kok ayah udah pulang?” tanya sang adik saat melihat motor ayah mereka sudah ada di teras rumah.
“Mungkin mau makan siang di rumah?” jawab Kaluna yang sama-sama tidak tahu.
Keduanya masuk kerumah, Kaluna segera menghampiri kamar ayahnya sedangkan sang adik masuk ke kamar mereka.
Awalnya Kaluna memanggil Sang Ayah dari luar namun tak ada balasan, akhirnya dirinya memutuskan untuk masuk. Namun yang dilihat Kaluna adalah sebuah mumpi buruk baru.
“Ayah!!” jerit Kaluna sembari menghampiri sang ayah yang dipenuhi dengan darah.
Darah mengalir dari lengan kiri sang Ayah membuat Kaluna panik. Ia segera menjerit sekeras-kerasnya guna memanggil pertolongan hingga sang adik datang. Kaluna menangis histeris melihat apa yang terjadi.
“Panggil tetangga dek, cepetan!!” seru Kaluna pada adiknya.
“Siapa kak?” tanya Sang Adik yang sudah mulai menangis.
“Siapapun!!!!” jerit Kaluna.
Kaluna menangis hingga membuat sang adik ikut menangis. Adik Kaluna pergi keluar sedangkan Kaluna berusaha menahan aliran darah yang keluar dari lengan Sang Ayah. Ayahnya masih hidup karena dirinya masih bisa merasakan hembusan nafas berat dari laki-laki tersayanganya ini.
“Ayah kenapa mau ninggalin kita?” tanya Kaluna frustasi.
“M-ma-afin A-yah,” ujar Sang Ayah dengan susah payah.
“Luna harus gimana Ayah?”cecar Kaluna.
“Ka-mu har-us tepatin jan-ji kamu sama Ayah ya m-mbak,”ujar Sang Ayah.
Kaluna menangis sejadi-jadinya sambil mengangguk. Matanya memburam akibat air matanya yang terus mengalir, tapi satu hal yang Kaluna ingat adalah senyum Ayahnya saat menutup mata. Kaluna menangis sejadi-jadinya, Ia menjerit memanggil-manggil Ayahnya namun sayang semua yang Ia lakukan tidak membuat perubahan apapun. Ayahnya pergi menyusul Sang Ibu dan meninggalkan dirinya berdua hanya dengan adik kecilnya. Kaluna tak tau mengapa dirinya terus mendapatkan kesulitan dihidupnya, tentunya bertahan tanpa orang tua bukan hal yang mudah. Ia selalu ditinggalkan oleh siapapun yang Ia percaya. Neneknya, Eyangnya, om dan tante, bahkan semua sepupunya juga ikut meninggalkan dirinya. Sekarang Ia juga harus ditinggalkan oleh orang tuanya, itu adalah pukulan terbesar dalam hidup kaluna. Akankah dirinya bisa bertahan dengan semua ini, terlebih teka teki besar yang menjadi alasan keluarganya menjadi seberantakan ini. Akankah Kaluna bisa?
