[Lapangan depan El-Dorado]
Listu sudah berdiri berhadapan dengan terak besar yang terus menyebut dirinya sebagai Moret. Terak berbentuk terenggiling berdiri tersebut cukup banyak bicara namun ia belum juga menyerang Listu, kecuali berdiri mengamankan sesuatu. Sembari mengulur waktu, Listu membaca situasi dan lingkungannya.
"Sebelum menggunakan shrapnel, gue memang merasa mampu menggunakan kekuatan turunan tanpa shrapnel. Tapi setelah gue pakai, kondisi tubuh gue lebih stabil, telinga gue terlalu pengang.." gumam Listu. Perlahan namun pasti, rasa sakit ditubuhnya menghilang seiring dengan regenerasi.
"Buff!"
Listu berteriak dan mengubah penampilan yang dikelilingi dengan lingkaran, mantra dan cahaya. Moret terkesima dan segera menutup matanya karena awalnya silau melihat perubahan tersebut. Listu menggenggam sebuah tongkat yang ia gunakan sebagai senjatanya, seluruh buff support diarahkan kepada dirinya. konsentrasi daya yang besar pada sa
Ujang menjerit sejadinya saat sebuah tombak trisula menembus pahanya. Awalnya ia kaget melihat benda bulat raksasa yang dapat dihentikan dengan mudah oleh penjaga sekolah yang mendadak sebagian tubuhnya berubah menjadi robot. Namun ia tidak menyangka jika salah satu temannya malah melesatkan tombak trisula kearahnya. Pegangan tangannya di rambut Indri yang sedang ia jambak lantas mengendur."Upgrade!" ucap indri seraya menggenggam trisula tersebut.Batang besi trisula tersebut berubah warna menjadi keputihan, namun yang mencolok adalah bobotnya yang menjadi lebih berat. Seketika membuat Ujang terjatuh karena tidak kuat menahan sakit dan beban trisula. Mendapati dirinya terbebas dari Ujang, Indri mengusap hidupnya yang sedari tadi mengeluarkan darah karena dihajar Ujang."Bocah brengsek! Lo apain besinya sampai menjadi berat banget! Bangsat!" Umpat Ujang yang masih saja menyerang Indri.Mendengar celotehan itu, Indri bergeming dan menikmati jeritan Ujang.
[Lapangan Belakang Sekolah]Benso sebenarnya berada di posisi sadar dan tidak sadar, karena bagaimanapun akhir pertarungannya dengan Sriti tidak begitu baik. Namun saat ia bangun kesekian kali dengan menggunakan seluruh kekuatannya, ia melihat situasi yang pelik. Di dekatnya berdiri Glori yang dengan cekatan menggunakan jemarinya mengontrol robot besar dengan remot pengendali."Siapa perempuan ini? Dia lagi bertarung? .. itu Tulus dan Arin.. yang terluka parah?" Kesadarannya semakin pulih. Ia juga menyadari Sriti yang terbaring diam di balik balutan shimurgh miliknya."Jangan mati, jangan mati, jangan mati," ucap Benso berkali-kali saat ia membuka balutan shimurgh tersebut. Sriti mengalami luka bakar dan kulitnya melepuh.Benso kemudian mendekatkan telinya ke hidung dan mulut Sriti, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Angin yang berhembus dan turunnya hujan hitam sempat menyulitkannya menemukan tanda tersebut. Hingga akhirnya ia per
Malam itu, hujan turun cukup deras menyapu jalanan hingga tertutup genangan. Ayah mengemudikan mobil sedan dengan cepat namun tidak kasar. Ibu yang duduk di jok depan sebelah Ayah mengajak ngobrol santai karena Ayah lebih senang menyetir sambil bercerita. Jimi yang saat itu baru duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 memilih membaringkan tubuh di jok belakang sambil memain-mainkan kakinya di kaca jendela samping."Jimi, ayo pejamkan mata, nanti ayah akan bangunkan saat tiba di rumah. Besok kamu sekolah loh!" ujar Ayah dengan mata yang sesekali melirik ke arah belakang dari spion tengah."Sebentar lagi, Ayah. Masih hujan di luar," sahut Jimi yang sebenarnya tidak menghiraukan ucapan Ayah."Kamu tuh kalau di ajak ngobrol, pasti jawabannya ga nyambung," timbal ibu dengan nada sedikit ketus. lagi-lagi Jimi hanya mendengus dan tidak mengacuhkan ucapan ibunya.Dalam kondisi yang temaram itu, ingatan Jimi tidak begitu jelas mengingat kondisi yang terjadi selanjut
Perempuan yang berdiri di depan Jimi dan Afif mengenakan setelah serba hitam, rambutnya pendek menutupi kedua daun telinganya, warnanya hitam legam. Kakinya jenjang ditutupi stocking dan rok rimpel pendek di bawah lutut yang seluruhnya berwarna kehitaman. Di tangannya yang kokoh menahan dorongan gading gajah monster itu terbalut rangkaian cincin besar berwarna kehitaman mengkilap. cincing itu terlalu besar untuk sebuah cincin dan ia gunakan di seluruh jemarinya kecuali jempol."Ok. Kalau kalian ga apa-apa, tolong pergi menjauh. Terak[1] ini terlampau berat untuk ditahan sendiri, he he," ujarnya sambil sedikit gemetar menahan dorongan gajah itu. Efek suara tawa kecil di ujung kalimatnya menandakan dirinya tidak begitu percaya diri dengan apa yang sudah ia katakan.Afif yang sadar lebih dahulu segera menarik lengan Jimi dan berlari sejauh mungkin melewati sisi gedung sekolah. Jimi yang berlari di belakang berteriak kepada Afif, memintanya kembali karena ia sudah
"Biro Mangata?" ucap Jimi yang masih tidak yakin dengan apa yang didengarnya."He he, sudah jangan sakiti diri lo sendiri. Dimana teman yang datang bareng lo itu?" tanya Gina."Hmm.. Gue ga tau, Gina. Tadi gue minta tolong Afif untuk membantu teman lo yang jatuh karena serangan gajah tadi" jawab Jimi setengah tidak acuh."Kalau gitu, dia sekarang sudah bareng teman-teman gue di lapangan depan. Ayo sekarang kita kesana" Gina mengajak Jimi untuk mengikutinya. Gina sekilas seperti remaja ceria yang mudah berteman dengan siapa saja.Mereka berdua kembali berjalan menyusuri sisi gedung sekolah tersebut, angin kemudian kembali berhembus. Gina berseloroh, jika salah satu indikator kemenangan melawan Terak adalah kembali berhembusnya angin malam. Jimi mengangguk dan berdehem membandingkan kondisi saat ia di lapangan belakang, memang angin kembali berhembus dan atmosfir kembali normal.Tepat sebelum memasuki lapangan depan, Gina menyodorkan tangannya dan me
"Astaga! masa ada hantu di belakang kita! Bangsat betul!" Afif mencaci dalam hatinya, namun ia tidak bisa langsung membalikkan badan kebelakang.Perlahan ia melihat ke arah Jimi yang sudah melihat dirinya namun bukan dengan pandangan takut melainkan penasaran. Tangan Jimi sudah dikepalkan seolah bersiap memberi pelajaran bagi orang yang berusaha menakutinya.Jimi kemudian menoleh cepat kebelakang, seakan ikut ditarik, Afif juga turut menoleh kebelakang dan tiap detiknya ia sesali keputusan mengikuti Jimi itu. Namun begitu mereka berdua melihat ke arah belakang mereka kaget bukan karena melihat hantu, melainkan seseorang yang berdiri di belakang mereka mengenakan topeng cirebon - topeng panji berwarna putih dengan senyum seringai yang memperlihatkan gigi."Hei, kalian tuli ya? apa seperti ini?" terdengar suara tanya itu lagi, namun kali ini lebih terdengar halus seperti suara perempuan.Jimi dan Afif masih menahan nafas melihat pemandangan yang anomali itu
Pertanyaan macam apa itu? jawabannya sudah jelas kan, kegiatan kalian asik, pukul-pukulan dengan monster. Lagipula kalian menggali sesuatu dari tanah, jelas ada yang kalian kumpulkan. Hal misterius itu akan menarik siapa saja untuk bergabung, bukan? Afif menggerutu dalam kepalanya, ini juga yang menjadi landasan kenapa ia enggan mengikuti ekskul yang garis birokrasinya cenderung kaku."Saya tidak ingin melihat anak lain menjadi yatim piatu karena ulah Terak" Jawab Jimi singkat.Mendengar jawabannya itu, Listu tidak segera merespon dan melirik ke arah Afif. Bersilangan dengan Jimi, Afif bukan pria yang begitu saja menyebutkan resolusi diri hanya karena antusias sesaat. Namun jawaban Jimi juga yang perlahan membuka hati Afif untuk berterus terang dan tidak sekedar ikut-ikutan."Saya tidak ingin dianggap penyakit oleh adik perempuan saya karena sindrom ini" akhirnya Afif turut menjawab singkat."Hah. naif juga kalian" balas Listu. Ucapan yang menyakitkan, na
Oktober 2004, Presiden ke-enam Republik Indonesia dilantik, diawali dengan pelantikan anggota DPR dan diakhiri dengan Pelantikan kabinet Republik Indonesia Bersatu. Tersirat harapan dari Presiden baru tersebut karena beberapa minggu sebelumnya, pejuang HAM, Munir tewas di dalam pesawat. Penerbangan tujuan Singapur menuju Amsterdam tersebut menjadi penerbangan terakhir Munir. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi ekonomi sosial nasional tergolong stabil namun diintai lingkaran bencana.Bulan itu tergolong kering dan siang hari merupakan waktu yang tepat untuk menjemur pakaian. Namun demikian, awal bulan Oktober merupakan peralihan ke awal musim penghujan, sehingga sempat beberapa kali hujan dengan intensitas ringan, kondisi inilah yang menambah hawa lembab dan panas, terutama di dalam kelas."Hilmi, hawa panas begini dan lo masih berseragam lengkap dengan ujung kemeja dimasukkan celana" Afif berkomentar sambil meletakkan kepalanya di atas meja."Ini mata pelajaran f