Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih.
Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.
Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk.
Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
Sasha: Sebelum lo sadar ini panas di luar, gue udah ngetok pintu rumah lo dan ngadem depan pintu kulkas.
Buruan!Memang seharusnya ia tak perlu menawarkan. Sasha itu tipe sahabat mandiri.
Gontai langkah Gathan membawanya keluar kamar bersama handuk di leher. Dalam perlajanannya ke kamar mandi, ia mendapati Sasha yang tengah duduk menghadap kulkas terbuka, di tangannya ada piring berisi kue tart dan beberapa sendok es krim. Orang begini ditawarinya masuk... Gathan menggeleng. Sebuah kemubaziran kebaikan.
"Sasha, yang otaknya makin terperosok ke mata kaki, di ruang tamu ada AC-nya, ngapain lo nongkrong di sini?"
"Lo gak paham, sih, Than, dinginnya kulkas itu ada sensasi ekstranya. Belum lagi ada fitur tambah mesis, keju, nutella, bahkan buah."
Gathan menggaruk kepalanya, membuat rambutnya makin mirip sarang burung.
"Serah lo, dah." Ia masuk ke kamar mandi. Mengurung dirinya di dalam sana.
"Sha," panggil Gathan tak lama kemudian dari dalam kamar mandi.
"Apaan?" balas Sasha. Ia tengah menaburkan sebanyak mungkin mesis pada piringnya
"Fanala gak ngelesin piano?"
"Sore."
"Jadi kita mau ngapain di tempat Fanala?"
"Nonton."
"Kenapa lo gak belajar aja?"
"Gak usah ngasih ide yang gak benar deh, Than. Kalo Karel kepikiran hal begitu kan gue jadi gak bisa nonton. Padahal gue udah nungguin banget ini web series bisa di d******d. Lagian Kak Nala juga pengen nonton. Kemaren kan juga baru belajar. Jangan tiap hatilah belajar."
Hening sejenak. Sasha lanjut menghabiskan makanannya sementara dari kamar mandi hanya terdengar suara gemericik air.
Tak lama kemudian, saat Sasha tengah mencuci piring bekas makannya, Gathan keluar berbalut handuk. Rambutnya yang memang agak panjang meneteskan air seperti rintik hujan—jadi alasan bagus bagi ibunya untuk mengomel.
"Sha," panggil Gathan.
"Eh?" Sasha menoleh. "Aaaa!" teriaknya.
"Apa, sih, Sha? Lebay."
"Badannya lo itu loh, jelek banget. Merusak kesucian mata gue yang cuma boleh liat abs oppa." Sasha mendelik pada perut Gathan yang agak chubby.
Gathan segera menyensor perutnya dengan kedua tangan. Ia mendesis meninggalkan Sasha sendiri. Lupa dengan pertanyaannya.
Di tengah jalan ia berhenti. Ingat akan sesuatu yang harus ditanyakannya sebelum Sasha menghina perut lucunya.
"Sha, emak gue ke mana?" teriaknya.
"Pasar!" balas Sasha lebih kencang.
Gathan mulai melangkah ke kamarnya ketika Sasha menambahkan, "Oh iya! Dia nyuruh lo ngambil barang di kamarnya!"
Tangan Gathan meraih gagang pintu kamarnya. Ia malas melakukan perintah ibunya. Pasalnya semalam ia dibiarkan menunggu hingga larut malam hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kue tart beserta sebuket bunga. Ia masih kesal. Ia sudah masuk kamarnya tadi malam ketika ia mendengar gerbang depan di dorong. Jadi ia mengabaikannya saja dan membiarkan kue dan bunga tergeletak di ruang tamu. Sehingga ia belum menemui ibunya sama sekali sejak kemarin pagi.
Gathan mendesah. Ia pergi beberapa langkah lagi. Masuk ke kamar ibunya, mendapati sebuah paper bag di atas meja rias. Yang ulang tahun siapa yang dapat hadiah siapa, pikirnya. Namun dikeluarkan juga isinya, dan ia menemukan sepatu dan catatan kecil di dalam kotak.
Maaf, ya, Anak Mimi, tertulis di sana.
Lemah ia dengan yang begini ini.
Segara Gathan kembali ke kamar untuk menelepon ibunya.
"Selamat ulang tahun Mimi Gathan," ujarnya begitu sambungan di terima. "Semoga Mimi selalu ada di sisi Gathan dan makin sayang sama anaknya yang super ganteng ini. Dan semoga Mimi bisa nemuin om-om yang ganteng." Terdengar suara kekehan di seberang sana. Gathan diam sejenak, ia ragu hendak mengucapkan sesuatu yang sudah di ujung lidahnya. Tapi ia ingin ibunya mengerti dan agar segalanya jadi jelas. "Tapi yang jelas om-om itu bukan Om Adit. Gathan gak suka Mi, karena Radit bakalan jauh lebih gak suka..."
"Woy Gathan, buruan!!" Sasha menyerang pintu secara membabi-buta.
***
"Sehun, Sehun..." Fanala greget sendiri.
