Hujan yang turun semakin menderas. Cuaca ekstrem yang melanda Scramble siang itu, sebenarnya membuatku malas untuk keluar dari rumah sakit. Jika bukan karena ingin membeli makanan cepat saji, aku tidak mungkin akan menembus badai.Jalanan begitu licin, dan terlihat mengkilap dari bawah sana. Aku mengaktifkan mode auto pilot, untuk mempermudah perjalanan. Mengingat aturan Scramble begitu ketat, aku pun memakai sabuk pengaman.Terbang dengan jarak empat meter dari tanah, membuatku bergidik ngeri. Aku takut untuk terbang lebih tinggi, karena belum terlalu mahir menggunakan kendaraan modern itu. Beberapa pesawat mini jet di depanku melintas begitu cepat, sehingga air yang tergenang memercik ke arahku."Apa-apaan ini? Apa mereka tidak punya attitude? Shit, harusnya aku menutup kaca tadi." Aku menekan tombol drying pada layar di dekat flight control. Sebuah alat scan—semacam penghilang noda pada pakaian, dengan cepat membersihkan air.Aku memberhentikan laju jet, di depan sebuah toko bunga.
Aku berjalan dengan cepat, dan tidak menghiraukan siapa pun, saat itu. Para perawat, dan tenaga medis kulalui tanpa sapaan hangat seperti biasanya. Air mata kian menderas di pipi. Matahari hampir tenggelam. Cahaya sang surya nampak semakin meredup, dan awan jingga mulai terlihat.Bangku taman yang terlihat usang itu, menjadi tempat melampiaskan kekecewaan. Kenapa harus Rion? Aku meratap, dan menenangkan diri dengan terus menyakinkan, bahwa bahagia akan segera datang. Takdir sepertinya memang kejam bagiku, yang mungkin tidak akan pernah mendapatkan keadilan.Kenangan masa lalu perlahan-lahan muncul, dan memeluk diri dalam nostalgia. Satu per satu orang yang menyayangiku telah pergi. Aku bahkan tidak bisa melindungi mereka. Kenapa Dewa Naga berkepala tujuh memberikan tugas, yang seakan hanya untuk menyengsarakanku?Aku masih ingat peristiwa berdarah yang merenggut segalanya. Di dalam hati yang paling dalam, kebencian itu semakin besar. Jika saja portal itu tidak terbuka, mungkin aku sud
Hamparan lautan berwarna biru gradiasi hijau itu, seakan memberikan vibes bahagia. Aku ikut menari di atas kapal pesiar mewah sebelas tingkat itu. Dua puluh penari wanita yang ada di depanku, menampilkan tarian khas Kota Riqueza.Aku sangat bangga, karena penduduk di sana, masih sangat mengedepankan unsur-unsur budaya. Sera dan Calvin yang memakai pakaian couple hari itu, menebar senyum ke setiap tamu. "Kejadian yang sama tapi dengan orang yang berbeda. Apakah kamu melihat ini Nona Alea?" Aku berkata dengan pelan, hingga hampir tak terdengar.Rata-rata orang yang menjadi wisatawan di sana, memiliki selera yang tinggi di bidang fashion style. Hal itu terbukti, ketika kami melakukan penyelidikan lebih lanjut di Riqueza. Terkadang, aku sering merasa tidak percaya diri dengan penampilan. Menurut undang-undang Kota Riqueza sendiri, cara berpakaian, dan sikap menjadi tolak ukur pertama yang menentukan kelayakan."Kita buka lembaran baru, dan lupain aja kenangan buruk yang terjadi kemarin.
