LOGINSore hari, Adrian kembali ke markas the serpent's coil setelah menyimpan uang Sienna di apartemennya. Di sana jauh lebih aman dan tidak akan ada yang mencuri lagi.
"Lucas, ayo kita makan di luar!" ajak Sienna, tanpa embel-embel paman lagi. Adrian pun mengangguk. "Um, aku tidak suka memanggil mu paman. Tidak papa jika aku hanya memanggil nama mu?" tanya Sienna di perjalanan. "Tentu. Kau boleh memanggilku siapa pun." Mereka berhenti di sebuah restoran kecil yang sepi, terletak di ujung gang. Restoran itu sederhana dengan beberapa meja dan kursi kayu. Tidak ada pelanggan lain dan Sienna terlihat lega. "Kau yakin di sini?" tanya Adrian. Sienna mengangguk. "Ya," jawabnya, suaranya pelan. "Aku sering makan di sini. Meski tempatnya biasa-biasa saja, tapi aku jamin makanannya enak kok. Kalau di tempat yang lebih mewah dari ini, belum tentu mereka mau menerima kita yang memakai pakaian lusuh seperti ini." Setelah memesan, mereka duduk di sebuah meja kecil, dan Sienna melihat ke luar jendela. "Lihat, Lucas!" katanya, suaranya bersemangat. "Mereka semua bebas. Mereka bisa pergi ke mana saja yang mereka mau dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka." "Mereka hidup tanpa takut apapun, mereka tidak hidup dibawah kendali dan ancaman seperti ku," lanjutnya. Adrian hanya diam mendengarkan. Untuk menjawabnya ia tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa. Makanan pun datang. Sienna makan dengan lahap dan ia menikmatinya dengan senyum yang lebar. Adrian tersenyum tipis. Bahkan makanan sederhana seperti ini bagi orang seperti Sienna adalah makanan yang lezat. Setelah selesai makan, Adrian menaruh beberapa lembar uang di atas meja. Sienna terkejut. "Biar aku bantu bayar juga." "Tidak. Kau simpan saja uang itu baik-baik," sahut Adrian. Ia bangkit dari kursinya dan Sienna mengikutinya dari belakang. Mereka berdua berjalan di bawah cahaya lampu jalan yang terang. Adrian memimpin Sienna ke sebuah toko pakaian. "Eh, kenapa kita pergi ke sini?" tanya Sienna bingung, berhenti tepat di depan toko. "Meskipun kita menjual barang itu dan tinggal di markas yang buruk, bukan berarti kita harus berpenampilan buruk juga," kata Adrian. "Kalau ada uang, kita harus beli sesuatu untuk diri kita. Ini tentang kualitas diri. Dan itu juga akan membantu kita mendapatkan lebih banyak pelanggan. Jika kita berpenampilan bagus, kita bisa masuk ke klub atau tempat-tempat lain. Kita tidak hanya akan bertemu dengan orang-orang di jalanan, tapi juga orang-orang yang bisa membeli lebih banyak dari kita," lanjut Adrian. Sienna pun tak lagi menolak dengan alasan yang Adrian katakan. Sienna hanya diam, mengikuti Adrian yang memilih-milih pakaian. Sienna dan Adrian kini akhirnya meninggalkan toko, tangan mereka penuh dengan tas belanjaan. Kini di tangan mereka ada baju baru, celana, sepatu, dan bahkan hingga skincare. Adrian membayar semuanya dengan uang hasil penjualan narkoba. Sienna merasa senang, tapi juga canggung. Ia tidak pernah punya banyak barang. "Minggu depan saat acara pesta itu, kita bisa menggunakan pakaian ini agar terlihat jauh lebih pantas," ucap Adrian. "Um... terima kasih untuk hari ini karena kau memberikan aku banyak hal," ucap Sienna dan Adrian hanya mengangguk. Saat mereka berjalan, tak terasa jam di sudut jalan menunjukkan pukul 11 malam. Mereka melewati sebuah kafe yang dipenuhi oleh tawa. Di dalam, sekelompok anak muda merayakan ulang tahun, meniup lilin di atas kue. Sienna tersenyum. Ia tidak pernah merasakan kebahagiaan itu. Adrian menoleh, melihat senyum sedih di wajah Sienna. "Kapan ulang tahunmu?" tanya Adrian. "Malam ini," jawab Sienna. Ia tersenyum lebar. Setelah berjalan cukup jauh Adrian tiba-tiba berhenti. Ia menyerahkan semua tas belanjaannya pada Sienna. "Kau pulang lebih dulu," katanya. "Aku lupa malam ini harus bertemu dengan teman-teman yang dulu membantu ku saat jadi gelandangan." Sienna mengangguk. Ia pun pulang sendirian. Jam menunjukkan pukul 12 malam saat Adrian kembali ke markas. Ia berjalan perlahan, mencoba untuk tidak membuat suara. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak kecil, kue ulang tahun yang dibelinya di toko yang hampir saja tutup. Tapi karena ia membayar lebih mereka akhirnya mau menerima pesanannya. Saat Adrian membuka pintu, ia melihat Sienna masih terjaga. Sienna menoleh dan matanya melebar. Ia tidak menyangka Adrian akan kembali sambil membawa kue. "Selamat ulang tahun," bisik Adrian. Ia mengangkat kotak itu dan menyalakannya. Sienna melihat lilin kecil, senyum tak luntur dari bibirnya, tak menyangka hari ini akan terjadi juga padanya. Sienna menatap Adrian sebelum meniup kue itu. Adrian pun mengangguk dan saat itulah Sienna langsung meniup lilinnya. "Berdoalah!" perintah Adrian. Meletakkan kue itu di atas ranjang. Sienna mengangkat tangan, memejamkan matanya, lalu berdoa. Saat membuka mata ia langsung menghambur ke pelukan Adrian di depannya. "Makasih." Ia memeluk Adrian erat. "Malam ini aku sungguh-sungguh sangat bahagia karena mu, Lucas. Kau benar-benar orang baik." Sienna melepaskan pelukannya, duduk di depan Adrian, dan menatapnya dengan mata bulat yang berbinar. "Apa ada yang kau inginkan di ulang tahun mu yang ke dua puluh dua ini?" Sienna berpikir. "Ciuman," celetuknya. "Apa?" pekik Adrian terkejut. "Ah!" Sienna melambaikan kedua tangannya. "B,-ukan seperti yang kau pikirkan tentunya." Wajahnya memerah sempurna. "Bukan seperti aku wanita nakal atau penuh nafsu. Aku hanya... sedikit tertarik saat melihat bagaimana teman-teman kerja ku berciuman dengan wanita-wanita bayaran. Bagaimana saat bibir mereka saling menghisap dan lidah mereka saring bermain. Itu terlihat indah," akunya. Adrian terkekeh. "Kalau begitu kau harus punya pacar." Sienna menggelengkan kepalanya. Ia naik ke atas ranjang dan mengambil kue ulang tahunnya. "Sudahlah." "Memangnya siapa pria tidak beruntung yang mau berpacaran dengan wanita kurir narkoba seperti ku?" Sienna mengambil satu sendok kue dan menyuapkannya. "Tidak merasakan pun tidak masalah, toh aku hanya penasaran saja. Lagian aku juga tidak berharap itu jadi kenyataan. Dari dulu pun aku sudah bersahabat dengan kekecewaan." Adrian dengan tenang naik ke atas kasur, tubuhnya langsung mengungkung Sienna yang terkejut hingga terjatuh tepat di atas kasurnya. Meski posisi seperti itu tapi Adrian tetap tenang seakan hal seperti ini hal biasa. "Buka mulutmu," perintah Adrian, suara dalam tapi tegas. Sienna yang masih terpaku oleh kejutan menurut tanpa melawan. Bibirnya terbuka perlahan, dan tanpa tedeng aling-aling, Adrian menyapu bibirnya dengan ciuman yang lembut, melumat bibir atas dan bawahnya dengan hangat. "Bagaimana?" tanya Adrian, menahan emosi supaya terlihat tetap santai. "Jantungku," jawab Sienna, suaranya gemetar sambil menelan ludah. "Berdetak sangat kencang... apakah ini... normal?" Adrian terkekeh samar. "Itu reaksi alami tubuh saat kita melakukan hal seperti ini." Pandangan Adrian terpaku pada bibir