Dokter Harun mulai memasang infus di tangan kanan Donna, lalu ia menyuntikkan obat pereda nyeri sekaligus obat tidur sehingga dirinya bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Apakah aku boleh membawanya ke rumah sakit?" tanya Harun sambil mengecek tensi darah gadis itu.
"Tidak bisakah dirawat di sini saja?" tanyaku.
"Kalau di sini, aku tidak bisa memeriksanya dengan maksimal, peralatan yang kubawa sangat terbatas, apalagi tampaknya aku harus mengirim sampel darah dan urin nona ini ke laboratorium."
"Hasil pemeriksaan awalmu apa?"
"Aku belum begitu yakin hanya saja dugaan awalku, nona ini keracunan obat. Tapi, untuk lebih pastinya, aku harus membawa sampel darah dan urin ke laboratorium."
Aku belum memberikan jawaban atas permintaan Harun. Yang jelas, pengamanan akan menjadi lebih ketat mengingat Donna adalah saksi kunci yang memegang informasi penting yang aku perlukan. AKu harus berpik
Aku membatalkan niatan untuk merehatkan tubuhku setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Richard. Donna tidak sadarkan diri dan saat ini sedang berada dalam masa kritis. Aku langsung menghubungi Harun meminta penjelasan singkat mengenai kondisi Donna. "Betul, Sat. Tampaknya Nona ini sudah mengkonsumsi obat dalam dosis tinggi. Aku ingin kau mencari tahu seperti apa obat yang akhir-akhir ini dikonsumsinya. Secepatnya kau berikan padaku sehingga aku bisa mengambil tindakan pengobatan yang tepat untuknya." Aku kembali menghubungi Richard. "Has Beni reached there?" tanyaku ketika Richard mengangkat telponku. "Yes. Wanna talk with him?" "Yes, Let him talk to me. Its urgent." "Ok." "Halo, Sat..." Kini suara Richard sudah berganti dengan Beni. "Ambil alih penjagaan dan akan aku tambah personel di sini. Biarkan Richard dan Mr. Smith pulang ke kastil, aku akan menunggu mereka di sana. Begitu
Harun menggantungkan kalimatnya, menyebabkan diriku merasa was-was dan penasaran, sangat penasaran. Pria itu terus mengamati butiran-butiran kecil yang ada di telapak tangannya. Aku memperhatikan perubahan raut wajahnya. Tok. Tok. Tok. Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasiku. Harun segera memasukkan kembali pil-pil itu kembali ke botolnya dan segera memasukkannya ke dalam laci mejanya, sebelum memberi ijin masuk kepada si pengetuk pintu. "Sudah keluar hasil laboratoriumnya?" tanya Harun ketika seorang pria berpakaian khas petugas laboratorium masuk menyerahkan sebuah amplop berwarna hijau tua kepada Harun. Pria itu mengangguk sekaligus meminta ijin untuk pergi. Harun menerima amplop besar itu dan menganggukkan kepala memberi ijin pria itu untuk pergi meninggalkan ruangannya. Wajah Harun tiba-tiba gelap. Dahinya mengerut dalam. Aku semakin merana karena rasa penasaran yang tidak segera terjawab. "Kau ini! Cepat kataka
Suara Beni terdengar bersama dengan nafasnya yang tersengal. Aku bangkit dari dudukku dan mulai bersiap. "Tuan, mereka datang," ujar Beni. "Berapa orang?" tanyaku, berjalan meninggalkan meja kerjaku, setelah mematikan laptopku terlebih dahulu. "Sementara baru dua mobil, Tuan. Sedan hitam, serupa dengan yang Tuan miliki, tapi beda pabrikan," jelas Beni. "Dimana mereka?" tanyaku. "Mereka.." belum tuntas Beni menjawab pertanyaanku, terdengar teriakan menggelegar dari arah teras kastil-ku. "Keluar kau, Satyaaaa!!" panggil seseorang di luar sana. Aku mengerutkan dahiku. Siapa yang begitu berani main teriak di wilayahku. Aku berjalan dengan langkah lebar keluar dari ruanganku, diikuti Beni, Alex dan beberapa anak buah Beni. Tampak di luar, berdiri beberapa pria dengan memakai kaos hitam, berjalan hilir mudik, mondar mandiri, entah menunggu siapa. "Begitukah cara orang tuamu mendidikmu? M
Richard terhuyung ke kanan menerima tamparan kerasku di pipi kirinya. Aku terengah. Meredakan amarah Richard tak semudah yang aku kira. Tubuhnya yang tinggi besar, membuatku menguras tenaga yang tidak sedikit. Pria itu jatuh terduduk, mengusap darah yang keluar di sudut kiri bibirnya, nafasnya sama sepertiku, terengah-engah. Pertarungan antara Beni, Andrew dan yang lainnya masih berlangsung sengit. Lelaki separuh baya, saudara sepupu ayah, yang aku sendiri lupa namanya, karena sangat jarang berinteraksi, berusaha bangkit. Mengharapkan bantuan dari anak buahnya, namun tidak seorangpun datang karena masing-masing sedang berkonsentrasi mengalahkan lawannya. "Hendak kemana, Oom?" tanyaku sarkas, sambil terus berusaha mengingat nama pria di hadapanku. "Butuh bantuan Satya?" Pria itu mencelos dengan tatapan marahnya. Aku mengedikkan bahuku. Aku menatap ke arah Beni yang masih terlibat pertarungan sengit dengan Si Hidung B
Ivan menatap tajam ke arahku. "What?" tanyaku tidak paham dengan arti tatapannya yang mendadak tajam. "Kau tidak dengar protesan cacing-cacing pita dalam perutku ini?" Ivan menunjuk telunjuk kanannya ke arah perut rampingnya. "Oh, kau lapar, bilang yang jelas tidak usah pakai isyarat." Aku melenggang santai di depannya, berjalan meninggalkan kamar itu menuju dapur. Ivan menggeram kesal dengan jawabanku tapi tetap mengikutiku dari belakang. Richard masih di posisi duduknya di atas kasur. Melihat perdebatanku dengan Ivan, sedikit mengurangi ketegangan di wajahnya, namun raut sedih masih membayang di sana. Aku menolehkan kepalaku ke belakang ketika tidak ku dengar lagi langkah Ivan di belakangku. Aku memutar tubuhku, berbalik ke kamar Richard. Ku intip mereka dari luar, ternyata Ivan sedang berusaha mengajak Richard untuk makan malam. Richard tampak tidak bersemangat mengikuti Ivan. Aku melanjutkan langkahku ke dapur, meminta di
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan