Share

Bab 5

"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih."

"Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."

Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet.

"Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya.

"Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng."

"Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut.

"Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng."

"Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu selama dua tahun," komentar Radit. "Gue, sih, ogah."

"Sama." Gathan sepaham

Sasha yakin mereka tidak akan melakukan itu. Dua sahabatnya jauh dari tipe pria romantis. Jangankan romantis, salah satu dari dua laki-laki itu pun tak peka. Sedangkan seorang yang lain merasa bahwa bersifat romantis itu tak ada faedahnya.

Mereka diam, sibuk dengan permen karet masing masing.

Buk!

"Aa!" Jeritan tertahan terontar dari bibir Gathan. Ia berputar, menemukan wajah galak Fira bersama buku paket di tangan.

"Gue hampir ke telen permen karet, Fir!" protes Gathan.

Sasha maupun Radit tak menghiraukan konflik yang baru terjadi. Mereka muak dengan pertengkaran Gathan dan sang sekretaris kelas. Tampaknya Gathan punya kemampuan untuk cekcok dengan siapa pun.

Santai, Fira menyahut, "Gue gak peduli. Buku tugas Matematika lo mana?"

"Ah elah, biasanya lo mandiri nyariin di meja."

"Gue masih mandiri karena temen sekelas gue gak ada yang tahu diri buat ngumpulin tugas di meja guru."

"Terus sekarang kenapa? Lo segitu pengennya nyari perhatian--"

"Amit-amit," sela Fira cepat. Kelihatan sekali dari tampangnya bahwa ia jijik.

"Terus kenapa kalo gitu? Lo mau manja-man--"

"Buku lo gak ada di meja. Buruan cariin gak usah makin gak tahu diri dan jangan bikin gue makin jijik sama lo!" Fira menyambar dasi Gathan dan menyeretnya masuk, meninggalkan dua kawannya yang tak peduli.

"Sha, lo gak pernah kepikiran gitu kalo Karel yang ngirim Kak Nala bunga?"

"Kakak gue memang suka banget sama Kak Nala, tapi dia bukan tipe orang yang bakalan ngelakuin hal seromantis itu."

"Menurut gue itu gak romantis. Agak creepy malah. Mungkin aja dia penderita otello sindrom atau semacam itulah. Gimana kalo suatu saat di berbuat yang enggak-enggak?"

"Persis kayak pikiran Karel. Cowok..." Sasha mengeluh.

***

"Emang lo mau orang yang sering ngasih bunga itu Gathan?"

"Gue, sih, siapa aja, Rel. Yang penting bentuknya manusia. Abis gue penasaran banget."

"Gak Gathan juga kali, La. Makhluk hidup gak jelas begitu."

Fanala tersenyum. Ia meminum es cendolnya lagi. Siang-siang begini emang enaknya minum yang dingin-dingin di bawah pohon beringin. Seperti sekarang.

Fanala tak hanya nongkrong berdua di bawah pohon dengan Karel, tapi denga  banyak mahasiswa lainnya, hanya saja berbeda kelompok pertemanan.

"Rel," panggil Fanala. Gagasan yang selama ini timbul di benaknya sekonyong-konyong minta dikeluarkan.

"Mm?"

"Menurut lo yang ngirimin gue bunga cowok apa cewek."

"Kalo cewek pasti dia gak normal. Jadi kemungkinan besar cowok."

"Kenapa harus diem-diem?"

"Mungkin..." Karel menatap Fanala. "Karena dia itu punya pasangan."

Fanala mencibir. "Terus ngapain ngelakuin hal kayak gitu ke gue?"

"Labil kali," balas Karel cuek.

"Jawaban lo kok jahat, ih!"

"Gue realistis, La. Gak mau lo berharap, terus sakit hati kalo tiba-tiba orang misterius itu berhenti."

"Gue udah cukup dewasa buat menyikapi sesuatu, Rel."

"Mau anak-anak, remaja, atau dewasa. Hati tetap hati, La. Lo gak punya kendali sepenuhnya. Lo bisa jatuh hati sama siapa aja. Penggemar misterius lo, sahabat lo," Fanala melirik Karel cepat" atau bahkan kakak sahabat lo," tandas Karel. Wajahnya merah.

Yah... Karel benar. Ia memang tak bisa mengendalikan hatinya untuk jatuh pada siapa. Seperti ia jatuh hati pada kakak sahabatnya.

***

Padahal tadi siang panas sekali. Sampai aspal hampir menyerah dan leleh. Tapi sore ini tiba-tiba hujan deras. Sungguh tidak jelas, seperti emosi wanita saat PMS.

"Telepon Fanala, gih, Sha. Basah di sini lama-lama. Gimana nasib Hp gue nanti jadinya," Gathan mengomel. Ia dan Radit sibuk dorong-dorongan di sempitnya teras kontrakan Fanala.

Sasha secara dadakan ada bimbel bersama Fanala sore ini karena perubahan jadwa tutornya itu serta pertimbangan US yang kian dekat. Membuat ia dan dua sahabatnya kelimpungan takut Fanala menunggu lama. Ternyata ketika tiba di lokasi tujuan, pemilik tempat pun belum tiba di rumah.

Sasha mengotak-atik ponselnya, seketika sadar kuota internetnya telah raib tak bersisa.

"Lo ajalah yang telepon, gue gak ada sinyal."

Gathan menyalin nomor Fanala, kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.

"Ini gue Gathan," ujar Gathan begitu sambungan di terima. "Gue sama Sasha-Radit udah di depan tempat lo nih. Buruan."

"Gue di halte depan. Ambil aja kunci di bawah pot bunga."

"Oke-oke..." Gathan mengangkat pot dekat pintu. "Udah ketemu," ujarnya ketika menemukan benda yang dicari dan menyerahkannya pada Sasha.

"Than?"

"Apa?"

Hening sebentar. Pintu pun telah terbuka.

"Apaan, Fan? Kalo gak ada lagi udah dulu, ya."

"Bisa minta tolong bawain payung ke sini gak?"

***

Fanala mulai berpikir bahwa Gathan itu tipe manusia yang suka bilang 'iya-iya' tapi nyatanya tidak dilakukan. Sudah lima belas menit berlalu, tapi Gathan tak kunjung datang. Padahal kontrakannya hanya berjarak dua ratus meter dari sini. Sepertinya sebuah kesalahan berharap pada Gathan.

"Mau balik, gak?" sebuah suara familier menyapa indera pendengar Fanala di antara deru hujan deras. Ia mengangkat wajahnya. Nampaklah muka malas Gathan di bawah naungan payung hitam.

Bangkit berdiri, Fanala mengambil payung merah muda yang diulurkan Gathan.

Gatal sekali mulut Fanala ingin mengeluh betapa lamanya bocah satu ini, sayangnya ia ingat bahwa-bahkan-Gathan bukan siapa-siapanya. Syukur-syukur laki-laki itu mau datang walau butuh waktu. Jika saja yang dihadapannya ini Karel...

"Ayo," Fanala siap melangkah, ketika Gathan menahan lengan kardigannya.

"Mana makasihnya?"

Fanala tersenyum, setengah ingin tertawa. "Makasih, Gathan."

"Sama-sama." Gathan mendahului Fanala.

Senyum Fanala belum luntur ketika ia melangkah cepat agar bisa menjajari Gathan. Seraya melangkah ia mengaduk-aduk tasnya tanpa melihat.

"Nih," ujar Fanala, menyuluhkan sebatang permen karet.

Gathan menoleh pada Fanala yang kini telah berada di sisinya. Ia berkata, "gak usah." Namun tetap menerimanya dan menenggelamkan permen itu ke dalam saku. "Tapi makasih."

"Udah punya bahan obrolan?" tanya Fanala. Ingat ketika terakhir kali berdua mereka kekurangan topik bicara.

"Belum, sih. Cuma lagi banyak pikiran, jadi gak pengen ngobrol."

"Ok..." Fanala mengangguk. Terserahnya saja. Yang penting tak perlu merasa canggung jika mereka sama-sama diam, karena ia tahu memang Gathan yang tak ingin bicara.

Belum ada seperempat dari total jarak yang mereka tempuh, Gathan sudah menunjukan bahwa jumlah beban pikirannya tak cukup banyak untuk menggunakan frasa 'lagi banyak pikiran'.

"Menurut gue itu gak romantis sama sekali," Gathan memulai. Terang yang ia maksud adalah sepasang murid SMA yang baru melintas bertudungkan jaket. "Itu yang cowok gak modal--padahalkan Indomaret deket. Beli payung, kek. Malah pakek jaket. Di kira gerimis. Gaya doang gede. Yang cewek lagi, pikirannya udah luntur kerembesan air hujan--mau-mauan diajak nyari penyakit."

Lagi-lagi Fanala tersenyum, menahan tawa. Ia yakin Karel tak akan suka dengan komentar Gathan menggingat sahabatnya itu pernah mencoba melakukan hal serupa, yang ia tertawakan.

"Katanya lagi banyak pikiran, tapi masih sempet mikirin urusan orang," sindirnya.

"Soalnya kepinteran dua manusia itu terlalu mencolok. Mulut gue gatel kalo gak komen."

"Terus yang romantis menurut lo gimana?"

Tampaknya Gathan tak perlu memikirkan pertanyaannya itu. Karena ia langsung menjawab dengan santai.

"Kalo gue yang ada di posisi cowok tadi, gue bakal beli dua payung. Satu buat gue sendiri, satu buat cewek gue."

"Kenapa gak satu payung berdua? Kan lebih romantis."

Fanala pikir laki-laki akan lebih suka satu payung berdua bersama pacarnya. Kerena posisi mereka jadi lebih dekat.

"Ya, enggalah. Pakek payung sendiri-sendiri aja masih sering kena hujan, apalagi berdua. Makin sedikit kena hujan, makin sedikit kemungkinan flu. Dan cowok yang berusaha sebisa mungkin bikin ceweknya gak sakit, itu baru romantis menurut gue. Bukan kayak tadi, mau flu ngajak-ngajak ceweknya."

"Terus, lo ngerasa kita sekarang dalam kondisi romantis?" Fanala memberi isyarat bahwa mereka dinaungi payung yang berbeda, bermaksud menggoda Gathan.

"Lo ngerasa cewek gue?" balas Gathan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status