Bug!Sera melayangkan tinjunya ke arah ikan raksasa itu. Ikan axolotl berukuran lapangan kasti itu terjatuh keras ke lantai. Tanah bergetar hebat seakan gempa sedang melanda Pulau Sacrificio.Aku mengatur napas yang terasa naik turun. Kemudian, menghampiri Sera yang masih mengepalkan tangan kanan di depan dada. "Makasih, Ra.""Cuma sekali tinju udah kepental aja tuh ikan. Teman kita yang satu ini memang bisa diandalkan." Calvin bertepuk tangan sambil menyengirkan giginya."Kalian terlalu berlebihan, Achilio, Calvin. Sebaiknya kita cepat, soalnya satuan keamanan keknya bakal ke sini bentar lagi." Sera berjalan ke arah ikan yang terlihat sekarat itu."Gue bakal ngeblok akses jalan masuk mereka dari sini." Calvin mengeluarkan ponsel dari saku kiri celananya. Untunglah, kemampuan hacker Calvin dapat diandalkan."Kami datang baik-baik, dan punya tujuan baik. Kenapa kamu malah menyerang kami?" Aku bertanya dengan tatapan tajam pada ikan besar itu. Di dalam jiwa, aku merasakan amarah yang mu
Meja kayu dan lima buah kursi itu terlihat sangat kuno. Ukiran-ukiran seperti pada zaman pemerintahan Alea, tertoreh di pinggiran meja itu. Ruangan itu hanya berisi tempat makan, dan lukisan anggota keluarga Kerajaan Middleside. Di sana terdapat pula lukisan wajah Alea, di tengah para pemimpin lainnya, yang terlihat sangat anggun dan memesona."Aku akan mulai bercerita sekarang. Jadi, jangan memotong pembicaraan sebelum aku mengizinkan!" Yuna memperingatkan kami.Wajah gadis itu tampak lebih menyeramkan ketika dia marah. Akhirnya, aku pun mengangguk; begitu juga dengan Sera dan Calvin.*Malam itu saat hujan petir melanda lautan, aku—Yuna, menemukan Alea terombang-ambing di dalam gulungan ombak. Tanpa pikir panjang, aku pun membawa sahabatku itu ke pinggir pantai. Luka bekas tusukan benda tajam di jantungnya, membuatku putus asa. Karena darah yang keluar sudah cukup banyak, dia mungkin tidak bisa diselamatkan lagi.Aku berusaha melawan takdir kematiannya, dengan terus mengalirkan keku
Aku mondar-mandir di depan pintu otomatis. Sesekali aku menjambak rambut dengan kesal. Air mata yang terus berjatuhan, mengiringi pikiran yang kalut. Bagaimana jika hal buruk terjadi pada Tuan Daniel—Ayah Calvin? Aku sangat panik."Achilio, Calvin memintamu untuk masuk ke dalam," ucap Sera dari pintu yang telah terbuka. Aku mengangguk, lalu kami pun memasuki ruangan mewah itu bersama.Saat masuk, aku melihat Calvin menangisi seorang pria tua, yang terbaring dengan mata terpejam di atas kasur. Kamar itu terdapat barang-barang berharga, yang tersusun rapi pada lemari kaca di dekat meja. Ruangan yang luasnya hampir menyaingi Kuil Axolotl itu, memiliki banyak pajangan miniatur robot.Di samping pria tua itu terdapat lampu berbentuk jamur payung. Cahayanya terang seperti gemerlap rembulan, pada saat malam tiba. Calvin terus menangis, dan aku benar-benar ketakutan. Lima orang bodyguard berpakaian formal mencoba menenangkannya. Namun, sahabatku itu seakan tidak ingin beranjak dari sana."Tu
Seorang pria yang berwajah tampan, berhidung mancung, dan berkulit putih tampak berdiri menghadang jalan kami. Di belakangnya, terdapat sekelompok geng motor, yang membawa ribuan bunga anyelir merah gradiasi ungu."Mereka harus diberikan pelajaran, karena nggak menaati aturan lalu lintas." Aku melepaskan sabuk pengaman, berniat untuk menegur komplotan geng motor itu."Jangan turun dari jet, Achilio! Ketua geng motor itu adalah saudaraku. Dia bukan musuh kita." Calvin mengunci pintu keluar melalui sistem di layar.Aku berdecak kesal sambil mengerucutkan bibir. "Terserah apa katamu, Vin!""Achilio!" Calvin tiba-tiba berteriak, sehingga membuatku tersentak kaget.Aku pun memasang kembali sabuk pengaman, agar tidak memperpanjang masalah. Terkadang, lebih baik mengalah, daripada terus-menerus menciptakan konflik baru."Kayaknya kita ambil jalan pintas aja deh, Vin. Mereka gak akan pergi kalo kita gak ngalah," ucap Sera menyarankan argumennya, pada pria blonde di sampingnya.Tidak lama sete
Kelahiran adalah hari istimewa bagi setiap orang tua, di seluruh dunia. Saat anak yang baru ia lahirkan menangis, sang ibu akan merasa lega. Ya, lega karena anaknya bisa hidup, dan keduanya—ia dan bayinya, selamat dari maut.Akan tetapi, pengertian dari kata "kelahiran" berbeda untukku. Melihat wajah malaikat tanpa sayap—ibu, hanya di dalam bayang-bayang masa lalu. Kebahagiaan itu seakan hanya nyata dalam ilusi. Aku tidak ingin Felicia menjadi ibuku, setelah reinkarnasi panjang Sean.Takdir sepertinya memanglah buruk. Aku kurang beruntung dalam beberapa hal. Apa rasanya mempunyai keluarga yang lengkap? Dari masa Sean, aku bahkan tidak pernah merasakan apa itu bahagia, apa itu keluarga, apa itu yang namanya kebersamaan?Motivasi yang Sera berikan, hanya seperti sebuah kalimat penenang. Aku tetap tidak bisa merasakan semangat itu bangkit. Hidup seperti sebuah tempat mengadu nasib. Aku tidak ingin menjadi beban siapa pun. Sera adalah orang yang sangat penting dalam hidupku. Namun, aku ti