Share

Ketahuan

last update Last Updated: 2021-03-18 22:41:46

Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku.  

"Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati.

Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. 

Tidak lama menunggu,  satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim sekolahku terdiri dari 7 orang, 3 laki-laki dan 4 perempuan. 

Setelah semua datang dan formasi lengkap, Pak Nurman  kepala sekolah memberi prakata dan beberapa wejangan serta harapan, semoga kerjasama kami baik sebagai peserta tim maupun peserta individu, dapat membawa pulang gelar juara lomba matematika tingkat provinsi. Mobil yang akan mengantar kami sudah datang dan satu per satu dari kami mulai masuk ke dalam mobil. Mobilpun kini mulai berjalan perlahan meninggalkan area sekolahan.

Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam. Kami tiba sekitar pukul 12 siang dan langsung memasuki ruang lomba. Sesi yang pertama adalah lomba perseorangan. Aku mengikuti lomba perorangan dan tim. Untuk perorangan berlangsung sekitar satu setengah jam, sedang untuk tim baru akan diadakan sore nanti. 

Lomba demi lomba kami lalui. bersyukurlah, aku dan tim-ku berhasil meraih juara dua untuk masing-masing lomba. Sedikit kecewa karena gagal meraih juara pertama, namun Bu Santi memberi kami semangat, bahwa kami sudah berusaha dan, melakukan yang terbaik. Hanya beda poin sedikit saja. Yang penting kami sudah berusaha semaksimal mungkin.

Sebelum pulang, kami berkeliling ibukota sebentar. Teman-temanku berebut membelikan oleh-oleh ketika Pak Dwi, sopir sekolah membawa kami ke pusat perbelanjaan di daerah tersebut dan untungnya dekat dengan pusat oleh-oleh. Aku sendiri tidak membelikan apapun untuk kuberikan kepada ibu.  Hanya satu yang bisa membuat ibu tersenyum sumringah, apalagi kalau bukan cilot Bang Jamil. Nggak perlu oleh-oleh yang lain. 

Aku teringat dengan sosok Hira. Aku kembali berjalan menapakkan kakiku mencari sesuatu yang bisa kuberikan kepadanya. Aku memasuki toko aksesoris. Pandanganku terpaku pada ikat rambut berbahan  kain katun jepang bermotif bunga sakura yang sedang bermekaran. Sederhana namun berkelas. Aku membelinya dan meminta petugas untuk mengemasnya dengan kotak yang pada bagian penutupnya dibentuk sedemikin rupa hingga terlihat seperti box kualitas premium.

Tepat pukul 2 siang kami meninggalkan ibukota. Selama dua jam kami berjalan mengitari pusat perbelanjaan itu. Dua jam berikutnya mobil kami sudah kembali membelah jalan raya kembali ke kota asal kami. Aku mulai mengantuk. Kusandarkan kepalaku pada jendela mobil. Entah karena kantuk yang amat sangat atau lelah yang datang menyergap setelah menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dengan berjalan kaki.

Tidak terasa mobil yang membawa kami sudah kembali memasuki halaman sekolah. Tepat ketika  aku membuka mataku, mobil berhenti. Aku menggeliatkan tubuhku membuang sisa penat di pikiran dan tubuhku. Tubuhku sangat ingin direbahkan. Saat sedang berusaha membuang kantukku, samar kulihat mobil   ibu melintas memasuki gerbang sekolah. Kuperlebar mataku untuk meyakinkan, dan benar, itu Pak Hadi yang sedang keluar dari mobil. Aku bergegas berdiri dan berjalan ke arah Pak Hadi. Pak Hadi langsung mengambil tas ransel dari tanganku dan membuka pintu untukku. Aku memilih duduk di kursi belakang untuk melanjutkan tidurku yang tertunda. Mataku mulai terpejam seiring berjalannya mobil meninggalkan sekolahku.

