Setelah selesai mengantar Aubrey. Dominique melanjutkan perjalanan menuju perusahaan. Sesampainya di perusahaan, Ia melangkah melewati lobi depan dengan ekspresi dingin. Kaki-kaki gagahnya mengeluarkan suara hentakan yang membuat nyali ciut setiap karyawan yang mendengarnya.
Bukan Dominique namanya, jika menyapa dengan sebuah senyum. Wajahnya yang selalu terlihat kaku dan datar sudah biasa dinikmati para karyawan perusahaan. Namun, bagi mereka tidaklah penting, yang terpenting fasilitas yang perusahaan berikan tidak sekaku dan sedatar wajah bosnya.Dominique sampai di ruang kerjanya, setelah melewati beberapa lantai dengan menggunakan lift. Ia membuka pintu dan melihat Tony sedang duduk di sofa. Dominique membuka kancing jas dan meletakkan bokongnya tepat di samping Tony duduk.Tony tanpa basa-basi langsung menanyakan kepada Dominique apa yang hendak ingin ia katakan. Sudah semalaman Tony merasakan kegelisahan dan hanya bisa menebak-nebak saja. Oleh kar"Ini kamar Dominique, Tante tinggal, ya? Coba kamu ketuk saja," ucap Bella setelah mengantar Aubrey ke depan kamar Dominique. "Baik, Tante. Aku akan menyelesaikannya dari sini." Aubrey menjawab dengan yakin. Aubrey mengetuk pintu kamar Dominique berulang kali. Meskipun, Dominique mendengar tetapi ia tidak ingin membuka pintu. Ia tidak ingin Aubrey melihat kondisinya saat ini. Apalagi kalau sampai tahu ia berkelahi dengan Tony gara-gara Aubrey. "Open it, damn Dominique. I want to talk to you! Aku tidak akan pergi dari sini sampai urusan kita selesai, oke!" teriak Aubrey. Pada akhirnya, Dominique mengalah dan membuka pintu. Benar saja tebakan Aubrey, Dominique memiliki memar yang sama seperti Tony. Pasti hal ini ada hubungannya dengan tindakan gila Tony di galeri. "Apa yang terjadi pada kalian? Kalian bertengkar, seperti anak kecil saja," cerocos Aubrey. "Kalian?" Dominique mengernyitkan dahi. "Ya, kau dan Tony."
Hari sudah mulai gelap. Matahari telah tenggelam meninggalkan kehangatan dan menyisakan dingin malam. Aubrey masih berkutat dengan sketsanya. Ada dua lukisan pesanan pelanggannya yang menjadi prioritas. Memang lukisan itu belum sempat diambil karena si pemilik sedang keluar kota. Kini, Aubrey harus mengulang semua. Sebenarnya Aubrey sudah sangat lelah, tetapi mau bagaimana lagi, itu semua adalah tanggung jawabnya. Telepon Aubrey berbunyi. Ternyata Dominique yang menghubunginya karena khawatir. Setelah tahu Aubrey masih berada di galeri, Dominique langsung memutuskan teleponnya dan menuju ke galeri untuk menemani Aubrey. "Kok diputus. Tidak jelas, nih, Dom," gumam Aubrey. Saat di tengah kesendiriannya dan asyik menggambar, ada suara ramai di depan galeri. Aubrey lantas langsung meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke depan untuk memeriksa apakah yang tengah terjadi. Sudah banyak orang berkumpul, rata-rata para penyewa bangunan di sekitar galeri milik Aubr
Pagi telah datang menyapa. Aroma bekas hujan menguar dan menerobos dari balik jendela yang dibuka. Aubrey menggerakkan tubuh dan memperhatikan tubuhnya, kemudian, terdengar hela pendek napasnya. Di sana sudah ada pelayan yang biasa merapikan kamarnya. Aubrey memang ketika tidur tidak pernah mengunci kamar dan dia menunjuk salah satu pelayan untuk membersihkan kamar dan sekaligus membangunkannya. "Selamat pagi, Nona Aubrey," sapa pelayan wanita keluarga Calandre. "Morning," balas Aubrey sambil mengucek matanya. "Tampaknya anda begitu lelah, Nona?" tanya pelayan tersenyum sambil merapikan gorden kamar Aubrey. Aubrey mengernyitkan dahinya, seperti berpikir dari mana pelayannya tahu? Sang pelayan menunjuk ke arah tubuh Aubrey dan ia mengikutinya. "Oh, i see!" seru Aubrey. Ternyata Aubrey belum sempat mengganti pakaiannya dengan piama. Ia tertidur masih dengan pakaian yang kemarin ia pakai ke galeri."Ada permintaan khu
'Oke, kita bertemu di kafe dekat kantorku sekarang. Aku tidak mau pergi ke galerimu! Oh, iya jangan lupa, jangan terlambat, aku sibuk dan tak akan menunggu kedatanganmu.' Dominique membalas pesan singkat Aubrey.Tanpa menunggu balasan dari Aubrey, Dominique gegas berpakaian sebagus mungkin untuk menaklukkan hati Aubrey. Pada awalnya, dia hanya ingin beristirahat di rumah. Namun, banyak rencana berputar di otaknya dan berulang kali ia menyeringai tanpa disadari. Setelah selesai bersolek, Dominique pamit kepada Bella untuk menemui Aubrey, yang tentu saja pasti diijinkan oleh Bella. Ia pun pergi mengendarai mobilnya meluncur menuju kafe tempat pertemuan yang dipilih olehnya. Sesampainya di sana terlihat Aubrey sudah sampai terlebih dahulu, ia duduk termenung sambil menatap jauh ke depan. Rambutnya yang kecoklatan tergerai indah, wajah putih dan mata yang sayu makin memancarkan kecantikannya pada saat itu. Sesaat Dominique merasakan getaran yang tidak biasa,
"Cass sudah tahu tentang rencana pertunangan Dominique. Dia pasti akan menggila. Aku harus temui Aubrey, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padanya. Akan tetapi, apakah ia mau menemuiku? Ah, biarlah! Itu urusan nanti." Tony bermonolog sambil mondar-mandir, kemudian ia gegas menaiki mobilnya. Mobil Tony melesat menuju galeri Aubrey. Dalam hitungan menit, ia sudah sampai di sana dan lekas memarkirkannya. Ketika turun dari mobil dan sampai di depan galeri, terlihat Aubrey sedang menorehkan tinta di atas sketsa. Wajahnya yang serius makin terlihat cantik dan membuat Tony enggan melepaskannya. Lonceng angin berbunyi, saat pintu galeri terbuka. Aubrey menoleh dan melihat siapa tamu yang berkunjung ke galerinya. Saat melihat Tony, ia langsung ingin pergi, tetapi Tony berhasil mencegahnya. Dengan beberapa kata yang diucapkan, akhirnya Aubrey mau berbincang dengan Tony. "Duduklah!" Aubrey mempersilakan Tony duduk. Kedua orang itu duduk berhada
Dominique dan Aubrey sampai di Paroki Plaquemines. Pemandangan indah terlihat sejauh mata memandang di sana. Terdapat pula sebuah rumah kecil di pinggir danau dengan fasilitas lengkap. Setelah memarkirkan mobilnya, Dominique langsung menarik Aubrey keluar dari mobil. "Aww! Dominique, are you crazy? Apa yang terjadi padamu, hah?"Dominique tidak menghiraukan ucapan Aubrey. Ia terus menarik tangannya memasuki rumah kecil tersebut. Aubrey diempaskan ke atas sofa dengan kasar, kemudian tubuhnya dikurung dengan dua tangan kekar Dominique. Aubrey tampak marah dengan sikap Dominique. Ia lalu mendorong tubuhnya hingga terjerembab ke belakang. Aubrey berdiri tepat dimana Dominique terbaring, "are you insane, Dom? What are you doing, hah?"Tampak kilatan kemarahan di mata Aubrey. Ia memandang Dominique yang masih berbaring di lantai dengan penuh tanya. "Baiklah, terserah kau. Bagaimana pun caranya aku akan pergi dari sini," ucap Aubrey.
Hari sudah mulai siang. Terik matahari memasuki ruang tidur dimana Aubrey terlelap. Panasnya mulai mengganggu tidur nyenyak sang putri yang habis bertempur semalaman itu. Tubuh Aubrey mulai terasa hangat karena terpaan sinar tersebut dan akhirnya ia mulai membuka mata. Gorden dan jendela di kamar sudah terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya sedang merapikan seisi ruangan. Aubrey tampak canggung, pasalnya ia masih dalam keadaan tidak mengenakan sehelai benang pun. "Selamat pagi, Nona Muda. Perkenalkan saya Amber, pelayan di vila ini. Saya bertugas untuk melayani anda. Maaf, apakah ada yang anda inginkan?" Pelayan itu menyapa. "Oh, iya, pertama sebaiknya aku membersihkan tubuh terlebih dahulu. Apakah kau keberatan kalau aku meminta untuk diambilkan handuk?""Dengan senang hati. Oh, iya, Nona. Sarapan sudah siap di meja makan dan ini baju ganti. Satu lagi karena ada keperluan mendesak Tuan Dominique pulang terlebih dahulu ke New Orleans. Beli
Dominique pergi dari vila malam itu juga. Setelah sedikit minum sampanye dan berpakaian, ia gegas kembali ke New Orleans untuk menenangkan hatinya. Dalam perjalanan banyak tanya yang berada di pikirannya. Mengapa ia melakukan itu? Bukankah ia ingin membalas perbuatan Aubrey yang menyakitinya, tetapi kenapa malah mereka bercumbu? Hal itu akan menjadi lebih sulit nanti bila Dominique ingin meninggalkan Aubrey. Dominique bukanlah penjahat yang suka mengambil keuntungan dari seorang wanita apalagi masalah seks. Niat awal ia hanya ingin berlaku dingin kepada Aubrey karena secara sepihak memutus rencana pertunangan mereka. Namun, kejadian semalam membuat ia harus berpikir ulang. "Ah, sial. Kenapa aku harus melakukan itu kepadanya. Tampaknya hal tersebut juga pertama untuknya. Aku makin merasa bersalah dan sulit untuk pergi darinya." Dominique memaki sepanjang perjalanan. Hampir menjelang pagi Dominique sampai di mansionnya. Setelah mengganti baju dan menelepo