Manusia selalu hidup dengan memaksa aturan dan menuntut semuanya terjadi, namun saat kehendaknya tak berjalan sesuai kemauan maka akal sehat tak lagi bekerja. Hal itu yang terjadi pada Ayah Kaluna. Kaluna terdiam di teras sebuah panti asuhan yang dekat dengan sekolahnya. Sepeninggalan sang ayah seminggu yang lalu, para tetangga mengusulkan untuk sementara Kaluna dan adiknya tinggal di sini sampai kenalan mereka datang. Hal itu hanya dituruti Kaluna walaupun sendirinya tahu tidak akan ada orang yang datang menjemputnya. Semua orang itu telah Kaluna bunuh dalam ingatannya semenjak mereka menolak dengan keras keluarga Kaluna yang sedang kesusahan. Eyangnya, orang tua kandung Ayah tak pernah membukakan pintunya sekalipun setelah mengetahui kasus yang menimpa sang anak. Begitu pula dengan om dan tantenya. Bahkan sepupu terdekat Kaluna juga ikut menjaga jaraknya. Neneknya, Ibu dari Ibu Kaluna mengatakan kekecewaannya yang terbesar kepada anak dan menantunya. Neneknya denga
Delapan tahun kemudian.Kaluna berjalan menyusuri gang kecil yang temaram karena penerangan yang ada hanya dari sebuah lampu di ujung jalan. Langkahnya pelan karena seharian ini semua tenaganya sudah terkuras habis. Ia bekerja di dua tempat yang berbeda dalam sehari dan hari ini kedua bos nya lagi-lagi membuatnya melakukan pekerjaan yang tidak masuk akal.Rasa letihnya seketika berkurang saat Ia melihat sang adik sedang duduk diteras kontrakan mereka dengan sebuah buku dipangkuannya. Hati Kaluna menghangat, disaat dunia tidak menerima nya dengan baik hanya sang adik yang menunggunya untuk kembali pulang . Ia bekerja keras selama ini berbekal harapan agar adiknya bisa bahagia seperti anak seumurannya. Cukup Kaluna saja yang merasakan semua kepahitan ini, tapi dalam masa depan adiknya nanti Ia tak ingin ada cerita yang sama untuk sang adik.Disaat Kaluna selalu hilang harapan dan menyerah pada dirinya sendiri, Ia bersyukur ada
Kaluna yang tadinya membayangkan akan menunggu sampel dengan santai diruang tunggu akhirnya ikut kelabakan saat Gama menemukan ada kesalahan packaging pada novel yang yang akan diluncurkan minggu depan itu. Seharusnya pembatas buku yang dicetak adalah versi kedua karena ada kesalahan hak cipta pada vectoryang diinginkan penulis pada pembatas buku yang pertama. Dengan cepat Gama menyuruh siapapun orang yang ada disana untuk membantunya mengambil semua bookmark yang sudah tertata rapi didalam buku untuk dikeluarkan dan diganti dengan yang baru- termasuk Kaluna yang memang ada disana.Sekarang ada tumpukan besar buku-buku berjumlah dua ratus novel yang harus mereka buka satu persatu. Tentunya ini akan memakan waktu yang sangat lama. Untung saja tanggal perilisannya masih jauh sehingga masih ada waktu untuk memperbaikinya.Kaluna memutuskan untuk pamit sebentar guna memesan beberapa makanan untuk semua orang karena ini sudah lewat jam makan
“Ya ampun La, aku gak usah ditemenin juga gak kenapa-napa,” ujar Kaluna yang sedang menuangkan soto ayam kuah bening yang tadi Ia beli kedalam mangkok.Sepulang dari kantor Lila mengatakan bahwa dirinya akan menginap. Lila tahu jika hari ini dan tiga hari kedepan Kaluna sendirian di rumah karena Evan pergi olimpiade untuk itu sekitar jam tujuh malam setelah Kaluna sampai dirumah, Lila datang dengan rantang makanan buatan sang ayah. Malam ini makanan di rumah Kaluna melimpah.“Aku takut kamu gak keurus,” cicit Lila.“Enak aja! Aku mandiri tau,” elak Kaluna.Lila hanya bergumam kecil mencibir Kaluna yang sok mandiri walaupun kenyataannya memang benar adanya. Mana bisa menyebut seorang Kaluna tidak mandiri padahal selama bertahun-tahun hidupnya hanya berdua dengan sang adik.Kaluna masuk kekamar guna mengganti baju nya dengan piama. Lila yang sudah selesai menata makan malam mereka akhirnya berteriak karena bosan.
Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.“I-iya mas,” gagap Kaluna.“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menu
Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet."Udah makan siang Na?" tanya Joan."Udah ce," jawab Kaluna singkat.Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna."Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung."Gak kok ce," ujar Kaluna.Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya."Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam j
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m