Share

02. Manusia

Manusia selalu hidup dengan memaksa aturan dan menuntut semuanya terjadi, namun saat kehendaknya tak berjalan sesuai kemauan maka akal sehat tak lagi bekerja. Hal itu yang terjadi pada Ayah Kaluna. Kaluna terdiam di teras sebuah panti asuhan yang dekat dengan sekolahnya. Sepeninggalan sang ayah seminggu yang lalu, para tetangga mengusulkan untuk sementara Kaluna dan adiknya tinggal di sini sampai kenalan mereka datang. Hal itu hanya dituruti Kaluna walaupun sendirinya tahu tidak akan ada orang yang datang menjemputnya. Semua orang itu telah Kaluna bunuh dalam ingatannya semenjak mereka menolak dengan keras keluarga Kaluna yang sedang kesusahan.

Eyangnya, orang tua kandung Ayah tak pernah membukakan pintunya sekalipun setelah mengetahui kasus yang menimpa sang anak. Begitu pula dengan om dan tantenya. Bahkan sepupu terdekat Kaluna juga ikut menjaga jaraknya.

Neneknya, Ibu dari Ibu Kaluna mengatakan kekecewaannya yang terbesar kepada anak dan menantunya. Neneknya dengan tegas tidak bisa membantu apapun selain menyarankan keluarganya untuk pergi dari kota itu dan memulai kehidupan tanpa mengganggu mereka lagi.

Pada akhirnya semua menolak Kaluna dan keluarganya. Tak ada yang menerima mereka dengan senyum merekah seperti dulu. Tak ada lagi pelukan hangat dari Eyang ataupun sang Nenek saat Kaluna datang, tak ada lagi.

Dan setelah orang tuanya pergi untuk selamanya, Kaluna juga tak ingin kembali ke neraka itu lagi. Meskipun dirinya tak tau alasan pasti mengapa orang tua nya bisa jatuh sejatuh jatuhnya, namun Kaluna cukup bisa membaca situasi yang terjadi. Tidak ada yang menginginkan Kaluna lagi di sana dan Kaluna harus sadar diri akan hal itu.

Lamunannya kembali berkelana ke malam sebelum ayahnya meninggal. Kala itu keduanya duduk berdua di balkon selepas maghrib. Ayahnya mengadahkan kepala keatas menatap bulan yang kala itu bersinar terang.

“Ayah suka bulan?” tanya Kaluna.

Sang ayah tersenyum lalu membalas, “Ada alasan kenapa Ayah memberi kamu nama Kaluna.”

“Apa itu?” tanya Kaluna lagi.

“Bulan yang tak tergantikan,Kaluna,” ujar Sang Ayah.

“Ibu pernah bilang kalau lebih suka bintang,” ucap Kaluna.

“Iya, Ibumu sangat suka bintang makannya kita sering bertengkar hanya karena topik lebih terang bintang atau bulan,” kata Ayah.

Kaluna ikut mengadah dan melihat bulan yang bentuknya bundar itu.

“Ibu udah jadi bintang sekarang Yah,” ucap Kaluna sambil menunjuk kearah bintang terang yang setia disamping bulan.

“Ibumu sudah memenuhi impiannya sayang,” balas Sang Ayah.

Kaluna mengangguk namun juga dalam hati nya menyimpan kerinduan. Meskipun Ibunya bukan termasuk sosok Ibu yang dekat dengan anaknya namun Ibunya adalah Ibu terbaik untuk Kaluna. Sang Ibu tak pernah bosan mengingatkan Kaluna jika dia lupa akan sesuatu, tak lupa selalu mengajari Kaluna untuk menjadi orang baik serta selalu menjadi orang nomer satu yang akan memarahi Kaluna habis-habisan jika dirinya berbuat salah. Sang Ibu tidak akan membela anaknya jika Kaluna atau sang adik lah yang bersalah. Tapi meskipun begitu, sosok Ibunya tetap yang terbaik sampai saat ini.

“Luna, dengerin Ayah ya-” ucap Sang Ayah.

“Luna dari tadi dengerin Ayah,” potong Kaluna membuat Ayahnya tertawa kecil.

“Apapun yang terjadi nanti, Ayah cuma mau Luna ngerti kalau Ayah dan Ibu selalu sayang Kaluna dan adik. Gak pernah sekalipun Ayah pernah menyesal dengan semua keputusan Ayah, karena semuanya Ayah lakukan untuk keluarga kita. Luna dan adik selalu jadi anak kesayangan Ayah dan Ibu, jangan pernah berpikir kita meninggalkan kalian karena kita akan selalu sama kalian.”

Kaluna tersenyum miris, karena pada akhirnya dirinya merasa ditinggalkan sekarang. Kaluna selalu mencoba untuk mengerti namun sampai sekarang Kaluna belum paham mengapa Ayahnya memilih untuk menyerah dan menyusul sang Ibu.

“Pada akhirnya Ayah menyerah dan meninggalkan kami,” monolog Kaluna.

Kaluna kembali menatap selembar kertas yang waktu itu pernah ayahnya berikan. Sebuah nama, nomor telfon dan sebuah alamat tertera disana. Jika Kaluna tahu kalau omongan ayahnya kan menjadi nyata dengan cara seperti ini, Ia bisa saja memarahi sang Ayah habis-habisan agar kembali sadar dan melanjutkan hidup.

