"Jadi gimana dong?" tanyaku sambil menggigit donat buatan Dinar yang sialnya, masih terasa enak di keadaan genting seperti ini.Dinar menghisap rokok filternya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap rokok ke depan wajahku.Aku terbatuk-batuk karenanya. "Duh, sialan lo! Kalo gue kena kanker gimana?""Ya, ke rumah sakit. Duh, capek ya gue harus berkali-kali ngasih tahu lo hal yang sama. Apapun yang terjadi, kumpul kebo tuh cuma bakal ngerugiin pihak cewek!""Buset! Kohabitasi, Din. Ko-ha-bi-ta-si,""Bodo amat! Rasain tuh akibatnya! Ditinggal 'kan lo sama si Gilang?""Tapi, biasanya dia enggak kayak gini. Kita sering berantem tapi dia selalu balik lagi,""Berarti dia udah bosen sama elu!""Dinar! Brengsek lo!""Emang gue brengsek! Cuma gue kagak pernah mau diajak kumpul kebo sama cowok! Karena gue enggak sebucin elu!" Katanya sambil memamerkan cincin emas di jari manisnya."Gue juga pengen nikah, setan! Masih belum nemu
Penerbangan dari Jakarta ke Malang terasa seperti mimpi. Hanya sembilan puluh menit. Tidak sampai dua jam.Aku begitu percaya diri akan kemampuanku untuk 'merayu' Gilang sehingga aku hanya membawa sebuah ransel kecil berisi satu pasang baju ganti, dompet dan ponsel.Ini pertama kalinya aku pergi ke kota ini. Bandara Abdurahman Saleh tidak sebesar yang kukira.Saat aku keluar dari sana, seorang laki-laki paruh baya berseragam biru menyapaku dengan bahasa Indonesia yang medok, "Taksinya, Mbak?""Pak, tahu alamat ini enggak?" Tanyaku sambil menunjukan tempat keberadaan Gilang.Lelaki itu menggaruk kepalanya sebelum berkata, "Adoh e, Mbak," mungkin ia melihat wajah kebingungan dariku sehingga ia buru-buru menambahkan, "Maksud saya, ini lokasinya jauh, Mbak. Sekitar dua jam dari sini,""Dua jam?""Jalannya juga lumayan jelek. Mbaknya ini dari stasiun tivi, ya?"Aku menggeleng, "Saya mau nyari orang, Pak."Jawaban itu me
Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga. Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga. Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku. Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu. Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab. Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun. "Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut. Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok. Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak
Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja."Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku."Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang.""Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini c
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal