Jimi tidak membuang waktunya. Ia menceritakan seluruh rencana Contus. Mulai dari memanfaatkan Kani yang memiliki kemampuan vital, tujuan Contus menggiring Agora Beak menuju Monas di mana seluruh galian Agora ditimbun di sana, hingga kebangkitan Astoret. Mischa, Umbu dan Teja mendengarkan dengan serius.
"Astoret.. jadi itu raja mereka? mungkin Terak Nova keempat?" ucap Teja setelah mereka diam cukup lama usai Jimi menyelesaikan ceritanya.
"Mischa. Kapan Listu akan menunjuk kapten mangata yang baru?" tanya Umbu. Mischa menyeruput minuman di cangkirnya.
"Entahlah, mungkin dalam waktu dekat. Kalian yang pernah menjabat posisi itu juga bisa menanyakannya langsung bukan?" balas Mischa.
"Cih, perempuan keras kepala itu!" sergah Umbu.
"Sama kayak lo goblok. Makanya engga usah marah-marah kalau rapat evaluasi," timpal Teja.
"Hah! Ulangi lagi omonga lo!?" Umbu tersulut dan menantang Teja.
"Go.Blok. Sudah bersihin kuping kan lo hari ini,
"Hei Jimi! Gimana? sudah mual belum?" ledek Umbu. Ia tidak mendengar suara Jimi sama sekali sejak penjelasas terakhir Teja. Jimi ingin mengiyakan, namun bukan karena takut melainkan urusan yang jauh berbeda dengan hanya berkelahi. "Apa motivasi lo bergabung dengan Agora Beak, Jimi?" tanya Teja dengan wajah mesem. "Engga ada bang, saya masih bingung. Setelah mengalahkan Shabnock, saya merasa dendam orang tua saya sudah terangkat," jawab Jimi. ".. Sekarang lo tinggal dengan siapa?". "Bibi saya bang. Ia yang mengasuh saya sejak orang tua saya meninggal." "Engga begitu buruk ya.. dan sekarang malah kehilangan arah. Kekuatanmu akan sia-sia di depan terak jika sudah lembek seperti itu," timpal Umbu tiba-tiba. Jimi diam, biasanya ia akan marah jika ada yang menyinggung prinsip atau mendiang orang tuanya, namun sepertinya ia membenarkan ucapan Umbu. "Umbu benar. Konsentrasi lo akan goyah dan shrapnel bisa jadi hanya akan memakan diri lo," ucap
Rapat grup dilakukan di salah satu ruang latihan. Tidak hanya perlengkapan berlatih, secara kebutuhan, perlengkapan untuk rapat juga disediakan. Ruang latihan berwarna putih dan kosong itu sekejap berubah menjadi ruang rapat dengan empat buah meja panjang yang dilingkari 12 kursi. Suhu ruangan juga dapat diatur sedemikian rupa sehingga nyaman digunakan.Herna Mischa tidak membuang waktu untuk mengenal seluruh anggotanya. Ia meminta seluruh berdiri memperkenalkan diri sekaligus unjuk gigi terkait kemapuan turunan shrapnel miliknya. Menurut Mischa, hanya Danti yang tidak dapat hadir karena posisinya yang juga kapten dan urusannya menumpuk banyak, hal tersebut dibenarkan oleh anggotanya, Prinza Jodi.Saat presentasi, seluruh anggota saling berdeacak kagum melihat kemampuan anggota baru, begitu juga dengan anak baru yang melihat kefasihan senior mereka memeragakan kemampuan. Semua kecuali Prinza yang mengaku tidak memiliki kemampuan turunan meski menggunakan shrapnel.
Kida dan Jimi berpamitan kepada Indri. Toko kelontong yang besar kehilangan lagi kehidupannya dan perlahan menuju senja, namun wajah tegar indri yang pernah meluluhkan Ayu tidak patah semangat. Ia bersoloroh akan mencari pekerja pria yang kuat dan tampan untuk membantunya kerja di toko ini. Semangat Indri menyadarkan Kida bahwa tidak harusnya sedari awal ia berusaha menggantikan Ayu. Sebelum melepas mereka, Indri mengusap pelan kepada Kida, berterima kasih sudah menjadi teman Ayu yang baik. Mereka akhirnya pamit pulang. Jimi bersikeras mengantar Kida pulang dengan berjalan kaki. "Hei, bocah. Terima kasih," ucap Kida tiba-tiba tanpa memandang Jimi. Jengkel, Jimi menggodanya. "Hah? mau tahu isi? kok repot?" goda Jimi. "Terima kasih! Telingamu ketinggalan di sekolah ya!?" hardik Kida. Jimi tertawa saja mendapat respon itu. "Rumah lo dimana sih? Jauh banget!?" Jimi mula mengeluh. "Salah sendiri bersikap pamrih," balas Kida. "Hah? p
Ujian mid-semester berlangsung selama 4 jam tanpa henti. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran yang primer digunakan sebagai dasar kenaikan kelas nantinya. Seluruh siswa mencurahkan konsentrasi pada ujian semu pertama ini, motifnya satu, mengukur kapasitas otak mereka.Hal itu pula yang mendorong Bram dan Kani melakukan praktik ilegal di kelas, uang atau mineral yang mereka cukup untuk menyenangkan hobi mereka nanti. Namun setelah 30 menit ujian berjalan. 4 orang anggota Agora menyadari sesuatu yang aneh."Soalnya gampang banget!?" batin Jimi, Afif, Soca dan Kani. Mereka berempat terpana mengetahui bisa mengerjakan seluruh rangakaian ujian Mid-semester. meski jenis ujian berjenis pilihan ganda, namun mereka dapat mengerjakan rangkaian ujian tersebut meski hanya melihat soal ujian tersebut sepintas."Tahu gini, engga bakal gue ambil contekannya Kani," sungut Jimi yang benar-benar yakin dengan jawabannya."Tahu gini, gue aja yang jadi makelarny
Maya baru saja menyelesaikan tesnya dan berjalan ke arah Afif dan Evan. Afif cukup menyesal karena tidak menyaksikan kebolehan Maya dalam menyerang sandsack. Evan kikuk, namun ia memutuskan untuk tetap tinggal bersama Afif. Maya datang dengan bola mata yang besar dan senyum penuh rasa bangga."Hai Afif! Stevan?.. kalian satu grup ya?" tanya Maya ramah dan nadanya yang tegas."Ha, halo Maya," balas Evan separuh gugup."Iya mba! kami berdua satu grup dan Bang Evan mangata kelas C!" sahut Afif terpancing ikut menjawab penuh semangat."Oh iya!? Menarik! Gue bangga kalau kawan gue berhasil mencapai tingkat yang baru! Selamat Evan!" ujar Maya sambil menjulurkan tangannya kearah Evan. Seakan kehilangan kata-kata, Evan hanya menjabat tangan Maya dan mengucapkan terima kasih."Lo masih ingin menjadi guru, Maya?" tanya Evan."Selalu, hingga hari hari ini!," jawab Maya dengan wajah jumawa."ahahaha.. dan gue masih mencari jati diri," uc
"Kyaa!" Nora masih berteriak sambil mengejamkan mata karena dirinya ditarik ke balik pintu tiba-tiba. "Nora! Nora! Gue Afif!" ujar Afif yang rupanya berhasil menarik Nora. Ia kemudian memeluk Nora sambil menenangkannya. Merasa dekapan yang hangat memenuhi tubuhnya, Nora kemudian diam sambil perlahan membuka kedua matanya. "Hah!? Hah!? Lo siapa? Kenapa peluk-peluk gue!?" kaget Nora yang mendapati sudah ada di dekapan seseorang. "Eng.. Gue Afif. Lo engga apa-apa kan?" Afif kemudian memunculkan wajahnya. Nora terkejut kemudian memeluk Afif. "Peluk aku saja, FIf," ucap Nora kegirangan berhasil menemukan Afif. Namun, Afif justru berusaha melepaskan pelukan Nora. Affi memegang kedua lengan Nora namun wajahnya ia buang tidak menatap mata Nora. "Kamu kenapa?". "Engga.. gue engga apa-apa," jawab Afif terbata. Nora mulai risau, namun ada rasa jengkel di hatinya. "Aku tahu kamu engga terlalu senang saat aku mendekatimu.. Menghindar, Marah
Afif menjadi setengah sempoyongan. Kepalanya mendadak migrain dan saat mengedipkan matanya, sesekali ia melihat bayangan perempuan kecil. Bayangan yang seakan ia begitu kenal, namun kutukan itu menarik paksa ingatan Afif. Tidak kuat, afif jatuh berlutut, bertumpu di salah satu kakinya. Nora berusaha menghampiri, namun dengan cepat Afif menahan Nora mendekatinya. "Siapa lo sebenarnya Nora?" tanya Afif bertanya retoris. Nora memilih diam karena apapun yang keluar dari mulutnya bukanlah jawaban yang Afif inginkan. Wajahnya memelas, sebenarnya ingin memohon pada Afif untuk menahan diri agar tidak berfikir terlalu keras. "Sejak gue kehilangan kedua orangtua, Jenar selalu menyemangati. Wajah cantiknya tidak sangat jauh berbeda dengan tangannya yang kuat dan bisa diandalkan. Hingga kami tinggal bersama tetangga yang memiliki usaha pembuatan mie." Afif mulai bercerita. Menurut hematnya, jika ia menceritakan semuanya dari awal, ada yang benar-benar bisa Nora lakukan baginya.
Listu segera menggunakan kemampuannya untuk mengintimidasi Afif dan Nora sehingga mereka tidak berlari kabur. Nora yang baru pertama kali merasakan sensasi ini jelas ingin memberontak namun sia-sia, alhasil wajah Nora sewot dengan kegeramannya. "Oke, sekarang sudah bisa diam. Saatnya kalian bayar tiket masuk," ucap Listu santai tapi gesturnya memaksa. "Be, berapa mba?" Afif mencoba pasrah, namun tidak dengan Nora. "Lepasin Mba! Memalak siswa adalah kegiatan ilegal di sekolah! Apalagi kalau kamu yang melakukannya!" seru Nora. Listu hanya tersenyum simpul dengan mengacuhkan ancaman Nora. "Masing-masing 1 buah ambrosia," jawab Listu. Afif terkejut mendengar tarif yang luar biasa mahal itu, mulutnya terbuka dan matanya terbelalak. Melihat ekspresi tersebut Nora ikut bereaksi keras. "Afif! jangan berikan ke nenek sihir itu! Kita masuk rumah hantu engga jelas ini karena tidak sengaja," seru Nora berusaha mengelak dan membujuk Afif. Bukan berge