***

Kaluna melangkahkan kakinya menuju alamat yang sudah seharian ini dicarinya. Sepulang sekolah tadi kaluna menjemput adiknya dan kembali ke panti, namun selepas makan siang dirinya pamit kepada Bu Ridha untuk mengunjungi suatu tempat. Iya, alamat yang ada di kertas peninggalan sang ayah.

Kaluna sudah sampau di depan sebuah rumah modern yang cukup besar namun terlihat sepi dari luar. Akhirnya Ia memutuskan untuk bertanya pada satpam.

“Permisi pak, ini benar alamat yang sama dengan yang ada disini ya pak?” tanya Kaluna dengan menunjukkan kertas miliknya.

“Iya dek, tapi bapak sedang tidak di rumah,” ujar Satpam tersebut.

Kaluna mengangguk dan hanya bisa menghela nafasnya. Ia tak ingin memaksa lebih jauh lagi. Mungkin besok Ia bisa kesini lagi.

Keesokan harinya Kaluna kembali lagi ke sana, namun satpam yang kemarin tetap pada jawabannya. Pemilik rumah sekaligus orang yang Ia cari akan pergi dalam waktu yang lama sehingga Kaluna tidak bisa menemuinya dalam waktu dekat.

Kaluna menyerah, Ia tak akan lagi kembali ke sana. Mungkin peninggalan terakhir Ayahnya juga tidak membantu apapun selain menghasilkan sebuah kesia-siaan. Kini Kaluna harus bias berdiri dengan kakinya sendiri dan mencari cara agar tetap hidup dan bisa menghidupi Sang Adik juga.

 Kaluna memantapkan hatinya untuk bertahan. Dia tahu bahwa Ia dan adiknya tak bisa mengandalkan bantuan panti asuhan selamanya sehingga mulai dari sini Kaluna memutuskan untuk mencari tambahan uang.

Awalnya Kaluna membuka jasa menggambar tugas untuk teman-temannya, dan hasilnya lumayan banyak untuk mencukupi uang jajannya dan Sang Adik. Kaluna juga menerima tugas untuk mengerjakan beberapa tugas seni lainnya.

Kaluna juga mencuci piring di salah satu warung didekat panti untuk mendapatkan upah. Semuanya Kaluna lakukan diusianya yang masih empat belas tahun. Meskipun sulit, Kaluna harus melakukannya.

Hari ini Kaluna pulang dengan perasaan senang karena telah mendapatkan upah pertamanya dalam sebulan. Namun langkahnya tiba-tiba oleng saat ada segerombolan anak seusianya yang dengan sengaja mendorong Kaluna yang sedang berjalan hingga sekarang gadis itu terduduk di jalan dengan lutut yang berdarah.

“Kalian mau apa?” tanya Kaluna pelan.

Ia tahu siapa-siapa saja yang ada didepannya ini. Yang Kaluna tau anak laki-laki dengan warna rambut sedikit pirang itu adalah kakak kelasnya sedangkan lima orang lainnya adalah antek-antek pribadinya. Kelompok ini sangat terkenal akan keonarannya disekolah dan itu yang membuat Kaluna kini merasa takut.

“Wih, duit nih,” ucap salah satu anak perempuan di sana sambil mengambil paksa uang milik Kaluna yang Ia pegang erat-erat.

“J-jangan,” cicit Kaluna.

Bukannya berhenti, mereka semakin menjadi. Setelah mengambil uang Kaluna mereka bahkan sempat menginjak dan meludahi perempuan itu. Perilaku bengis untuk anak-anak yang duduk di bangku SMP.

Kaluna menangis sejadi-jadinya. Kini dia ditinggalkan dengan lutut yang berdarah dan seragam sekolah yang kotor penuh tanah. Uangnya yang selama sebulan ini ditunggu-tunggu juga hilang karea diminta paksa. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menangis karena untuk berdiri saja sekarang lututnya sangat sakit.

“Ibu, sakitt,” lirih Kaluna dalam tangisnya.

***

Kaluna menatap wajah adiknya yang sedang tertidur pulas. Dirinya tadi bisa pulang karena bantuan seorang ibu-ibu yang melihatnya terjatuh. Setelah Ibu Panti membantunya membersihkan dirinya serta mengobati luka pada lutut Kaluna. Ia yakin bahwa luka tersebut akan membekas karena lukannya cukup lebar.

Hatinya kembali merindukan sang Ibu karena wajah adiknya sangat mirip dengan ibu mereka apalagi saat tersenyum. Kaluna sebisa mungkin menahan air mata nya. Tiba-tiba menjadi anak yatim piatu dalam waktu satu bulan tentu saja terasa berat dijalani. Ketika anak seumurannya masih bersenang-senang dan bermain, Ia harus bekerja untuk kehidupannya, Ia tak bisa terus menerus bergantung pada uang pemberian panti karena pada akhirnya dirinya harus berusaha berpijak dengan kakinya sendiri.

“Ibu, Luna kangen,” lirih Kaluna.

Ia menutupi tubuhnya dengan selimut, berusaha untuk meredam tangisannya. Ini sudah tengah malam namun gadis kecil ini hanya bisa menangis meratapi nasibnya dan juga merindukan kedua orang tua nya. Kaluna tahu dirinya harus bisa lebih kuat karena hari esok akan lebih sulit dijalani. Namun apakah Kaluna bisa sekuat itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status