Share

The Scars
The Scars
Penulis: matchaleite13

01. Apa dan Kenapa?

Kaluna menatap pusara sang ibu dengan nanar. Raut wajahnya penuh dengan guratan, tak lupa bekas air mata yang ada dipipi membuat dirinya terlihat lebih menyedihkan. Ia dengan tegar memeluk sang adik erat.

Tak banyak yang menghadiri pemakaman ini selain tetangga, karena keluarga Kaluna tergolong baru di lingkungan ini meskipun sudah dua tahun menetap. Ayah Kaluna masih duduk di teras dan melamum sedangkan Kaluna yang masih berusia empat belas tahun hanya bisa menemani sang adik.

Ibunya meninggal pagi tadi karena serangan jantung saat Kaluna masih ada di sekolah. Saat itu wali kelasnya datang dan hanya mengatakan bahwa Kaluna bisa pulang lebih awal dengan satpam sekolah yang menemani, tentu saja hal itu menjadi teka-teki tersendiri untuk Kaluna.

“Kaluna,” panggil Ayah Kaluna.

Kaluna yang masih ada didalam kamar segera menghampiri Sang Ayah.

“Iya yah?” tanya Kaluna.

“Sekarang tinggal ada kita bertiga, kamu mau nya gimana?” tanya Sang Ayah.

Tentu saja apa jawaban yang diharapkan dari anak umur empat belas tahun selain sebuah pertanyaan lain.

“Luna kan masih ada Ayah, memang Ayah mau kemana?” balas Kaluna.

Sang Ayah menghela nafas berat. Keduanya mengobrol di beranda rumah. Rumah sederhana yang Ayah sewa saat mereka pertama kali datang ke kota ini. Sudah pasti rumah ini tidak lebih besar dari dapur mereka di rumah yang lama, namun keluarga kecil ini harus mulai mensyukuri segala keadaan mereka sekarang.

“Ibu pernah bilang, apapun yang terjadi nanti kami gak boleh jauh dari Ayah. Sekalipun Nenek atau Eyang berusaha bawa kami pulang, Ibu bilang Luna dan Evan harus sama Ayah terus,” jelas Kaluna.

Ayah kembali menghela nafas. Tak pernah sedikitpun terpikir tindakannya di tempat kerja lama nya akan berdampak sebesar ini dikehidupan mereka.

“Kalau Ayah gak ada, kamu mau gimana?” tanya Sang Ayah.

Kaluna mengerutkan keningnya. Pertanyaan seperti ini membuat dirinya bingung. Sekali lagi, apa yang diharapkan dari anak umur empat belas tahun.

“Ayah mau ninggalin Luna sama adik?” tanya Kaluna.

Bukannya menjawab, Ayah justru kembali meneteskan air matanya. Pikirannya berkecamuk, hatinya belum sembuh setelah terpaksa harus jauh dari kota kelahirannya serta didepak dengan paksa dari pohon keluarga namun sekarang lukanya kembali disiram air garam, istrinya meninggal saat keduanya sedang berusaha kembali membangun semuanya dari awal. Sebagai kepala keluarga ini beban berat baginya, apalagi ditinggalkan bersama dua buah hati yang masih butuh perhatian penuh dari kedua orang tua.

“Ayah gak akan ninggalin kalian. Tapi Luna kalau hal buruk seperti sekarang terjadi, apa yang akan kamu lakukan kalau hanya ada Luna sama adik ?” tanya Ayah lagi.

Kaluna menghembuskan nafasnya.

“Luna harus gimana Ayah?” ucap Kaluna dengan raut wajah tak kalah frustasi, bahkan sekarang air mata nya kembali mengalir.

Ayah pergi menuju kamar lalu kembali lagi membawa sebuah tas ditangannya. Kaluna terdiam dan berusaha meredakan tangisannya. Kaluna tau kalau itu adalah tas kerja ayahnya, namun dirinya tak pernah tahu apa isinya. Yang Ia tahu tas itu cukup berharga untuk kedua orang tuanya karena sejak mereka pindah, tas itu selalu dijaga dengan baik oleh Ibu.

“Kamu tau ini apa?” tanya sang Ayah.

“Tas kerja Ayah.”

Sang Ayah mengangguk. Lalu mengeluarkan sebuah amplop kecil.

“Kalau suatu saat nanti Ayah gak bisa jagain Luna sama adik, Ayah boleh minta satu hal?” mohon Ayah.

Sure.”

“Di amplop ini akan menjelaskan semua alasan kenapa keluarga kita harus pergi dari rumah lama. Dan semua dokumen di tas ini adalah file penting. Jadi kalau nanti Ayah sudah gak ada sama kalian lagi, janji sama Ayah. Kalau Luna ingin kembali ke Eyang sama Nenek, Luna harus buka tas ini dulu dan selesaikan semuanya untuk Ayah dan Ibu. Tapi kalau Luna gak ingin kembali lagi ke sana, Luna cuma perlu simpan dan jangan pernah buka. Mbak pergi ke alamat yang ada di sini, dan simpan tas nya jangan sampai siapapun tau apa isinya,” ujar Ayah sembari menyerahkan sebuah kertas kecil berisikan kartu nama seseorang.

“Ingat kata-kata Ayah, jangan pernah buka kalau kamu belum siap. Ayah boleh percaya sama Luna kan?” imbuh Ayah.

Kaluna mengangguk pelan lalu memeluk sang ayah. Ia tak tau apa yang akan terjadi setelah ini namun yang Ia tahu, Ia akan segera kehilangan sang ayah cepat atau lambat.

“Kaluna sayang Ayah,” lirihnya.

“Ayah juga sayang mbak.”

