Share

Bab 3 : Cindaku abad 21

“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.

Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.

“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.

Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah satunya adalah penyewaan villa yang tersebar diseluruh Indonesia. Jadi, memberikan satu untuk teman-temannya bukanlah perkara yang sulit baginya.

Azlan pun memandang ketiga temannya dan mereka hanya tersenyum penuh arti. Azlan merasakan sesuatu yang tidak beres di sini. “Apa kalian mencoba memprovokasi Lean?” Azlan mencoba menebak dan seringaian dari mulut Tora keluar begitu saja.

“Akan sangat menyenangkan, selama ini kita cukup menahannya, kan? Lean, sudah merasa menguasai segalanya, terakhir ia mencoba menggoda Tania.” Tangan Tora mengepal, amarahnya keluar bersamaan dengan dua telinga aneh di dua sisi kepalanya, belum lagi ekor bertutul putih dan hitam yang mirip dengan manusia setengah harimau.

Ketiga temannya nampak tak kaget dengan perubahan Tora. “Akhir-akhir ini amarahmu tidak bisa dikendalikan ya? Hati-hati, itu akan menimbulkan kepanikan para manusia.” Azlan mencoba memperingatkan Tora dan cowok itu mencoba menghela napas, menetralkan emosinya membuat taring yang tadi keluar, menghilang kembali. Telinga tambahan dan juga ekor panjangnya pun menghilang.

“Meskipun manusia bukan tandingan kita, kita jangan lupa dengan perjanjian yang tertulis jika seharusnya kita hidup berdampingan dengan manusia?” Arai menyahut, mencoba untuk mengingatkan seluruh temannya.

Lilo mendengkus. “Menyusahkan, kenapa kita tidak bisa berubah dengan bebas. Aku semakin berambisi untuk memperbanyak keturuan. Jadi, populasi Cindaku seperti kita akan bertambah. Bukankah evolusi dari hanya kita bisa ditinggal di tanah nenek moyang sudah bisa di atasi? Kenapa tidak lagi meneliti cara untuk meningkatkan populasi bangsa Cindaku? Lagi pula, kita tidak punya banyak waktu untuk berubah menjadi harimau dengan benar. Akan sangat mencengangkan jika di ibu kota Jakarta terdapat harimau berkeliaran,” kata Lilo yang membuat seluruh temannya tertawa.

“Setidaknya kita lebih unggul dari manusia, dilihat dari aspek mana pun.” Tora bersuara, setelah sebelumnya ia masih berusaha untuk meredakan amarahnya.

“Benar dan para cewek tolol itu terkadang bertanya sesuatu yang menyebalkan. Kakak gans, gimana caranya bisa secakep ini?” ungkap Lilo yang merasa heran dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting dari cewek-cewek yang selama ini mengikutinya.

Arai tertawa. “Mangkanya jangan suka tebar pesona. Lo kan yang paling buaya diantara kita.” Todong Arai yang seketika membuatnya mendapatkan pukulan bantal dari Lilo.

“Bukannya lo semua sama, kita Cuma suka melihat manusia yang sombong untuk dipermainkan.” Memang benar, mereka bertiga menyetujui argument Arai. Para manusia itu makhluk yang sok paling sempurna, membuat kaum Cindaku seperti mereka membencinya.

“Memang kita harus sering-sering mempermainkan mereka. Agar merekat tau, kalau kita lebih hebat dari mereka,” celetuk Lilo dan diamini oleh ketiganya.

---888---

Fanya sudah sampai di kosan, ia merasa hari ini cukup menyulitkannya. Terutama kehadiran Azlan dengan maksud yang tidak benar-benar ia pahami. Namun, ketika ia mencoba untuk mengeluarkan jurus terakhir dengan tidak mempedulikanya. Bayangan Azlan semakin sering datang, seolah menghantuinya dengan senyuman menawan itu.

Fanya pun menjatuhkan dirinya di kasur dan mengacak rambutnya dengan frustasi. “Bego! Kenapa sih harus ingat dia terus?” gerutunya pada diri sendiri, merasa benci karena dengan gampangnya ia suka pada cowok seperti Azlan.

Fanya pun mencoba memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara handphonenya. Dilihatnya layar itu dan seketika ia terkejut saat tahu siapa yang meneleponnya. Terlihat mulai panic, tapi ia tidak segera mengangkat telponnya. Sampai-sampai Fanya salah mengangkatnya dari pada mematikannya. “Ah, sialan!” pekiknya.

“Siapa yang sialan?” tanya seseorang yang berasal dari handphonenya.

Fanya seketika membungkam mulutnya rapat-rapat, sudah puluhan makian dalam hatinya yang ia keluarkan untuk memaki dirinya sendiri yang begitu bego.

“Fan, ini gue Azlan. Lo dah nyimpen nomer gue, kan?” tanya Azlan dari balik ponsel Fanya yang entah semenjak kapan menjadi mode speaker.

Fanya mencoba memegang dadanya dengan tangan kiri dan menghela napas panjang tanpa suara. Ia mencoba untuk menetralkan kepanikannya. “Iya gue inget, ada apa ya Zlan?” tanya Fanya sedatar mungkin agar Azlan tak tahu kalau dia panic setengah mati.

“Gue ganggu nggak?” Terdengar suara lembut dan meneduhkan itu. Hati Fanya menjerit, meminta tolong untuk diselamatkan karena sekarang ia terkena virus bucin.

“Nggak juga, gue lagi mau ngelanjutin tugas lo.” Padahal Fanya masih guling-guling di kasur, salah tingkah hanya karena ditelpon Azlan.

“Em … gimana kalau kita nongkrong bareng aja di café depan kampus. Gue jemput deh,” tawarnya yang membuat Fanya menganga. Pikirannya berkecambuk dan merasa penasaran juga, antara ingin menolak tapi sayang karena ingin tahu maksud dari perkataan Azlan dengan mengajaknya nongkrong.

Fanya pun duduk, mencoba merapikan rambutnya yang acakan. “Emang ada apa ya?” Lagi-lagi pertanyaan itu terulang. Dasar Fanya, hanya bisa menjadi manusia monoton dan membosankan. Ia sendiri tidak tahu kenapa bertingkah seperti ini.

“Gue takut lo kesulitan, jadi kalau kita bahas bareng kan lebih mempermudah. Karena gue sama temen-temen pengen tugas itu cepet selesa. Biar lo ngerjain tugas kita yang lan,” sambung Azlan yang membuat Fanya mangut-mangut merasa alasan Azlan cukup masuk akal. Kalau pekerjaannya cepet selesai, berarti nantinya ia bisa menerima tugas lain dari para cowok ini kan dan itu tentunya bisa menambah penghasilannya. Lagi-lagi Fanya lebih memikirkan uang di atas apa pun.

“Baik, gue terima ajakan lo. Em … lo tau kan dimana kosan gue?” tanya Fanya takut Azlan belum tahu dimana kosannya.

“Gue tau kok, tenang aja. Lo siap-siap dulu dan tunggu gue,” balasnya, suaranya terdengar lebih riang dari sebelumnya. Fanya yang menyadarinya semakin merasa kalau dugaannya tentang perasaan Azlan kepadanya itu benar. Namun, keraguannya juga tak kalah besar, membuatnya memilih untuk mengabaikannya saja.

“Ya uda,” balas Fanya yang tidak sanggup lagi untuk mengatakan banyak kata. Ia lebih memilih untuk memutuskan sambungan telepon yang menggetarkan ini, membuat jantungnya berdegup tak menentu.

Fanya pun menghela napas panjang, merasa lega. “Bego lo Fan! Kenapa bilang ya terus, nggak nolak sama sekali? Apa sih yang ada dalam pikiran lo!” lirih Fanya yang mengomentari dirinya sendiri karena dengan mudahnya mengiyakan semua perkataan Azlan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status