Angin malam berhembus. Gathan memasukan tangannya ke dalam saku. Ia baru pulang dari rumah Sasha dan berniat jalan kaki sejenak, mencari angin.
Ponselnya berdering. Reminder. Ia sudah tahu. Ia mengaturnya hanya untuk berjaga-jaga karena takut lupa, walau belum pernah terjadi sejauh ini.
Tak terasa, Gathan sudah berjalan lumayan jauh. Menoleh ia ketika melewati kontrakan Fanala.
Ponselnya berdering lagi, hanya bunyinya kali ini berbeda. Gathan mengangkat sambungan dari ibunya itu.
"Kenapa, Mi?... Iya ini Gathan bentar lagi pulang... Iya... Sayang Mimi."
Ia segera memesan ojek online, yang sampai tak lama kemudian. Selama perjalanan diperiksanya galeri ponsel yang penuh foto Sasha. Nyaris semua tak berkualitas. Begini bila punya sahabat perempuan, galeri harus dibersihkan setiap beberapa hari sekali.
Gathan mendesis. "Menuh-menuhin memori," gumamnya.
Jari Gathan berhenti pada satu foto Sasha. Ada sosok blur di belakangnya. Ini jelas di rumah Sasha. Dan senyum kecil tercipta di sudut bibir Gathan.
"Makasih," ujarnya ketika memberikan uang, sausai turun di depan rumahnya. Dan ojek itu pun berlalu.
Saat berputar, Gathan mendapati gerbang terbuka. Apa ada tamu? Ia mengecek ponsel. 21.37. Selarut ini? Tak biasanya.
Tepat saat ingin melangkah masuk, sebuah mobil hitam melaju keluar dengan mantap. Mobil itu memberi klakson, Gathan pun mengangguk.
Langkah Gathan terlempar cepat menyeberangi halaman yang temaram setelah menutup gerbang. Ibunya terlihat masih terbungkus baju kerja, berdiri di ambang pintu utama.
"Mi!" panggil Gathan.
"Anak Mimi malem banget pulangnya. Dari mana?"
"Rumah Sasha," ujar Gathan terburu, sementara ibunya mengunci pintu. "Mimi baru pulang? Kok tumben."
"Iya. Ada karyawan yang ambil cuti, jadi kerjaan Mimi lumayan banyak."
"Kok bisa dianterin Om Adit?"
"Pak Adit cuma kebetulan lewat divisi Mimi dan lihat Mimi mau pulang. Jadi dia nawarin buat nganter."
"Tapi rumah kita 'kan gak searah sama rumahnya," protes Gathan. Mengekori ibunya, menuntut penjelasan.
"Mi!"
***
"Ngapa lo, Than, lihat-lihat?" suara Radit terdengar, namun pandangannya belum juga beralih dari game di ponsel. Sejak dari sekolah tadi ia terus memainkannya. "Gue masih normal ya."
"Gue juga, njir!" Gathan mendelik, menendang pantat Radit keras.
"Woy!"
Radit melupakan game-nya, mati-matian mengejar Gathan. Sasha yang mereka tinggalkan hanya mendengus, bila menjadi sahabat mereka beginilah hari-hari berlalu.
Tangan Radit mencengkram punggung kaos Gathan, kemudian menendang pantatnya. Yang diserang berputar dan meraih rambut pelaku.
"Jambak-jambakan lagi nih orang berdua," desis Sasha. Ia berlari menghampiri kedua sahabatnya. Melerai mereka.
Plak! Plak!
Sasha menggeplak kepala kopong Radit dan Gathan.
"Gak usah malu-maluin bisa gak, sih?! Gue lebih ikhlas kalo kalian berdua tonjok-tonjokan. Bukan kayak banci rebutan lapak begini! "
Kemudian Sasha berlalu, meninggalkan kedua sahabatnya.
"Perasaan gue doang apa emang kita berdua baik sama dia, tapi dia kasar banget sama kita, sih?" Gathan bertanya pada Radit seraya mengusap kepalanya.
"Kita baik, tapi idiot," Radit menyahut, menyusul Sasha.
Gathan dan Radit berdiri di belakang Sasha. Menanti pintu di buka. Tak lama kemudian, Fanala muncul dengan rambut basah dan berantakan khas baru selesai mandi. Di tangannya ada handuk. Dan Gathan mengenali aroma yang menusuk hidungnya. Sabun Dethol. Sampo Rejoice. Sebab ia menggunakan produk yang sama.
"Masuk dulu, gue mau ngeringin rambut."
Sementara Fanala menghilang di balik sebuah pintu yang pasti kamarnya, Gathan, Radit dan Sasha duduk menunggu di depan televisi yang kalah tinggi dengan tumpukan buku. Mereka bertiga kompak memilih lantai daripada sofa empuk berwarna coklat.
Gathan tak menghiraukan Radit yang tengah membujuk Sasha yang merajuk. Padahal itu tak perlu, sebab rasa kesal Sasha pada mereka berdua akan hilang sendiri dalam setengah jam. Ia sudah hafal.
