Share

Bab 4 : Suka Fanya yang Biasa Saja

Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.

Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?

“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya merutuki dirinya karena merasa heboh sendiri.

Bahkan wajah Fanya berubah masam karena hanya dia yang sepertinya merasa campur aduk. “Uda lama nunggunya?”  Dari pada menjawab pertanyaan Azlan, Fanya masih berandai-andai jika dirinya bersama Azlan sama sekali tidak cocok. Dari mobilnya saja, sudah menggambarkan segalanya, belum lagi sikap santai Azlan yang sepertinya memang tidak benar-benar memiliki tujuan lain selain ingin tugasnya cepat selesai. Hal ini tanpa sadar membuat Fanya kecewa sekaligus sedih.

“Fan, lo bak-baik aja, kan?” Azlan bertanya kembali dan Fanya yang sadar seketika menunjukkan wajah datarnya kembali. Sepertinya, ia harus kembali pada realita dan tidak lagi memimpikan sesuatu yang semu. Karena itu seperti berharap pada sesuatu yang tinggi dan jika jatuh akan menyakitkan.

“Gue baik-baik aja,” balas Fanya sebisa mungkin untuk memperlihatkan kedatarannya seperti biasanya.

Azlan pun tersenyum. “Ya uda yuk, keburu malem,” ajaknya yang bahkan dengan beraninya menarik tangan Fanya, membuat jantung Fanya semakin tak karuan. Badannya panas dingin, ini pertama kali tangannya digandeng cowok yang bukan temannya.

Bahkan Azlan membuka pintu untuk Fanya, terlihat sweet dalam bersamaan. Nadya yang baru saja datang bersama teman-temannya dari warteg depan gang pun tercengang.

“Cie … cie,” teriak salah satu temannya. Memandang Azlan tanpa berkedip. Mereka akan melanjutkan untuk menggoda Fanya, tapi Fanya sudah menghujani mereka dengan tatapan ingin membunuh. Seketika mereka menjadi bungkam. Meskipun wajah mereka terlihat sekali menahan tawa.

Apa lagi saat mulut Fanya berkomat-komit seolah berusaha menyampaikan ancamannya tanpa suara. Teman-temannya pun memilih untuk masuk dan Fanya yakin jika mereka pasti mengintip di jendela. Menggosipkan dirinya dan menertawainya. Mengingat itu, rasanya Fanya ingin menjatuhkan dirinya pada lubang apa pun yang bisa muat untuknya dan membuat dirinya tak terlihat. Setidaknya, ia tidak harus menghadapi wajah menyebalkan teman-temannya.

Sepanjang perjalanan, Fanya terus berpikir dan merasa tidak nyaman jika siapa pun yang mengenalnya akan menemukan mereka di café depan kampus. Bukankah lebih baik jika mereka ke tempat lain yang terbuka, tapi lebih sedikit digosipkan? Semisal perpustakaan?

“Lo serius banget, lagi mikir apa?” Suara Azlan mengagetkan Fanya yang semenjak tadi tegang dan sibuk dengan segala pikiran negatifnya.

Sebelum berbicara, Fanya pun mencoba menghela napas untuk menetralkan segala luapan perasaan yang hadir pada dirinya. “Kita ke perpustakaan aja, gue takut anak-anak gosipin aneh-aneh kalau ke café. Di perpus kan jelas kita mau berdiskusi,” katanya tanpa perlu berbasa-basi. Selalu, mengungkapkan apa yang ia pikirkan.

Azlan tersenyum, seolah ia baru mengetahui satu hal yang menjadi kebiasaan Fanya. Realitanya cewek ini tidak suka berbasa-basi. “Gue lebih suka digosipin sama lo dari pada cewek lain.” Serangan mendadak yang tiba-tiba hadir membuat jantung Fanya koleb.

