Menurut cerita Murni, Gilang adalah anak yang pendiam dan cukup pintar.
Terlepas dari pengabaian teman-temannya, dia memang hanya berbicara seperlunya. Daripada bermain-maian, ia lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam buku bacaannya di perpustakaan.
Bahkan para guru juga memilih untuk tidak berurusan dengannya.
Pernah suatu ketika Gilang terlambat masuk sekolah, biasanya anak-anak yang terlambat akan dihukum lari keliling lapangan.Tapi peraturan sekolah itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Entah karena sifat abai atau karena orang tua Gilang memberi sumbangan yang besar untuk pengembangan sekolah.
Hal ini mengundang rasa iri dari teman-temannya. Namun, mereka lebih memilih untuk diam serta menyimpan perasaan itu dalam-dalam.
"Bukankah itu tidak adil? Bukan keinginan Gilang untuk lahir menjadi Rahardjodiningrat, 'kan?Dia seharusmya diperlakukan biasa saja. Tid
Aku iri pada Murni yang masih bisa mengantuk di situasi seperti ini. Tono merangkul Murni,yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut, sesekali perempuan itu menguap lebar. Bu Minah duduk di seberang kedua orang itu. Sedangkan Mbah Garong dan aku mengambil tempat duduk paling jauh. Tapi percuma saja, suaranya lantang sekali hingga aku yakin bahwa anak-anak muda dalam kamar itu bisa mendengarnya. Kami sedang berada di ruang makan lagi. Aku sampai bisa menghapal titik noda di tembok ruangan ini. "Aku tanya sekali lagi. Apa yang kau lakukan pada makhluk itu? Tidak mungkin ia bisa sampai menunjukkan seribu wajahnya kalau bukan karena merasa terdesak." "Mana aku tahu. Aku sudah menjelaskan kronologinya dengan jelas. Terserah kau akan mempercayainya atau tidak." Sahutku pura-pura sebal. Aku memang menceritakannya nyaris secara keseluruhan. Hal yang tidak kuceritakan hanyal
"Dila, kamu enggak bangun? Sekarang udah jam enam." Mataku langsung terbuka lebar begitu mendengarnya.Dan benar saja, pemilik suara itu adalah Gilang yang sedang memelukku. Wajahnya kelihatan segar dan kaos lengan pendek warna hitamnya nampak kusut."Morning, Princess." Sapanya sambil mengecup puncak kepalaku. "Mimpi buruk lagi? Semalaman kamu gelisah sekali.""Apa?!" Teriakku spontan sambil duduk di atas ranjang. Kulemparkan pandangan ke segala arah dan mendapati bahwa kami ada di dalam kamar di apartemen.Ruangan berukuran dua belas meter persegi ini secara khusus hanya berisi ranjang, sebuah AC, dan dua lemari sedang berisi baju-baju kami.Itu saja.Tak ada televisi, komputer, bingkai foto atau apapun. Kedua ponsel kami yang sedang dalam posisi charging, tergeletak begitu saja di atas lantai.Lampu bohlam putih yang t
Suasana begitu lengang ketika aku menyelinap ke dalam mobil milik anak-anak muda itu. Begitu aku menginjak gas, mobil Jeep putih itu berjalan dengan lancar.Segalanya begitu lancar seolah semesta memang merestui rencana ini.Aku menoleh ke arah spion dan sepertinya tak ada yang menyadari bahwa aku sedang mencuri.. ralat, maksudku, meminjamnya sampai siang ini.Mimpi itu membuatku gelisah. Mungkin saja, Gilang memang membutuhkanku.Dari awal, aku sudah tak berencana pulang tanpa membawa Gilang. Sifat sentimental-ku saja yang berlebihan dan mengacaukan semua rencanaku.Mataku sesekali melirik ke layar ponsel. Untungnya, peta dari aplikasi ini bisa diakses meski aku sedang tidak berada dalam jaringan. Tentu saja tujuannya adalah posisi ponsel Gilang.Tinggal tiga kilometer lagi.Aku kembali memfokuskan diri ke jalan satu arah yang berbatu ini. Kali in
Keringatku yang sebesar biji jagung membasahi dahi. Memang dasar bodoh. Harusnya aku pergi saja. Tapi, sebagian dari diriku mendorong untuk terus maju karena keberadaanku sepertinya semakin dekat dengan Gilang. Rumah di hadapanku sama persis dengan yang ada di dalam mimpi. Bergaya Belanda kuno dengan cat kuning yang mengelupas. Beserta dengan taman aneka bunga. Sekali lagi, firasatku mengatakan bahwa ini bukan hal yang bagus. Tapi, firasat tidak cocok untuk orang sepertiku. Kembali kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Memastikan bahwa tidak ada hamparan mayat-mayat di halaman. "Farah." Kali ini suara wanita itu terdengar tegas. Perlu beberapa detik sampai aku menyadari bahwa ia sedang memanggilku. "Ah, ya?" "Kamu tunggu sebentar di sini, ya." Ucapannya nyaris terdengar seperti perintah. Bukan permintaan.
Sudah ke-lima kalinya aku membaca pesan singkat dari Gilang. Memastikan bahwa pesan itu tetap sama. Memang tak ada satu huruf pun yang berubah.Hanya saja, perasaanku semakin tak karuan setiap kali selesai membacanya. Lalu apa yang harus kulakukan?Gilang hanya memiliki satu ponsel yang tak pernah sedetikpun lepas dari tangannya kecuali saat tidur atau mandi. Dan sekarang ponsel itu berada dalam genggamanku.Aku menelan ludah dan mulai menggeledah isi ponselnya untuk mencari petunjuk. Tapi nihil.Hanya ada beberapa pesan dari karyawannya juga panggilan tak terjawab dariku. Kepalaku pening secara mendadak. Semua hal ini begitu menyiksaku.Jangan ditanya apa saja yang memenuhi otakku. Kebanyakan merupakan perkara yang tak kumiliki solusinya.Aku melemparkan pandangan ke segala arah dan mulai merasa kehilangan rasa sabar saat perempuan yang mengaku sebagai Ibu Gi
"Emang dasar elu itu tukang pembawa sial!" Suara teriakan itu menyambutku begitu kubuka mata. Sebuah piring plastik bewarna putih melayang dan mengenai kepala seorang gadis kecil yang duduk memeluk lutut. Wajahnya memerah karena berusaha menahan tangis. "Oh, sial." Sahutku melihat sosok yang kukenali dengan baik yaitu diriku di masa lampau. Aku selalu menganggap gadis kecil itu sudah mati jauh-jauh hari. Tapi tetap saja ia datang menghantuiku seolah menolak untuk kulupakan. Ayahku, laki-laki yang sepatutnya menjadi cinta pertama untuk anak perempuannya, melemparkan piring ketiga ke arahku. Maksudku, gadis kecil itu. Ia tak berusaha mengelak dan membiarkan piring itu menampar keras kepalanya. "Enggak ada makanan buat elu malam ini!" Serunya sebelum meludah dan membanting pintu saat keluar dari kamar ini. Bahkan sampai saat ini, tubuhku
"Mama, Rebecca sama sekali enggak ada pernah melukai Delilah." Kilahnya sambil bergelayut manja di lengan milik wanita paruh baya yang kuduga adalah ibunya. Wanita itu memiliki wajah angkuh yang mirip dengan anak semata wayangnya itu. Saat itu aku merasa sedikit iri dengan interaksi mereka. Apalagi ketika Ibu Rebecca terus mengelus kepala anaknya dengan lembut sambil memasang wajah ketus ke arahku. Bu Hafni kembali masuk ruangan dengan wajah sedikit panik setelah ia menelpon rumahku untuk ketiga kalinya. Ia sepertinya was-was karena Ibu tak kunjung datang. Kami berada di ruang rapat. Ada empat kursi sofa panjang berwarna cokelat tua dalam ruangan bercat putih ini. Sebuah meja kaca berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan. Membatasi kami yang duduk berhadapan. Aku menundukkan kepala dan menatap ubin putih di lantai. Pandangan Ibu Rebecca membuatku tidak nyaman. Seolah m
Keesokan harinya, aku tak melihat Rebecca lagi. Bahkan sampai saat ini, kabarnya tak pernah sampai di telingaku.Di lain pihak, rumor mengenai aku yang membuat Rebecca pindah sekolah mengantarkanku pada puncak hierarki di sekolah. Dalam semalam, aku mendadak disegani. Atau mungkin ditakuti.Yang jelas, hari-hari di sekolah terasa ringan.Tidak ada lagi yang merundungku.Tidak ada lagi kejahilan-kejahilan kecil.Tidak ada lagi yang berani membuat kontak mata denganku.Apalagi semenjak rapat itu, Bu Nahfi jadi semakin lunak padaku. Bahkan ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah atau terlambat masuk sekolah, ia memberikan banyak kelonggaran.Hal ini membuat rumor yang beredar semakin parah. Sampai-sampai mereka menyimpulkan bahwa siapapun yang kubenci akan menghilang dari dunia ini. Berkat rumor itu aku jugatak pernah mendapat undangan reuni