Ada sebuah lukisan besar padang bunga matahari di salah satu dinding. Cantik sekali. Menenggelamkan Gathan ke dalamnya. Membayangkan...
"Karel bilang gak kalo gue gak bisa ngajarin tiap hari, Sha?"
Fanala muncul dari dalam kamar, rambut pendeknya dijepit setengah menggunakan jepit rambut berhias bunga matahari.
Sasha mengangguk. "Gue juga gak mau tiap hari, Kak. Hehe." Ia nyengir.
Fanala tersenyum. Paham. Ditempatinya posisi di sebelah Gathan, di seberang Sasha.
"Jadi lo mau ambil soshum apa saintek?" Fanala melipat tangan di atas meja.
"Soshum. Kayaknya gak tau diri banget kalo gue ambil saintek."
"Gak juga sih, Sha. Gue anak IPA tapi ambil soshum."
"Itu emang karena anak IPA hobi ambil lahan anak IPS," canda Sasha.
"Kan gak ada yang nyuruh anak IPS gak ngelakuin hal yang sama."
Gathan memperhatikan Sasha dan Fanala. Takut bila terjadi perang antara anak IPA dan IPS. Namun hal yang ditakutkannya tak terjadi tatkala Fanala lanjut berkata.
"Oke, kita belajar persamaan kuadrat dulu hari ini. Kita bahas dari yang paling dasar. Jadi..." Fanala meraih pensil dan buku yang barus saja Sasha keluarkan. Ia menulis sebuah persamaan yang tampak sederhana sekali.
"Coba kerjain dulu ini."
Sasha menerima buku itu. Ia memandangin soal itu.
"Kak..."
"Sebisanya, Sha... Gue mau tahu kemampuan lo."
"Kemampuan matematika gue nol besar. Sulit."
"Biar aku saja," Radit menyahut.
Sasha menoleh, pandangannya berjumpa dengan sahabat tampannya. Hanya dua detik bertahan, keduanya kembali pada kegiatan masing-masing. Sasha pada soalnya, Radit pada ponselnya. Sementara dua orang yang lain cuma bisa saling melirik dengan canggung.
"Beli camilan sana, Than. Jangan bengong-bengong doang lo," Sasha bersuara. Tak tahan pada keheningan. Membuatnya merasa disudutkan.
Gathan berdiri. "Uang, Dit."
Enaknya punya teman seperti Radit, uang ngalir kayak air mata cewek yang ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Lancar.
Gathan berangkat ke Indomaret dekat halte depan. Membeli semua camilan favoritnya yang tak mengandung kacang, sebab Fanala alergi pada kacang sama seperti Radit. Setelah mendapatkan semua yang ia inginkan, Gathan berjalan kembali ke kontrakan Fanala.
"Tanpa kacang." Gathan menumpahkan belanjaannya di atas meja yang ditebari beberapa buku paket. Karena tindakannya itu, ia mendapat tatapan sinis dari Fanala.
"Gue kan suka kacang," Sasha memulai.
"Di sini ada dua orang alergi, Sha. Lo harus belajar jadi orang pengertian kayak gue."
"Dua?" Radit menyahut.
"Lo sama Fanala," Gathan menjawab, ringan. Ia meraih satu bungkus keripik.
"Dari mana lo tahu?" tanya Fanala.
"Sasha," sahutnya sederhana di antara kunyah.
"Masa sih? Gue aja lupa." Sasha merasa heran. Tak biasanya Gathan ingat sesuatu seremeh itu.
Selanjutnya Sasha belajar dengan serius. Sesekali mereka bercanda saat sesi istirahat, meledakkan ruangan kecil itu dengan tawa. Fanala paling suka sesi cerita tentang Gathan dan Fira bersama permusuhan mereka di sekolah. Ia tampak gembira sekali.
Setelah lama kemudian, barulah mereka bersiap beranjak pergi dari rumah Fanala. Sasha sudah kelelahan mental. Tiga jam ini adalah salah satu waktu tersulit dalam hidupnya.
"Nanti gue kabari kapan pelajaran selanjutnya, ya, Sha?"
Sasha mengangkat tangannya, membetuk tanda 'ok'. Lalu mengekori Radit keluar.
"Than," panggil Fanala.
Gathan yang telah melangkah ke ambang pintu itu pun menoleh. Mereka saling berpandangan. Ia mengangkat alisnya.
"Tolong tutup pintunya, ya. Makasih."
Gathan mengangguk. Sudah, begitu saja.
Fanala kembali menunduk membaca sebuah buku tebal tentang Ekonomi. Namun sesaat pintu hendak terkatup, gadis itu berpaling. Membuat pandangan mereka sempat bertemu dalam celah sempit. Fanala dan Gathan.
Sekonyong-konyong Gathan menghela napas darurat, seolah ia ketinggalan satu ritme napas.
***
Jalanan basah bekas gerimis magrib tadi. Gathan mendorong pintu kaca sebuah toko bunga, membunyikan lonceng yang tergantung di atas pintu. Seorang gadis berambut pendek yang berdiri di depan konter menoleh. Wajahnya yang dipoles make up sederhana begitu dikenal Gathan. Walau ia tampak berbeda dalam balutan gaun berpotongan sederhana berwarna coklat muda.