Namun, ia tidak ingin lagi terlihat bodoh di hadapan Azlan. Jadi, Fanya memutuskan untuk terlihat biasa saja. “Gue turun nih kalau lo godain terus kek gitu,” protesnya dan tawa Azlan terdengar, ini pertama kalinya Fanya melihat Azlan tertawa lepas seperti itu. Lebih dari sekedar manis, menawan ia. Membuat yang melihat ingin menggigitnya karena gemas.

“Okay, kita ke kampus sekarang,” jawabnya dengan cepat. Ia sepertinya tak mau Fanya merajuk, mengingat cewek ini tidak akan main-main dengan tindakannya.

Mobil mereka malaju dengan kecepatan rata-rata dan tak menunggu begitu lama, mereka telah sampai di kampus. Sebenarnya, mereka juga bisa berjalan karena jarak antara kampus dengan kosan tak terlalu jauh. Biasanya juga, Fanya datang ke kampus dengan berjalan kaki.

Saat mobil melaju melewati pintu gerbang universitas, pandangan beberapa orang terutama para cewek tertuju pada mereka. Membuat Fanya merasa tertekan dan Azlan sepertinya menyadari hal ini. “Kita akan memarkirnya di sebelah perpustakaan. Jadi, lo nggak perlu cemas,” katanya sembari memberikan senyuman menenangkan, membuat Fanya merasa di dalam perutnya ada kupu-kupu yang berterbangan.

Setelah sampai di depan perpustakaan, mereka keluar dan hari sudah gelap. Perpustakaan tidak terlalu ramai dan itu cukup melegakan untuk Fanya.

“Ayok,” ajak Azlan yang lagi-lagi menggenggam tangan Fanya untuk berjalan beriringan dengannya.

Sesampainya di dalam perpustakaan, mereka benar-benar serius membahas tentang tugas. Tidak disangka Azlan berpengetahuan cukup luas dan kalau dipikir-pikir tipikal cowok seperti Azlan itu tidak mungkin malas untuk mengerjakan tugas. Tetapi kenapa ia malah menyerahkan tugasnya untuk dikerjakan oleh Fanya. Seolah ia melakukan hal ini untuk tujuan lain dan setiap kali Fanya memikirkan hal ini, seketika itu pula ia menepisnya. Namun, rasa penasaran membuncah, membuatnya tidak bisa hanya berdiam diri saja.

“Kalau lo paham, kenapa nggak bikin tugas sendiri?” tanya Fanya yang tidak bisa membendung lagi rasa penasaran.

Azlan pun tersenyum, memandang Fanya dengan tatapan penuh minat, membuat Fanya mencoba untuk mengalihkan pandangannya. “Kalau gue bilang karena gue tertarik sama lo gimana?” tanyanya yang membuat Fanya lagi-lagi terkejut. Ia tidak menyangka jika pria ini sangat suka membuat dirinya seolah terkena serangan jantung. “Dan gue nggak suka pengalihan, jadi gue pengen pendapat lo tentang gue,” lanjut Azlan.

Mampus! Fanya membatu seketika, bingung ingin mengatakan apa. Sungguh, serangan cogan itu membahayakan hati dan pikiran. Lama-lama Fanya bisa benar-benar seperti cewek bego. “Menurut lo, masuk akal nggak semua ini? Gue cewek biasa aja yang pengen cepet lulus kuliah dan dapat kerjaan. Nggak ada yang menarik dari gue, selain anak-anak bisa pinjam keterampilan gue buatin mereka berbagai jenis tugas.” Fanya yang logis ini tentu lebih suka membicarakan sesuatu lebih realistis.

Tidak merasa kesal atau terpojok dengan ucapan Fanya, Azlan yang masih memandang Fanya dengan tatapan penuh ketertarikan itu mengulurkan tangannya untuk membenarkan rambut Fanya yang menghalangi matanya. “Gue suka sama Fanya yang biasa aja,” jawab Azlan yang lagi-lagi membuat Fanya tidak bisa mengatakan apa pun. Dadanya bergemuruh untuk pertama kalinya, dalam hati Fanya menertawai dirinya sendiri yang ternyata tidak lebih baik dari cewek lain yang mudah baperan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status