Sienna, tak menyangka gadis yang tak tahu cara merawat diri memiliki bibir yang lembut nan manis. "Buka mulut mu!" perintah Adrian dan Sienna tak menolak. Keduanya berciuman lebih dalam dan kali ini menggunakan lidah seperti yang Sienna inginkan. Kenikmatan membuatnya lupa, Adrian segera menghentikan ciumannya. Ia menatap pada Sienna. "Bagaimana?" tanyanya. "Um..." Sienna menyentuh bibirnya. "Enak," akunya. Saat Adrian menatap dengan mata melebar seolah terkejut, gadis itu seketika menutup wajahnya merasa malu. Adrian tersenyum. "Hal seperti ini tidak boleh dilakukan bersama sembarang orang. Ada baiknya selamanya bersama dia yang memberikan mu ciuman pertama," tutur Adrian. "Maksud mu, selamanya bersama mu?" tanya Sienna polos. "Huh?" Adrian menatap Sienna. "Kan, kau yang memberikan ku ciuman pertama," ucap Sienna. "Yang tadi tidak termasuk.. Ciuman pertama dilakukan dengan orang yang kau cintai," jelas Adrian.Sekoci penyelamat kecil itu melaju di tengah kegelapan selama hampir satu jam, menghindari lampu sorot kapal patroli yang mulai beraksi setelah sinyal flare gun Petrov. Mereka berlayar menjauh dari area pelabuhan, menuju garis pantai yang dipenuhi hutan bakau.Dimitri memegang kemudi, wajahnya tegang tetapi lega. Sienna diam, matanya memindai garis pantai. Adrian, bersandar di lambung sekoci, menekan bahunya yang terluka, menahan rasa sakit dan menatap Zara yang terus memberikan arahan dari jauh."Titik ekstrak kedua," bisik Zara. "Gubuk nelayan tua, tepat di selatan Mercusuar Hijau. Tim medis dan transportasi sudah menunggu."Lima belas menit kemudian, mereka tiba di pantai tersembunyi. Tiga sosok muncul dari bayangan—dua pria berpakaian serba hitam dan seorang wanita dengan rompi medis. Itu adalah Tim Delta, unit pendukung logistik AEGIS."Adrian. Dimitri. Selamat datang," sapa wanita medis itu dengan suara yang tenang dan berwibawa, langsung menilai luka Adrian. Ia tak menyapa Sien
Bau kotoran, air limbah, dan karat tebal memenuhi saluran beton tempat mereka meluncur. Adrian bergerak di belakang, antara Dimitri di depan yang memimpin, dan Sienna yang di tengah. Bahunya terasa perih, tetapi adrenalin membuat rasa sakit itu menjadi detail yang jauh.Mereka bergerak melawan arus air yang deras, yang menyamarkan suara langkah mereka. Pengejaran di dalam saluran pembuangan adalah taktik yang putus asa, tetapi Adrian tahu ini adalah satu-satunya rute yang tidak dipatroli oleh Petrov."Zara, beri kami gambaran keamanan. Seberapa cepat mereka menyusul?" bisik Adrian, suaranya teredam oleh gema saluran."Mereka masih lambat. Petrov mengerahkan tim besar ke Sayap Timur, memblokir lorong atas. Tapi mereka baru saja membuka lubang inspeksi darurat di sekitar Gudang Utama. Mereka mengirim tim pencari ke bawah. Aku perkirakan lima menit sebelum mereka mencegat jalurmu," lapor Zara. Suaranya terdengar cemas di eardphone.Dimitri dengan sigap menunjuk ke sebuah belokan tajam di
Terowongan utilitas itu sempit, berbau debu lama dan kehangatan kabel listrik. Adrian merangkak, menggunakan peta termal di jam tangannya untuk menavigasi. Ia berada tepat di bawah lantai Kantor Eksekutif—area paling dijaga di seluruh markas.Di atasnya, ia bisa mendengar resonansi langkah kaki yang berat, jauh lebih dekat dari sebelumnya. Mereka pasti menyadari sensor gerak di Sayap Timur baru saja di-reboot."Adrian, ada tiga penjaga bersenjata yang baru masuk ke lorong Sayap Timur. Mereka mencari keanehan," bisik Zara melalui eardphone.""Aku di bawah mereka. Kirimkan aku blueprint ruangan. Tunjukkan area kurungan Sienna," balas Adrian.Dalam sekejap, tampilan di jam tangan Adrian berubah, blueprint kantor mewah itu muncul, memperlihatkan meja besar, rak buku, dan sebuah pintu baja tersembunyi di balik lukisan."Dia di ruangan rahasia itu, di balik lukisan," kata Adrian, mengonfirmasi dugaannya. "Dimitri, siap-siap. Setelah aku masuk, aku butuh jalur keluar yang bersih."Adrian mer
Di ruang bawah tanah yang dirancang khusus oleh markas AEGIS. Dindingnya dipenuhi peta digital dan peralatan militer yang sunyi.Adrian memasuki ruangan. Di sana, sudah menunggunya dua sosok. Dimitri, si pria berpostur tegap. Wajahnya selalu dingin dan dia selalu memegang tablet yang memantau keamanan jaringan.Dan Zara. Mata-mata yang lebih muda, ramping, dengan tatapan mata yang tajam dan tenang. Spesialisasinya dalam menyusup ke sistem digital dari jarak jauh.Mereka berdua mengenakan seragam taktis hitam tanpa tanda pengenal, menunjukkan bahwa misi ini tidak resmi."Adrian" sapa Dimitri dengan anggukan singkat, suaranya berat. "Alex bilang kau butuh kami. Dan ini harus 'senyap seperti kejatuhan bulu'.""Justru tidak," potong Adrian, berjalan langsung ke dinding yang menampilkan proyeksi satelit Markas Petrov. "Misi ini tidak akan senyap. Ini akan menjadi pengalihan besar untuk menyamarkan ekstrak kecil. Petrov sudah menunggu serangan senyap."Adrian menunjuk peta The Serpent's Coi
Adrian melompat keluar dari lubang got di area pasar ikan yang sepi, dua blok jauhnya dari Markas The Serpent's Coil. Ia telah menghabiskan dua puluh menit mengerikan merangkak melalui ventilasi kotor dan saluran pembuangan, menghindari senter dan teriakan anjing penjaga. Seragam "Toni" kini basah, robek, dan berbau amis. Ia bergerak cepat melintasi kota, menghindari semua jalan raya utama. Satu jam kemudian, ia tiba di Markas AEGIS. Adrian menerobos pintu baja ruang kontrol utama. Di dalamnya, suasana terasa tenang, kontras dengan neraka yang baru saja ia lewati. Layar-layar monitor yang memantau pergerakan jaringan global bersinar remang-remang. Di balik konsol utama, duduk Alex. Pria itu dengan tatapan mata yang tajam dan wajah tanpa emosi yang dingin, khas seorang perencana perang yang sempurna. "Kau berdarah," adalah sapaan pertama Alex, tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada data feed yang ia analisis. "Itu hanya goresan," balas Adrian, suaranya serak dan menahan emosi.
Tangan Adrian masih mencengkeram erat USB drive, jantungnya berdebar kencang seirama langkah cepat kakinya menuruni tangga mezzanine. Ia meninggalkan kegelapan total di ruang server dan meninggalkan dua penjaga yang masih meraba-raba mencari senter.Ia harus keluar dari gedung melalui ventilasi sisi barat yang telah ia identifikasi.Ia melompat dari tiga anak tangga terakhir, mendarat dengan lutut ditekuk. Di bawah, Gudang Utama masih diselimuti remang-remang lampu darurat.Adrian berlari di antara rak-rak, menghindari jalur tripwire yang ia netralkan sesaat tadi. Ia hanya butuh tiga puluh detik lagi untuk mencapai saluran ventilasi.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku dalam jaket samaran Toni.Adrian mendesah frustrasi. Ia mengabaikannya.Lima detik kemudian, ponsel itu bergetar lagi. Dan lagi. Dan lagi. Panggilan beruntun yang tidak masuk akal.Nama itu muncul di layar kecilnya, menyala seperti suar. SIENNA.Rasa dingin yang lebih tajam daripada udara gudang menjalar di punggung A