Gathan menghampiri Fanala yang tersenyum biasa, namun ia berpaling untuk menghadapi karyawan di seberang konter.
"Satu buket bunga matahari," Gathan berujar. Kemudian menoleh pada Fanala. "Hai. Mau ada acara?"
Fanala mengangguk. "Murid gue ikut lomba gitu hari ini."
Murid?
Sebuah pemahaman meliputi wajah Gathan sedetik kemudian.
"Piano?"
Lagi, Fanala mengangguk. "Lo sendiri?"
"Nyokap gue ulang tahun hari ini."
"Gue gak tahu biasanya cowok inget hari ulang tahun ibunya."
"Gak banyak tanggal ulang tahun yang harus gue ingat."
Memang benar. Hanya ibunya, Radit, Sasha, dan... Hanya itu. Betul-betul tak banyak.
"Gue kira cowok cuma inget tanggal ulang tahun ceweknya," ejek Fanala.
"Gue kira," Gathan meniru nada mengejek Fanala, "gue bukan salah satu dari cowok sejenis itu. Karena kalo gue sampe lupa hari ulang tahun Sasha dan cuma inget hari ulang tahun cewek gue, di-blacklist gue dari hidupnya. Dan Sasha lebih berarti dari gabungan semua mantan gue."
Fanala tersenyum. "Gue harap Karel juga berpikir gitu," ujarnya iri. Lalu itu meraih buket bunganya yang telah selesai. Seraya Fanala membayar, Gathan memandanginya.
"Duluan, ya, " pamit Fanala.
Gathan mengangguk singkat. Matanya terus mengikuti Fanala. Ia bahkan sadar saat gadis itu berhenti sejenak untuk menatap sebuah pot bunga matahari berukuran sedang.
Beberapa menit kemudian Gathan keluar dari toko itu dengan buket besar dalam genggamannya. Langkahnya santai menuju halte yang hanya berjarak beberapa meter.
Senyum kecil mengisi sudut bibirnya saat melihat seorang Fanala Putri Nindya tengah duduk di bangku halte ditemani seorang siswi SMA yang sama sekali tak acuh pada orang di sekitarnya. Keduanya duduk berjauh, saling menepi ke ujung bangku.
Gathan mendekat. Tangannya sibuk di permukaan buket bunga besar itu.
Sementara itu Fanala yang tampak memesona malam itu menatap ponselnya, membalas beberapa pesan dari Karel juga... Kak Farrel. Ia selalu senang setiap ada pesan dari kakak sepupu Karel itu, setidak-berarti apapun pesannya.
Fanala agak terkejut ketika setangkai bunga hadir di depan matanya. Seketika ia mengangkat muka. Sosok Gathan berdiri di hadapannya.
"Hadiah," ujar Gathan sederhana.
Fanala meraih bunga matahari dari Gathan. Sedang si mantan empunya mengambil tempat di tempat sisinya.
Alis Fanala terangkat sedikit ketika ia bertanya, "Buat?"
"Buat Ibu guru Fanala yang muridnya mau ikut lomba malam ini."
Dengan senyum Fanala mengucapkan kata terima kasih.
Sejenak tak ada yang bicara. Hanya suara kendaraan yang mengisi indra pendengaran. Fanala agak bingung ingin ngobrol apa dengan Gathan. Memang sudah lama mereka saling kenal, tapi hanya sebatas tahu nama dan terkadang saling menyapa sambil lalu. Cuma itu.
"Fan?"
"Mm?" respon Fanala. Lega karena Gathan mulai bicara. Rasanya kaku sekali bila saling bungkam.
"Bingung gue mau ngobrol apa."
Fanala tertawa. Nah, kan dia juga mengalami hal yang sama.
"Ya udah gak usah ngobrol kalo gitu."
"Gatel mulut gue kalo gak gerak. Belum lagi otak gue kayaknya kerja keras banget nyari topik. Jadi berasa lagi mau PDKT. Ngomongin apa gitu kek."
Mendengus Fanala mendengar ucapan Gathan. Ada-ada saja.
"Itu sekarang udah ngomong."
Diam lagi keduanya. Fanala melirik Gathan yang kelihatannya tengah berjuang keras mencari bahan obrolan dengan otak—yang menurut Karel—kopong. Seraya berpikir, Gathan menggigiti bibir bawahnya. Ia kelihatan lucu.
Fanala merogoh tasnya. Kemudian menunjukan dua bungkus permen karet di tangannya pada Gathan.
"Biar mulut lo gak gatel. Kasian gue. Sampe kedengeran gitu otak lo ngeluh karena disuruh mikir keras." Fanala terkekeh.
"Yeee!" Gathan mengambil permen yang disodorkan padanya. "Gue gak sebego itu ya."
"Tapi kelihatannya gitu."
"Gak Karel gak temennya sama aja," keluh Gathan, yang membuat Fanala tertawa.
***
Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih. Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk. Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u