Share

Dari Jauh

Empat  hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita  Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira.

Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku  latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan.

Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah.

Aku saat ini sedang menjalani masa karantina sebelum lusa berangkat ke ibukota untuk mengikuti lomba matematika baik individu maupun tim. Dan hari ini adalah hari terakhirku. Ibu hanya membekaliku dengan doa semoga aku bisa mengikuti lomba dengan baik. Doa ibu adalah bekal yang terbaik dan pasti mujarab selain usaha yang sudah aku lakukan sebelum-sebelumnya. Menang atau kalah, itu urusan Yang Diatas.  

Aku dan tim terus digembleng dengan berpuluh-puluh soal-soal matematika dalam berbagai model pertanyaan dan ditarget harus bisa menyelesaikan soal dalam waktu kurang dari satu menit. 

Tepat pukul 15.00, masa karantina selesai, dan kami diperbolehkan pulang untuk beristirahat sehari di rumah. Beristirahat tanpa perlu membuka-buka buku dan mengerjakan soal-soal lagi. Istirahat total. Terserah kami ingin melakukan apa, yang terpenting tidak melakukan kegiatan ekstrem dan lebih kepada kegiatan yang menenangkan dan menyenangkan.    

Kukayuh sepedaku pelan. Melintasi jalan mulus menuju rumahku. Kunikmati semilir angin sore yang berhembus pelan menyejukkan, menghapus keringat dikeningku. Headset yang menempel di telingaku  memperdengarkan lagu oldies yang tidak lengkang tergerus jaman. 

Penjual cilot langgananku masih mangkal didepan sekolah Hira. Kubelokkan sepedaku tepat didepan gerobak Bang Jamil. Bang Jamil yang saat itu baru saja selesai melayani pembeli langsung menyapaku begitu melihatku.

"Lama nggak mampir, Den?" tanyanya ramah sambil mengambil plastik kemasan bakso untuk membungkus pesananku.

"Iya Bang, lagi sibuk. Biasa ya Bang, 10 ribuan satu aja sama 5 ribuan untuk ibu satu. Saos kacang satu, kuah bakso satu," ujarku detil. 

"Siap, Den!" jawab Bang Jamil langsung membungkuskan pesanan yang kusebutkan tadi.

"Ibu gimana kabarnya?" tanyanya sambil mengikat pesanan yang sudah jadi.

"Alhamdulillah baik, Bang. Ini juga titipan ibu. Ibu sih belum bisa tidur kalau belum makan cilotnya Bang Jamil," ucapku menggoda Bang Jamil. Bang Jamil tertawa senang. 

Aku tidak terlalu suka mengobrol dengan sembarang orang. Bukan juga seseorang yang sok akrab dengan orang yang baru kutemui atau orang yang baru kukenal. Akrabnya aku dengan sosok Bang Jamil karena ia pun sama sepertiku, tidak banyak bicara dan hanya bisa ngobrol atau cerita banyak dengan orang tertentu saja. 

Sepuluh menit kemudian pesananku selesai dan aku kembali mengayuh sepedaku pulang. Dan kali ini, kayuhanku kupercepat karena aku ingin segera menikmati cilot Bang Jamil.

Kalian pasti kenal kan dengan cilot atau cilok. Ada banyak sebutan untuk cilot. Ada yang menyebutnya dengan bakso kojek karena penyajiannya pakai tusuk sate atau bakso tetot karena yang jual membunyikan sebuah alat yang bila dipencet akan mengeluarkan suara tetot-tetot-tetot.

Nah, cilot yang dijual aBng Jamil ini komplit pilihan kuahnya. Tersedia saos kacang bumbu sate, kuah kaldu ala kuah bakso, dan saos sambal. Ketiganya pun punya rasa yang lain dari yang lain. Mantab pokoknya. 

Karena kayuhan sepeda kupercepat dalam sekejap aku sudah sampai di depan rumah dan segera aku membawa masuk sepedaku dan memarkirkan ditempat biasanya.