Kembali aku terbangun dengan rasa kantuk yang masih menghinggapi kedua mataku. Pak Hadi menghentikan jalannya mobil, lalu membuka pintu penumpang tempatku duduk. Aku keluar dari mobil dengan agak sempoyongan. Mengucap salam dengan nada yang tidak jelas, aku terus melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah menuju kamarku. Aku ingin segera memeluk guling dan menciumi bantalku, membawaku ke alam mimpi yang tidak terjeda lagi seperti tadi. Sukses. Tidak sampai satu menit, sukma ku melayang ke alam mimpi, membuai ku melepas lelah yang 2 hari  ini hinggap di tubuhku. 

Samar kudengar pintu kamarku terbuka pelan. Mataku masih terpejam. Masih enggan untuk kembali melihat dunia. Namun indera pendengaranku sudah kembali sadar, terbukti berhasil menangkap suara pintu kamarku yang terbuka. 

"Satya... Bangun dulu yuk.. Mandi terus makan.. Nanti malah sakit," suara ibu terdengar  lembut sambil menepuk-nepuk pipiku pelan.

Aku perlahan membuka mataku, mencoba menyelaraskan kembali pandanganku. Ku renggangkan otot-otot badanku, termasuk otot kaki dan tanganku. Terdengar suara klek dari setiap sendiku yang membuat tubuhku agak terasa lebih ringan. Lima menit aku masih berada dalam posisi berbaring, kemudian aku bangun dari tidurku dan duduk di tepi tempat tidurku.

Aku beranjak mengambil handuk dan baju ganti, berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Aku kembali tersenyum dan mengucap terimakasih dalam hati pada ibu, karena sudah mempersiapkan bathup yang berisi air hangat untukku mandi. Berendam sebentar di dalam bathup yang sudah kutuangkan beberapa tetes aromatherapy beraroma lavender, membantu merelaksasi tubuhku. Sepuluh menit kemudian ku guyur tubuhku di bawah siraman shower. 

Kembali terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Kali ini aku sudah selesai. Mengenakan kaos oblong putih dan celana training hitam aku keluar dari kamarku menuju ke meja makan.

Kulihat Bik Sum sedang membawa satu mangkok sup hangat. Aku mengambil nasi dan beberapa potong tahu bacem, satu potong sayap ayam goreng dan satu sendok sambal bawang, sedangkan sup yang dibawa oleh Bik Sum sudah berada di samping kanan piringku. Aku mulai menyantap makan malamku sendiri karena ibiu sudah makan malam dari tadi. 

Aku menyelesaikan makan malamku dalam waktu 10 menit. Melihat toko bu ternyata masih buka, aku berjalan meninggalkan ruang makan menuju toko. Sesampai di toko aku kembali duduk di balik etalase, tempat favoritku bila menjaga toko ibu. Mengapa aku suka sekali duduk disitu? Karena aku bisa leluasa melihat siapa saja pembeli yang sedang bertransaksi, tanpa sepengetahuan mereka. 

Dan saat ini, aku kembali melihat gadis kecil imut manis tetanggaku. Ia berjalan bersama sang mama. Aku tersenyum sendiri. Beberapa hari kemarin, aku sempat melupakan dirinya karena disibukkan dengan berpuluh-puluh soal yang harus diselesaikan. 

Kini, aku kembali dapat menatapnya, dalam jarak dekat malah. 

"Mama, Hira ingin buku tulis bergambar," ujarnya sambil menunjuk ke arah etalase tempatku bersembunyi. Aku terkejut. Apakah ia tahu kalau aku sedang memandanginya dari balik etalase, gumamku heran. Aku semakin terkejut karena ia justru mendekatkan wajahnya ke arah etalase yang sama dengan ku, hingga posisi kami berada pada satu garis lurus.

Ia menyunggingkan senyum. Aku terkejut.

Ketahuankah bila aku mencuri pandang dirinya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 2 (End)

    Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 1

    "What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest

  • The Secret Admire's Love   The Truth

    Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?

  • The Secret Admire's Love   Tell Me The Truth

    Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b

  • The Secret Admire's Love   Here They Are

    Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa

  • The Secret Admire's Love   A Tough Decision

    Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb

  • The Secret Admire's Love   Deep Condolences

    Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan

  • The Secret Admire's Love   Sakit

    "Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal

  • The Secret Admire's Love   Menikungmu

    Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status