"Oh my God! Sehun ganteng banget. Bucin gue." Sasha tak mau kalau suara.
Sasha dan Fanala heboh berdua ketika drama baru di mulai. Saling menepuk lengan atau paha, hingga saling mengguncang pundak satu sama lain. Agaknya sepanjang drama mereka akan disuguhi aksi fangirling. Padahal kemarin sepertinya Sasha sudah punya idola di Wanna One sekarang Sehun pun diembat. Dan lagi, Gathan tak tahu Fanala bisa se-excited ini pada idol Korea. Membuatnya tampak kekanakan serta menggemaskan.
"Kakak gue makin ganteng aja," komentar Radit. Gara-gara persekutuan K-popers akut di sekolah, Radit jadi selalu percaya bahwa ia adalah adik Sehun EXO—yang kata para wanita gantengnya gak manusiawi.
Karel yang menempel pada Fanala seperti daki, mencibir ucapan Radit. Dan rasanya Gathan ingin menimpuk kepanya pakai wadges Mimi. Muka Karel itu memang menimbulkan hasrat ingin main hakim sendiri.
"Kakak gigi lo!" Karel menanggapi sengit. "Sok ganteng lo, Dit." Ia memang jadi tempramen bila dekat dengan dua orang teman adiknya itu.
"Emang ganteng kali, Rel," dengan santainya Fanala berujar.
"La!" protes Karel.
Gathan, Radit, serta Sasha tertawa.
"Tahu nih Kak Karel matanya rabun." Sasha menopang wajahnya di atas meja dengan sebelah tangan. Memerhatikan profil Radit yang berpose sok cool dari samping. "Orang cakep gini dibilang sok ganteng. Fitnah banget. Mana tinggi, putih, suaranya seksi lagi..."
Sasha menegakkan diri, kembali menonton aksi Sehun EXO yang membuatnya ingin fanchant. "Kalo lo bilang Gathan sok ganteng itu baru bener," tambahnya.
"Sha!" Gathan menatap Sasha jengkel.
Fanala dan Radit tertawa.
"Lihat aja lo semua, sepuluh tahun dari sekarang gua bisa bikin lo semua hamil online. Inget itu!"
"Dih najis!" Karel bergidik. Jijik sekali. "Sorry ajea gue gak punya rahim. Dan lagi tampang lo itu udah mentok, gak bisa di upgrade. Jelek itu jelek aja, gak usah sok optimis."
Gathan menggapai boneka buaya lusuh dari atas sofa dan menggunakannya untuk menghakimi Karel melewati punggung Fanala.
"Kayak yang lo cakep aja, sih, Rel! Muka kayak sendal jepit swallow butut ke injek tai ayam aja bangga!" Gathan membabi buta memukuli Karel yang menendang tak tentu arah. Menyebabkan Fanala menyingkir, mengamankan laptopnya, diikuti oleh Sasha dan Radit.
Kini dua manusia yang sepertinya sudah tak dalam mode akal sehat itu tengah berguling-nguling, membuat meja terdorong hingga mencium tembok.
"Rel! Rel!" panggil Fanala. Yang di panggil tetap tak sadar akan tingkahnya. "KAREL!"
Akhirnya Karel dan Gathan berhenti.
Keduanya memisahkan diri. Terlihat merasa bersalah dengan rambut kusut parah. Sayangnya tak ada yang terluka."Kayak anak kecil, sih." Fanala merengut. Kemudian menghempaskan diri ke tengah sofa. Mood-nya jadi rusak. Ia bisa memaklumi Gathan—karena kadang kelakuannya memang agak ajaib, tapi Karel? Astaga. Ia tak habis pikir. Umur udah 21 tapi masih mau menanggapi bocah 18 tahun yang tingkahnya seperti anak 8 tahun.
Karel menghela meja ke posisi semula, lalu mengambil tempat di ujung sofa. Sementara itu Gathan mengangkat satu tangan dan dengan tanpa dosa berkata, "Sorry Fan, gue suka khilaf ngeliat muka Karel."
Fanala tak menanggapi, Karel mendelik, sedang Radit dan Sasha mendengus.
Lima menit kemudian Gathan sudah mengekori kedua temannya melangkah keluar. Maraton nonton drama Sehun EXO hari itu batal sudah. Menyisakan Fanala yang kesal dan Karel merasa dirinya konyol sekali. Keduanya bungkam.
***
"Menurut lo itu anaknya atau bukan?" Sasha berujar. Ia duduk di antara Gathan dan Radit. Ketiganya tengah menikmati marshmellow bentuk es krim yang di celupkan ke es krim sungguhan. Es krim dalam cup besar itu sudah betul-betul mencair—maklum sudah hampir dua jam mereka menghuni teras Indomaret ini. Memainkan game tebak-tebakan berbahan pembeli yang hilir mudik.
"Jelas itu mah," Gathan menjawab duluan, "selingkuhan." Mulutnya memang pandai sekali dalam permainan ini. "Lihat aja muka Om-omnya ganjen begitu. Cocok banget buat main sinetron azab. Judulnya: Mataku Menggelinding Keluar karena Gak Inget Umur Melototin Anak Gadis Orang."
