Keringatku yang sebesar biji jagung membasahi dahi. Memang dasar bodoh. Harusnya aku pergi saja.
Tapi, sebagian dari diriku mendorong untuk terus maju karena keberadaanku sepertinya semakin dekat dengan Gilang.
Rumah di hadapanku sama persis dengan yang ada di dalam mimpi.
Bergaya Belanda kuno dengan cat kuning yang mengelupas. Beserta dengan taman aneka bunga.Sekali lagi, firasatku mengatakan bahwa ini bukan hal yang bagus. Tapi, firasat tidak cocok untuk orang sepertiku.
Kembali kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Memastikan bahwa tidak ada hamparan mayat-mayat di halaman.
"Farah." Kali ini suara wanita itu terdengar tegas.
Perlu beberapa detik sampai aku menyadari bahwa ia sedang memanggilku.
"Ah, ya?"
"Kamu tunggu sebentar di sini, ya." Ucapannya nyaris terdengar seperti perintah. Bukan permintaan.
Sudah ke-lima kalinya aku membaca pesan singkat dari Gilang. Memastikan bahwa pesan itu tetap sama. Memang tak ada satu huruf pun yang berubah.Hanya saja, perasaanku semakin tak karuan setiap kali selesai membacanya. Lalu apa yang harus kulakukan?Gilang hanya memiliki satu ponsel yang tak pernah sedetikpun lepas dari tangannya kecuali saat tidur atau mandi. Dan sekarang ponsel itu berada dalam genggamanku.Aku menelan ludah dan mulai menggeledah isi ponselnya untuk mencari petunjuk. Tapi nihil.Hanya ada beberapa pesan dari karyawannya juga panggilan tak terjawab dariku. Kepalaku pening secara mendadak. Semua hal ini begitu menyiksaku.Jangan ditanya apa saja yang memenuhi otakku. Kebanyakan merupakan perkara yang tak kumiliki solusinya.Aku melemparkan pandangan ke segala arah dan mulai merasa kehilangan rasa sabar saat perempuan yang mengaku sebagai Ibu Gi
"Emang dasar elu itu tukang pembawa sial!" Suara teriakan itu menyambutku begitu kubuka mata. Sebuah piring plastik bewarna putih melayang dan mengenai kepala seorang gadis kecil yang duduk memeluk lutut. Wajahnya memerah karena berusaha menahan tangis. "Oh, sial." Sahutku melihat sosok yang kukenali dengan baik yaitu diriku di masa lampau. Aku selalu menganggap gadis kecil itu sudah mati jauh-jauh hari. Tapi tetap saja ia datang menghantuiku seolah menolak untuk kulupakan. Ayahku, laki-laki yang sepatutnya menjadi cinta pertama untuk anak perempuannya, melemparkan piring ketiga ke arahku. Maksudku, gadis kecil itu. Ia tak berusaha mengelak dan membiarkan piring itu menampar keras kepalanya. "Enggak ada makanan buat elu malam ini!" Serunya sebelum meludah dan membanting pintu saat keluar dari kamar ini. Bahkan sampai saat ini, tubuhku
"Mama, Rebecca sama sekali enggak ada pernah melukai Delilah." Kilahnya sambil bergelayut manja di lengan milik wanita paruh baya yang kuduga adalah ibunya. Wanita itu memiliki wajah angkuh yang mirip dengan anak semata wayangnya itu. Saat itu aku merasa sedikit iri dengan interaksi mereka. Apalagi ketika Ibu Rebecca terus mengelus kepala anaknya dengan lembut sambil memasang wajah ketus ke arahku. Bu Hafni kembali masuk ruangan dengan wajah sedikit panik setelah ia menelpon rumahku untuk ketiga kalinya. Ia sepertinya was-was karena Ibu tak kunjung datang. Kami berada di ruang rapat. Ada empat kursi sofa panjang berwarna cokelat tua dalam ruangan bercat putih ini. Sebuah meja kaca berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan. Membatasi kami yang duduk berhadapan. Aku menundukkan kepala dan menatap ubin putih di lantai. Pandangan Ibu Rebecca membuatku tidak nyaman. Seolah m
Keesokan harinya, aku tak melihat Rebecca lagi. Bahkan sampai saat ini, kabarnya tak pernah sampai di telingaku.Di lain pihak, rumor mengenai aku yang membuat Rebecca pindah sekolah mengantarkanku pada puncak hierarki di sekolah. Dalam semalam, aku mendadak disegani. Atau mungkin ditakuti.Yang jelas, hari-hari di sekolah terasa ringan.Tidak ada lagi yang merundungku.Tidak ada lagi kejahilan-kejahilan kecil.Tidak ada lagi yang berani membuat kontak mata denganku.Apalagi semenjak rapat itu, Bu Nahfi jadi semakin lunak padaku. Bahkan ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah atau terlambat masuk sekolah, ia memberikan banyak kelonggaran.Hal ini membuat rumor yang beredar semakin parah. Sampai-sampai mereka menyimpulkan bahwa siapapun yang kubenci akan menghilang dari dunia ini. Berkat rumor itu aku jugatak pernah mendapat undangan reuni
"Kejedot lagi?" Tanya Andra ketika melihat lebam di lipatan lenganku. Aku mengangguk dan terus mengerjakan essay. Andra menggeleng lemah, suara decakan lidahnya lolos dari mulutnya. Seragamku di sekolah sudah bukan lengan panjang lagi. Tapi tetap saja Ayah berulah lagi. Saat itu kadang ia pulang dalam keadaan sadar dan memukuliku seperti samsak. "Ayo nanti ke rumahku." Aku mengalihkan pandangan dari buku tugasku ke arah manik mata cokelatnya, "Apa?" "Tugas geografi 'kan dikerjakan secara berkelompok. Di rumahku saja." "Aku saja yang mengerjakan." Seumur-umur aku belum pernah diajak kerja kelompok, ini hal yang baru untukku. Sayangnya waktu itu aku hanya berpikir bahwa ini merepotkan daripada menyenangkan. "Sudahlah ikut saja. Rumahku deket sekolah sini kok. Nanti kubelikan seblak." Perutku berbunyi pelan. Seblak kedengarannya enak. Langsung
Aku merasa sudah melewati koridor yang sama selama belasan kali. Dan di sinilah aku. Di depan pintu kamar sebelumnya.Nafasku terengah-engah meski mataku terus nyalang mencoba jalan lain yang kemungkinannya tetap sama."Sial!" Umpatku. Harusnya aku keluar selagi bisa. Lalu kucium wangi aroma dupa yang kuat dari pintu di seberangku. Ada sesuatu yang magis, menarik diriku untuk mendekatinya. Aku sudah berusaha untuk tidak mendekatinya, maksudku, ini 'kan bukan rumahku.Tujuanku adalah keluar dari tempat sialan ini. Tapi tahu-tahu, aku menemukan diriku di depan pintu dan mendorongnya. Kamar itu gelap. Refleks, tanganku meraba dinding, mencari saklar lalu menekannya. Tempat itu memiliki perabotan dan dan tata letak yang sama dengan kamarku."Astaga!" Satu-satunya perbedaan adalah seorang wanita yang tergantung di langit-langit dengan tal
Lorong koridor di bangunan ini membuatku pusing. Berbeda dengan rumah yang sebelumnya, tempat ini lebih kecil dan tidak banyak ruangan di sini.Anggota sekte itu tidak mengejarku atau lebih tepatnya, belum. Karena aku tak mendengar suara apapun dari belakangku."Sebelah.. kiri." Suara parau Gilang nyaris mengagetkanku. Ia masih berada di atas punggungku. Kedua tangannya terkulai lemah di pundakku. Sama sekali tak kusangka akan ada hal semacam ini dalam hubungan kami."Kamu sudah sadar?" tanyaku setengah berteriak."Kiri." Katanya sebelum kesadarannya menghilang.Aku mengangguk sebelum berlari ke arah yang ditunjuk Gilang. Tapi, ini jalan buntu.Ada satu pintu di sebelah kiri dan tidak terkunci ketika aku membukanya. Sayup-sayup terdengar suara berisik dari belakang.Celaka, sepertinya mereka sudah dekat. Tak ada pilihan lain dan aku terpaksa masuk
Aku merasa seperti seorang pendekar. Sialan. Bagaimana bisa aku terjebak dalam hal seperti ini? Kugendong Gilang di belakang punggungku. Tubuhnya lunglai jadi aku berusaha untuk memeganginya dengan satu tangan. Sementara tanganku yang lain memegang pedang. Aku tidak tahu teknik menggunakannya dengan benar. Tapi asalkan dapat melukai mereka, kurasa itu lebih dari cukup. Semua ini demi bertahan hidup, itu kilahku saat ini. Sekaligus untuk memompa keberanian kalau-kalau mereka menyerangku. "Oke." kataku sambil membuka pintu dengan kaki kananku setelah itu aku mulai berlari menuju pintu keluar. "Kak! Itu dia orangnya!" Seeseorang bertudung hitam menunjukku. Dia sendirian saat di persimpangan. Aku harus membungkamnya sebelum teman-temannya datang. Kuayunkan pedang itu ke arah wajahnya, tapi dia cukup cepat menghindar dan berla