Share

The Secret
The Secret
Penulis: Wintersnow

1. Gue bilang juga apa!

"Jadi gimana dong?" tanyaku sambil menggigit donat buatan Dinar yang sialnya, masih terasa enak di keadaan genting seperti ini.

Dinar menghisap rokok filternya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap rokok ke depan wajahku.

Aku terbatuk-batuk karenanya. "Duh, sialan lo! Kalo gue kena kanker gimana?" 

"Ya, ke rumah sakit. Duh, capek ya gue harus berkali-kali ngasih tahu lo hal yang sama. Apapun yang terjadi, kumpul kebo tuh cuma bakal ngerugiin pihak cewek!"

"Buset! Kohabitasi, Din. Ko-ha-bi-ta-si,"

"Bodo amat! Rasain tuh akibatnya! Ditinggal 'kan lo sama si Gilang?"

"Tapi, biasanya dia enggak kayak gini. Kita sering berantem tapi dia selalu balik lagi,"

"Berarti dia udah bosen sama elu!"

"Dinar! Brengsek lo!"

"Emang gue brengsek! Cuma gue kagak pernah mau diajak kumpul kebo sama cowok! Karena gue enggak sebucin elu!" Katanya sambil memamerkan cincin emas di jari manisnya.

"Gue juga pengen nikah, setan! Masih belum nemu moment yang pas aja. Cicilan apartemen sama mobil masih belum lunas. Udah gitu perusahaan Gilang juga masih struggling,"

"Yaudah, nikmatin aja pilihan lo. Mana apartemen itu masih pake nama Gilang 'kan? Kalo diputusin, auto jadi gembel deh,"

 

Aku mencebik tapi tak bisa membalas karena ucapannya benar.

Kupikir rasa cinta Gilang takkan hilang seperti yang selalu dijanjikannya.

Sekeras dan seberat apapun situasinya, dia selalu kembali dalam pelukanku.

Duh, Gilang kamu dimana sih?

Mungkin Dinar melihat sesuatu di wajahku. Karena tiba-tiba, ia menuangkan wiski ke gelasku. "Dari dulu, gue enggak setuju kalo elu sama Gilang. Semenjak kuliah, dia kayak misterius gitu dan enggak pernah punya temen deket juga,"

Aku menenggak isi gelasku sampai tandas. Membiarkan cairan pahit itu membasahi tenggorokanku. Mengambil alih sedikit kesadaranku, "Dia 'kan anak rantau. Jadi, pasti masih belum bisa adaptasi,"

Baik Dinar dan suaminya memang satu almamater dengan Gilang dan aku. Hanya saja, kami berbeda jurusan. 

Aku bertemu dengan Gilang saat acara pernikahan teman suami Dinar. Kuakui, aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Kami bertukar nomor saat itu dan akulah yang pertama kali mengajaknya berkencan.

"Lu masih ngebelain dia?"

"Gue udah enam tahun tinggal bareng dia. Udah hapal segala kebiasaan, sifat, sampe luar dalemnya udah gue khatamin,"

"Dil, gue tahu elu kecewa. Tapi sebagai temen sekaligus rekan kerja, gue enggak mau lo terus-terusan sedih kek gini,"

Pintu apartemen terbuka dan Haidar Kusnohardjo, suami Dinar, masuk dengan membawa kantung plastik berisi belanjaan sambil bersenandung.

Ia datang untuk mencium istrinya lalu mengambil sepotong donat dari piring. 

Gerakannya terhenti saat melihatku. Matanya membulat seolah-olah ia baru sadar akan keberadaanku, "Oi, Dil. Udah lama?"

"Mayan," kataku sambil menuang wiski ke gelasku lagi.

"Wah, ada apa nih? Masih sore gini kok udah berani minum?"

Dinar menyikut lengan suaminya dengan kasar, "Udahlah. Biarin aja,"

Tapi Haidar tetap saja terus menggangguku dengan pertanyaannya, "Bukannya lo udah berhenti minu--, Ah, kalian  berantem lagi, ya? Atau Gilang minggat lagi?"

"Sayang, jangan gitu. Tadi, dia udah nangis sampe guling-guling di lantai,"

"Kenapa lagi nih sekarang? Rebutan remote ac?"

Aku hampir saja tertawa karena kami memang pernah meributkan hal ini. Gilang tak pernah betah dengan hawa panas sehingga ia selalu menyetel ac dengan suhu dibawah 20 derajat. Aku sih santai saja. Tapi, ketika melihat tagihan listrik yang membengkak, aku murka.

Baik Gilang dan aku, sama-sama memiliki penghasilan sebesar tujuh digit angka setiap bulannya.