Kulihat ibu baru saja menutup toko. Kusapa dan kusalami tangan kanannya, lalu mengajaknya menikmati cilot yang baru saja kubeli, setelah  mencuci tangan dan kakiku lebih dulu. Ibu menatapku sumringah. Tuh kan, kalau sudah melihat cilot Bang Jamil, ibu pasti langsung mapan duduk di meja makan. Aku bergegas ke dapur mengambilkan mangkok untuk menaruh cilot dan dua sendok untuk menyantapnya.

"Satya, Hira hari ini pulang," ucap ibu sambil menikmati satu sendok cilot yang sudah dicampur dengan saus kacang.

"Hari ini? Katanya besok bu?" tanyaku menatap Ibu. 

"Hira minta pulang karena sudah tidak betah di rumah sakit. Pengen istirahat di rumah saja," terang ibu.

Aku mengangguk.

"Kamu tidak ingin menjenguk Hira di rumahnya?" tanya beliau menatapku.

"Nggak, Bu. Satya ingin tidur. Capek," sahutku pelan sambil terus menikmati cilot di mangkokku yang kini tinggal setengah. Aku merem melek menikmati saos kacang Bang Jamil. Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, lalu beranjak berdiri meninggalkan aku yang masih asyik mengunyah cilot Bang Jamil.

Aku memberikan mangkok-mangkok dan sendok kotor kepada Bik Sum yang sedang sibuk mencuci piring di dapur. Mulai merasa gerah, aku ingin segera membasuh badanku. Aku kemudian berjalan menuju kamarku untuk mengambil baju ganti lalu berjalan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. 

Samar aku mendengar langkah kaki di depan kamarku. Aku baru saja keluar dari kamar mandi.  Benar saja, terdengar suara ketukan di depan pintu kamarku

"Sat... Satya," kudengar suara ibu memanggil namaku.

Segera kubukakan pintu kamarku. Tampak olehku ibu sudah rapi dan sudah menenteng sesuatu di tangan kanannya.

"Ibu mau menengok Hira, kamu bisa antarkan Ibu?" tanya ibu meminta tolong.

Rasanya aku ingin segera merebahkan badanku, tapi karena permintaan datang dari perempuan yang sangat aku sayangi, tidak ada kata terucap melainkan anggukan mengabulkan permintaannya. 

"Ibu tunggu kamu di teras ya..." ujar ibu melangkah meninggalkan kamarku. Aku segera mengambil kaos t-shirt dengan model kerah V-neck berwarna merah maruh dan celana chino berwarna coklat muda. Aku menyisir rambut ku yang cepak dengan menggunakan jari-jari tanganku yang sebelumnya sudah kulumuri dengan pomade. 

Aku kemudian mengeluarkan motor metikku dan mulai men-starternya. Ibu bangun dari duduknya dan berjalan ke arahku. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampa di depan rumah Hira yang mewah. Ibu menekan bel rumah dua kali. Lalu tampak satpam rumah membukakan pintu gerbang rumah dan mengantarkan kami masuk ke dalam.

Dari arah teras terdengar suara imut Hira yang sedang asyik bercerita dengan mamanya. Ïbu mengucap salam dan tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah.

"Waalaikumsalam," terdengar suara bariton khas Om Gunawan. Lalu sosok tampan itu muncul di pintu rumah yang sudah terbuka dari tadi.

"Ada tamu kakak ganteng nih,Hira," ujar Om Gunawan menyambut kedatanganku dan ibu. Hira langsung beranjak dari sofa tempat ia tiduran sebelumnya.

"Halo, Tante.." sapanya sambil menyalimi tangan ibu. Aku yang berdiri dibelakang ibu hanya ia pandangi saja dengan senyum mengembang diwajahnya. 

Deg. Aku terpesona melihat senyum manisnya. Aku sejenak terpaku tanpa menghiraukan sekelilingku.

Menit berikutnya tatapanku berubah menjadi sendu. Teringat lusa aku akan berangkat ke ibukota mengikuti lomba selama tiga hari, yang artinya aku tidak akan bisa mengawasinya dari jauh seperti biasanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status