Kini, tinggallah aku, Erick dan Hira di kamar ini. Gadis itu masih tertidur efek dari obat bius yang di berikan Harun saat operasi tadi. Aku menatap ke arah matanya yang kini ditutupi perban. Hatiku miris. Tidak dapat kusembunyikan kesedihan dan kekesalanku.
"Rick, bagaimana keadaan Ivan?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah Hira.
"Sudah dilakukan operasi pengangkatan proyektil, Tuan. Kini, Ivan masih belum sadar." Erick menjawab sambil melihat jam tangannya.
"Seharusnya sekarang sudah sadar, Tuan," Erick meralat jawabannya tadi.
"Kau tengoklah, Ivan. Lihat seberapa parah lukanya. Minta dokter Erwin yang merawatnya hingga sembuh," titahku pada Erick.
"Baik, Tuan. Mengenai nona Hira..." tanya Erick terputus.
"Biar aku yang akan menyampaikan pada oom Gunawan. Sekarang, pergilah," usirku padanya. Erick menundukkan kepalanya mengundurkan diri dan segera pergi meninggalkan kamar Hira.
Tinggalah aku sendiri, menatap Hira
Hari ketiga di rumah sakit. Aku masih menunggu Hira di sini. Kemarin aku tidak bisa menemaninya. Hanya datang sebentar lalu pergi lagi dan baru datang dinihari ini tadi. Oom Gunawan dan Tante Ratih tampak lelah, karena Hira kembali histeris bila mengingat penglihatannya yang tidak lagi berfungsi. Lumrah, dan tidak bisa disalahkan. Kehilangan penglihatan secara mendadak.Aku duduk dengan memperhatikan wajah Hira yang tidak lagi pucat seperti tiga hari yang lalu. Cantik, gumamku pelan sambil membenarkan letak selimut Hira. Aku duduk di samping tempat tidur Hira.Hari ini, Harun akan mengadakan beberapa tes untuk melihat berapa besar kemungkinan mata Hira dapat kembali sembuh. Meskipun kemungkinan untuk sembuh itu hanya ada beberapa persen saja, aku akan menyuruh Harun untuk mencarikan dokter terbaik yang bisa menyembuhkan Hira.Sentuhan lembut di tanganku membuatku terjaga dari lelapku. Aku tanpa sadar membiarkan rohku menjelajah dunia lain karena k
Baru saja aku memasukkan satu suapan ke dalam mulutku, terdengar dering ponselku. Aku melihat nama pemanggil. Erick. "Halo," jawabku sambil berusaha menelan isi di dalam mulutku dengan sedikit tergesa. "Kalau tidak ada perubahan, hari ini pulang. Langsung saja ke kastil, lakukan semua persiapan. Mungkin Hira akan aku bawa kesana." Kumatikan ponsel itu, lalu kulanjutkan lagi makan siangku. Aku merasa Ibu terus mengawasiku. Beliau tampak tersenyum dalam sendu. Aku menghentikan suapanku, melangkah mendekat ke arahnya. "Ada apa,Bu?" Aku duduk bersimpuh di depannya. Dibelainya rambutku, sama seperti waktu aku kecil dulu, hal yang dilakukan Ibu bila tiba-tiba teringat Ayah. Aku tahu. Beliau sedang menangis dalam diam, sambil terus mengusap rambutku, berulang membenarkan letak rambutku. Aku hanya diam dan terus menikmati belaiannya. "Ayo cepat dihabiskan makannya. Nanti Hira kamu suapin juga." Titah Ibu menghentikan usapan di rambutku lal
Aku menatap buku-buku jari tangan dokter muda dihadapanku, yang saling terkait satu dengan yang lain. Aku memang sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk dari perkembangan penglihatan Hira. Namun, rasa kecewa tetap saja datang menghampiriku. Ingin rasanya membuang semua yang ada di depanku, tapi itupun tidak akan membawa perubahan pada Hira. "Tapi, Hira tetap bisa pulang hari ini kan?" tanyaku menatap laki-laki berkacamata di depanku. "Bisa, Tuan. Tapi kontrol dan pengawasan akan tetap saya lakukan dengan kunjungan setiap hari," jelasnya dengan nada penuh penekanan. "Karena saya ingin lebih cepat memperoleh kepastian pengobatan yang tepat untuk Nona Hira sebelum semuanya menjadi terlambat meski kemungkinannya hanya beberapa persen saja. Terkadang yang kecil persentasenya ini bisa mendatangkan keajaiban," sambungnya. "Lakukan yang terbaik dan secepat mungkin. Bila memerlukan sesuatu, katakan saja pada Erick." Aku bangkit dari dudukku dan beranjak
Ivan berjalan dengan tertatih ke arahku. Tak tega melihatnya, aku langsung berjalan cepat menyongsongnya dan mengajaknya duduk di kursi yang ada di depan kamar Hira. Di belakangnya tampak Rony berjalan menyusul. "Mengapa kamu perbolehkan pria ini turun dari kasurnya?" tanyaku pada Alex yang baru saja sampai di dekat kursi yang barusan kami duduki. "Ah, Ivan bandel, Tuan Muda. Terus saja mengoceh ingin bertemu dengan Tuan,"Lapor Alex yang di sambut kekehan sumbang Ivan. "Kau ini. Lukamu belum sembuh benar. Jadi, jangan suka bandel. Nanti aku suruh bayar sendiri tagihan rumah sakitmu." Ancamku. Ivan langsung terdiam. "Ada apa menyusulku kemari? Jangan katakan kalau kau sudah merindukan diriku." Ivan terbatuk tapi kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku ditelpon Beni tadi, katanya kau tidak akan kembali ke kastil gara-gara Mr. Smith membawa anak perempuannya. Aku hanya ingin minta ijin, boleh tidak aku menyelidiki modus perempuan itu
Aku berjalan keluar dari mobil sambil menggendong tubuh Hira yang masih terlelap. Madam Catty sudah menungguku di pintu masuk dengan beberapa asistennya, serta pak Dar penjaga gerbang. Mereka semua menyambut kedatanganku karena ini adalah kali pertama aku datang setelah satu bulan vila ini selesai dibangun. Selama ini, pak Dar dan istrinya yang menjaga dan merawat vila ini, sesekali aku menyuruh Beni untuk datang mengecek keadaan di sekitar vila. Madam Catty berjalan di depanku menuju kamar yang akan di tempati Hira, yang memiliki satu pintu yang menyambung langsung dengan kamarku. Aku membaringkan tubuh Hira dengan hati-hati agar gadis itu tidak terbangun, menyelimutinya dengan selimut tebal, karena daerah ini akan menjadi semakin dingin ketika malam semakin larut hingga subuh menjelang. Aku mematikan lampu utama, menggantikannya dengan lampu tidur yang terletak di meja kecil tepat disamping tempat tidur Hira. Aku menatapnya lekat sebelum meninggalkannya menuju ke kam
Aku melangkah masuk ke dalam kamarku dan membiarkan pintu penghubung kamarku dan Hira tetap terbuka. Baru saja aku membaringkan badanku di atas ranjang besarku, terdengar suara ketukan di pintu kamar. "Masuk". Pintu hitam itu terbuka pelan, lalu masuklah Erick. Ia berjalan mendekati ranjang tempatku berbaring. "Tuan, Mr. Smith ingin bertemu dengan anda". Aku menghela nafasku. Tampaknya aku harus segera bertemu sahabat mendiang ayah. "Oke, kita berangkat ke kastil setelah kedatangan Ibu, jadi Hira tidak akan sendirian di sini". Erick mengangguk dan berjalan keluar dari kamar. "Kakak..." terdengar panggilan Hira dari kamar sebelah. Aku bergegas bangun dari rebahanku menuju ke kamar sebelah. "Sudah selesai?" Aku berjalan mendekati Hira yang sedang berusaha merapikan rambutnya dengan sisir di tangan kanannya. Aku mengambil sisir itu dan menyisir ulang rambut Hira yang panjangnya sebahu. H
Mr. Smith diam di tempat duduknya. Aku sebenarnya tidak tega untuk berkata kasar kepadanya, bagaimanapun ia adalah sahabat ayah. Akan tetapi, aku benar-benar tidak bisa mentolerir keputusannya. Aku tidak suka orang melanggar privasiku kecuali dengan ijinku. Aku menghela nafasku. Tidak baik juga bila aku teruskan situasi ini. Aku memandang laki-laki paruh baya dihadapanku. Pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan tidak juga ia jawab. "Apakah Mr. Smith berusaha untuk menjodohkanku dengan Donna?" Pertanyaanku sontak membuatnya terkejut. Aku bisa menangkap ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan. "Salahkah pertanyaan, Satya?" Pria itu masih diam namun kali ini duduknya tak lagi tenang seperti sebelumnya. Tebakanku kelihatannya tidak seratus persen salah. Aku terus menunggu jawabannya. Hening. Suara detak jarum jam dinding terdengar jelas, karena malam semakin kelam dan angin malam semakin dingin menusuk kulit hingg tembus ke tulang "Satya
Beni mengambil kontak mobil yang tergeletak di atas meja kerjaku. Pada akhirnya aku memntanya untuk menjemput Ivan dari rumah sakit. Aku melangkah ke arah sofa besar yang ada di tengah ruangan, dan mulai membaringkan tubuhku yang seharian ini belum sempat kurebahkan.-0- Suara kicauan burung membangunkan ku dari tidurku yang singkat. Ya, akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuhku selama 4 jam. Waktu yang cukup untuk mengembalikan kekuatanku untuk melakukan pekerjaan hari ini, yang kurasa akan cukup menguras emosi dan pikiran. Belum tuntas permasalahanku dengan paman, kini bertambah Donna yang mulai menyita perhatianku.Aku bangun dari tidurku dan mulai merenggangkan otot-otot badanku, lalu beranjak ke kamar mandi melakukan ritual seperti biasa. Ketukan di pintu ruang kerja mengalihkan perhatianku. Aku berjalan lalu membuka pintu itu. Aku terkejut. Hira berdiri tepat di depanku. Bagaimana gadis itu tahu aku tidur di sini? Apakah semalam i