Tetapi sebagai 'menteri keuangan' sebisa mungkin aku mengurangi setiap pengeluaran karena tanggungan cicilan yang menumpuk

Gilang biasanya 'ngambek' lalu memilih mengungsi ke perusahaan yang baru dirintisnya selama dua tahun belakangan ini. Tapi, keesokan harinya dia masuk ke dalam rumah seolah tak terjadi apa-apa.

Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mataku. Mungkin alkohol membuat perasaanku lebih emosional dari biasanya.

"Eh sorry, Dil. Gue enggak bermaksud bikin elu sedih. Gilang juga gitu. Sukanya ngabur mulu," Haidar menyerahkan sekotak tisu ke arahku.

Aku menggeleng sambil menghapus air mataku. "Enggak, gue aja yang lebai,"

Dinar dan Haidar saling melempar pandang seolah sedang mengirim sinyal telepati.

"Dil, sebenernya gue tahu si Gilang kemana," kata Haidar memecakan kesunyian yang canggung ini.

"Hah?"

"Waktu itu gue sama Dinar jemput temen di bandara. Terus gue ketemu Gilang lagi ngecek tiketnya di boarding pass. Kayaknya dia balik ke Malang,"

Kepalaku serasa berputar. 

Malang? 

Gilang pulang kesana?

Seingatku, ia pernah bercerita bahwa sejak zaman kuliah dulu, ia tak pernah pulang ke rumah. Bahkan saat wisuda pun, ia tak membawa kedua orang tuanya.

Kalau kuingat lagi, Gilang memang jarang menceritakan soal orang tuanya padaku. Kupikir Gilang juga seperti aku yaitu anak yang membenci orang tuanya.

Jadi, aku sama sekali tak menyalahkan atau mencoba mengorek informasi.

Yang kubutuhkan adalah Gilang. Bukan orang tuanya.

Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Apakah ada anggota keluarganya yang sakit? 

Atau mungkinkah, mungkinkah dia melarikan diri?

Ini sudah hari keempat semenjak dia menghilang dan ponselnya selalu tidak aktif.

Padahal pertengkaran kami sebelumnya bukanlah hal yang besar.

 Aku tidak menyetujui tentang rencananya untuk mengadopsi anjing. Dia berjanji akan merawatnya dengan baik. Tapi apartemen tempat kami tinggal melarang adanya hewan peliharaan.

Gilang sampai menyarankan untuk menjual apartemen yang belum lunas itu hanya karena seekor anjing.

Sebenarnya, aku juga menyukai hewan berkaki empat tersebut.

Tapi di Jakarta ini, mencari apartemen dengan harga murah dan lokasi strategis seperti yang kami tinggali ini cukup sulit.

Gilang saat itu tidak mengatakan apapun. Ia hanya melihatku sebentar lalu pergi tanpa pamit. 

Aku sudah membongkar isi kamar maupun lemarinya baik di rumah maupun di kantor.

Hasilnya nihil. Ponselnya sudah tidak aktif sejak itu.

Kemudian sebuah ide melintas di kepalaku. Aku mengambil ponselku dan mulai login ke email Gilang. Tanganku menyentuh kata 'Find my phone' dan benar saja.

Titik merah itu berkedip dan menujukkan sebuah lokasi di kota Malang.

Kenapa cara sederhana ini sama sekali tidak terlintas d otakku?

"Dil, sori ya. Bukannya gue enggak mau ngasih tahu. Tapi, gue rasa Gilang bukan cowok yang pantes buat elu,"

"Iya, gue tahu. Sayangnya, gue udah enggak bisa kalo enggak sama Gilang,"

"Dih, dasar bucin! Kalo lo nanti nyesel, jangan dateng kesini lagi, deh," sergah Dinar sambil menghisap rokoknya lagi.

 Aku tersenyum sebelum bangkit dari kursiku, "Thanks ya Din, Haidar juga. Gue balik dulu deh,"

"Gue anter, Dil," tawar Dinar sambil mengulurkan tangan untuk meminta kunci mobilku, "Gue nginep sekalian. Besok kita berangkat kerja bareng,"

"Iya, Dil. Lu juga udah mabok ini," tambah Haidar.

Tapi aku menggeleng.

Aku yakin masih bisa berjalan lurus. Seluruh panca inderaku malah bisa dibilang dalam keadaan waspada.

Saat hampir mencapai pintu, aku menoleh ke belakang mendapati raut wajah kedua sahabatku yang khawatir, "Din, gue mau ambil cuti!"

Dinar mengetuk-ngetuk ujung puntung rokoknya ke dalam asbak. Ia tidak tampak terkejut, "Udah gue tebak bakal kayak gini jadinya. Seminggu ya, Dil. Lewat dari itu, gue pecat!"

Aku terkekeh dan memberi hormat padanya, "Siap, Bos!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status