***

Kaluna segera pulang setelah mejemput sang adik dari sekolahnya. Setiap hari keduanya berangkat sekolah hanya berdua sedangkan sang Ayah harus bekerja di sebuah proyek pembangunan. Ayahnya dulu adalah seorang petinggi perusahaan dengan jabatan yang cukup bergengsi, namun semenjak kejadian dua tahun yang lalu mereka harus membangun semua dari awal dan ayahnya memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan di sana.

Tentu saja semua berjalan dengan sangat sulit. Kaluna harus pintar-pintar meyembunyikan identitas dan cerita masa lalu nya sehingga tak jarang ada beberapa teman sekelasnya yang mengatai dirinya sebagai anak aneh karena tak mau berbagi cerita tentang dirinya. Namun Kaluna bersyukur ada satu dua orang yang memaklumi nya walaupun tidak semua tapi Kaluna senang karena masih ada orang yang menghargainya.

“Temenin mbak dulu ya,” ujar Kaluna kepada Si Adik.

“Kemana mbak?” tanya Adiknya.

“Beli alat gambar,” balas Kaluna.

“Mbak punya uang?”

“Mbak udah nabung dari lama,” jelas Kaluna.

Sang adik mengangguk dan mengikuti langkah ringan sang kakak. Keduanya masuk ke sebuah toko peralatan tulis. Kaluna terlihat  antusias dan senang sekali karena dirinya bisa membeli alat gambar sendiri setelah menabung berbulan-bulan. Selama ini Ia hanya bisa meminjam milik temannya atau meminjam milik sekolah. Bukannya Ia tak bisa meminta pada orang tuanya, namun Kaluna cukup tahu diri melihat situasi keluarganya saat ini.

“Kalian mau beli apa?” tanya salah satu penjaga toko.

“Saya mau beli pensil warna,” jawab Kaluna.

“Kalian ada uang?” tanya pegawai tersebut dengan tidak yakin.

Kaluna mengangguk mantap sembari menunjuk kesalah satu set pensil warna yang paling laris dan berujar, “Saya bawa uang tabungan saya mbak, semoga cukup buat beli yang itu.”

Sang pegawai segera mengambilkan apa yang diminta Kaluna dan membawa nya ke meja kasir. Untung saja uang yang disiapkan Kaluna cukup untuk membeli pensil warna yang cukup mahal itu. Dirinya dulu memiliki beberapa set pensil warna yang lebih mahal dari ini namun semuanya tertinggal di rumah lama mereka.

Kaluna dan adiknya keluar dengan menenteng sebuah plastik berlogo toko tersebut dan pulang dengan riang. Keduanya bahkan sempat mampir di pedagang telur gulung dan membeli beberapa dengan sisa uang saku mereka.

“Mbak, kok ayah udah pulang?” tanya sang adik saat melihat motor ayah mereka sudah ada di teras rumah.

“Mungkin mau makan siang di rumah?” jawab Kaluna yang sama-sama tidak tahu.

Keduanya masuk kerumah, Kaluna segera menghampiri kamar ayahnya sedangkan sang adik masuk ke kamar mereka.

Awalnya Kaluna memanggil Sang Ayah dari luar namun tak ada balasan, akhirnya dirinya memutuskan untuk masuk. Namun yang dilihat Kaluna adalah sebuah mumpi buruk baru.

“Ayah!!” jerit Kaluna sembari menghampiri sang ayah yang dipenuhi dengan darah.

Darah mengalir dari lengan kiri sang Ayah membuat Kaluna panik. Ia segera menjerit sekeras-kerasnya guna memanggil pertolongan hingga sang adik datang. Kaluna menangis histeris melihat apa yang terjadi.

“Panggil tetangga dek, cepetan!!” seru Kaluna pada adiknya.

“Siapa kak?” tanya Sang Adik yang sudah mulai menangis.

“Siapapun!!!!” jerit Kaluna.

Kaluna menangis hingga membuat sang adik ikut menangis. Adik Kaluna pergi keluar sedangkan Kaluna berusaha menahan aliran darah yang keluar dari lengan Sang Ayah. Ayahnya masih hidup karena dirinya masih bisa merasakan hembusan nafas berat dari laki-laki tersayanganya ini.

“Ayah kenapa mau ninggalin kita?” tanya Kaluna frustasi.

“M-ma-afin A-yah,”  ujar Sang Ayah dengan susah payah.

“Luna harus gimana Ayah?”cecar Kaluna.

“Ka-mu har-us tepatin jan-ji kamu sama Ayah ya m-mbak,”ujar Sang Ayah.

Kaluna menangis sejadi-jadinya sambil mengangguk. Matanya memburam akibat air matanya yang terus mengalir, tapi satu hal yang Kaluna ingat adalah senyum Ayahnya saat menutup mata. Kaluna menangis sejadi-jadinya, Ia menjerit memanggil-manggil Ayahnya namun sayang semua yang Ia lakukan tidak membuat perubahan apapun. Ayahnya pergi menyusul Sang Ibu dan meninggalkan dirinya berdua hanya dengan adik kecilnya. Kaluna tak tau mengapa dirinya terus mendapatkan kesulitan dihidupnya, tentunya bertahan tanpa orang tua bukan hal yang mudah. Ia selalu ditinggalkan oleh siapapun yang Ia percaya. Neneknya, Eyangnya, om dan tante, bahkan semua sepupunya juga ikut meninggalkan dirinya. Sekarang Ia juga harus ditinggalkan oleh orang tuanya, itu adalah pukulan terbesar dalam hidup kaluna. Akankah dirinya bisa bertahan dengan semua ini, terlebih teka teki besar yang menjadi alasan keluarganya menjadi seberantakan ini. Akankah Kaluna bisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status