Sasha tertawa.
"Receh banget lo, Than," Radit nyinyir.
"Eh si Ganteng sinis aja karena kurang receh," ejek Gathan. "Banyak-banyak latihan. Makanya sering-sering bersosialisasi di Twitter, jangan buka Viu mulu. Kuota abis buat nonton drama Korea mulu kalo gak streaming MV, unfaedah. Kayak gue dong, faedahfull."
"Yee... Bagi kK-popers, drama dan MV itu kebutuhan," Sasha yang satu persekutuan dengan Radit membela rekannya. "Berfaedah bagi ketenangan mental kita semua."
Sasha bangkit berdiri, membuang kotak es krim dan beberapa bungkusan kosong ke tong sampah.
"Balik yuk," ajak Sasha. "Gue ngantuk." Ia menguap.
Radit mengangguk. "Gue juga ada janji makan siang sama nyokap."
"Hp gue mana, Sha?" Gathan mengulurkan tangannya.
"Mana gue tahu!" Sasha mengernyit. Ia tak ingat meminjam ponsel Gathan.
"Lah, dari tadi gue kira sama lo. Terus Hp gue ke mana, dong?"
"Kantong celana dalem?" usul Radit.
"Gue serius, Kodok!"
"Jatoh kali tempat Kak Nala. Lo 'kan tadi adu gulat sama Kakak gue."
Berdecak Gathan. "Lo berdua duluan aja, gue balik ke tempat Fanala dulu." Ia sebenarnya agak tidak terlalu suka dengan ide kembali lagi, sebab Karel mungkin masih di sana.
Jarak dari Indomaret ke tempat tinggal Fanala tak sampai satu kilometer. Namun lumayan juga di tengah hari begitu. Mana lagi matahari tampaknya sedang dalam mood yang baik untuk memanggangnya. Sebisa mungkin Gathan melipir dalam bayang-bayang yang kadang ada kadang tidak.
Tak lama berlalu, Gathan pun tiba. Menemui pintu tempat tinggal Fanala tertutup. Jadi, setidaknya, Karel sudah pulang. Ia dapat benapas lega. Tak ada orang yang akan menaikan tensi darahnya. Sebegitu terganggunya ia terhadap kehadiran Karel.
Gathan menyebrangi pelataran kecil. Di mana sudutnya dinaungi sebatang pohon mahoni yang meneduhi sebuah bangku kayu tua.
Begitu tiba di muka pintu Gathan di sambut sebuket bunga matahari yang tergeletak begitu saja di atas keset welcome. Dipungutnya bunga itu. Pintu pun terbuka, padahal ia belum mengetuk. Menampilkan sosok Fanala berbando kuping beruang sedang menggenggam satu pack yougurt dengan satu sedotan terpasang.
Fanala memandang bunga di tangan Gathan—yang segera menyerahkannya pada si empunya. Lalu tatapan itu beralih Gatha. Fanala nampak terkejut sejenak sebelum mulai menatapnya lekat-lekat, menyudutkan.
"Ada di lantai tadi bunganya," ujar Gathan gugup.
Fanala tak menyahut. Masih memandanginya aneh.
"Hp gue kayaknya ketinggalan di dalam. Boleh gue masuk?" Gathan menelan ludah. Ada apa sih dengan Fanala? Juga dirinya yang jadi tiba-tiba gugup seperti ini?
Gathan melipir, nyelinap masuk. Ia memegang dadanya. Astaga, ia seperti habis sprint. Padahal seingatnya tadi ia berjalan dengan santai.
Sementara itu Fanala masih termangu di ambang pintu. Tak mungkin Gathan kan? Cowok macam begitu... tak mungkin, pikir Fanala.
Tapi kenapa dia gugup ketiga Fanala memergokinya membawa bunga di depan pintunya? Seharusnya ia kan santai saja bila memang secara tak sengaja menemukannya, pikir Fanala.
Kenapa?
"Hp gue udah ke temu."
Fanala menoleh, melihat Gathan mengacungkan ponsel pintarnya.
"Dimana?" tanya Fanala. Curiga ponsel ketinggalan hanya alibi. Karena ia betul-betul tak melihat ada ponsel asing di rumahnya sejak Karel pulang.
"Di bawah sofa."
Fanala mendekat, menyipitkan matanya.
"Kenapa?" Gathan mulai gugup lagi.
"Than lo gak suka sama gue 'kan?"
Spontan Gathan menjawab, "Enggak!"
Fanala berjengit. "Terus kenapa lo ngirimin gue bunga?"
"Bukan gue, Fan. Sumpah. Gue cuma nemu di depan. Dan gue gak semanis itu buat ninggalin bunga di depan pintu. Gue tipe yang to the point kalo gue ada rasa sama orang."
"Terus kenapa lo gugup banget?"
"Karena lo ngeliatin gue gitu banget. Gue ngawatir lo kerasukan apa gimana. Dah, ah, gue mau balik. Bye!" cepat-cepat Gathan memberi alasan dan berlalu meninggalkan Fanala yang tak puas.
***
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau