Share

PART 15

Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana.

Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain.

"Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada.

Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum.

"Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum.

Hana menganggukkan kepalanya kaku.

Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah dengan panduan internet. Tapi sebelum itu semua kamu harus punya modal percaya diri terlebih dahulu. Karena kalau kamu tidak percaya diri, ya percuma saja. Kamu tidak akan bersinar."

Hana manggut-manggut. Setelah beberapa saat, ia pun memutar tubuhnya ke arah Catherine. "Em, Cath … anu, em … Apa kamu tidak keberatan untuk mengajariku berdandan?" tanya Hana ragu.

Catherine terkekeh, "Kamu itu calon adik iparku, tentu saja aku akan dengan senang hati mengajarimu."

Hana tercekat untuk beberapa saat. Adik ipar?

"Nanti malam akan diadakan pesta ulang tahun ibuku. Kamu harus datang bersama Billy. Cobalah berkreasi dengan wajahmu seperti yang telah aku ajarkan. Aku yakin semua lelaki akan terpikat melihat penampilanmu." Catherine lalu menyerahkan sebuah kartu undangan kepada Hana.

Hana menerima benda tersebut dengan hati yang dilema karena masih terngiang ucapan Catherine tadi. Adik ipar. Hati kecilnya terus memprotes hal tersebut.

"Aku tidak mau tahu, nanti malam kalian harus datang. Oke?" paksa Catherine.

Hana menghela napas panjang. "Baiklah."

Catherine memekik girang. "Yeay, aku sudah tidak sabar menunggu malam tiba."

Hana hanya membalas dengan senyuman yang dipaksa.

"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai bertemu nanti malam." Catherine lalu melenggang pergi.

***

Hana mulai mempraktikkan apa yang telah diajarkan oleh Catherine kepadanya. Ia memulainya dengan maskara terlebih dahulu. Bulu matanya yang lentik cukup memudahkannya untuk memakai maskara.

Hana tersentak mendengar suara pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Untung saja cairan hitam itu tidak belepotan di area matanya. Ia meletakkan benda tersebut lalu menoleh ke arah pintu.

 "Jonathan?"

Jonathan tersenyum ke arah Hana lalu menutup pintu dan menguncinya. Ia sudah bertelanjang dada namun masih memakai bawahan. Hana sontak menelan ludahnya melihat pemandangan menggiurkan tersebut. Ya, memangnya siapa yang tidak akan tergoda melihat dada bidang dan perut kotak-kotak milik Jonathan? Tubuhnya yang atletis membuat semua wanita yang meliriknya ingin segera berada di bawahnya. Dan Hana beruntung karena telah merasakan nikmatnya tubuh Jonathan.

Hana menggelengkan kepalanya, Astaga, apa yang sebenarnya kupikirkan? Kenapa otakku bisa memikirkan hal yang tidak-tidak di siang bolong seperti ini? Virus mesum Jonathan sepertinya sudah menular kepadaku.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Jonathan sembari berjalan mendekat ke arah Hana.

"A– aku sedang ... mencoba untuk berdandan." Hana merasa gugup karena Jonathan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang dan menatapnya curiga.

"Berdandan?" tanya Jonathan heran. Ia melirik beberapa kosmetik yang tergeletak di atas meja rias Hana.

"I-i ... iya."

"Untuk apa kamu berdandan? Tidak ada yang akan tertarik dengan wajahmu," ucap Jonathan sarkastis.

Hana menggigit bibir bawahnya, merasa takut dengan tatapan nyalang Jonathan. "Aku hanya ingin mencoba-coba saja."

"Tidak boleh!"

Hana tercekat. Menatap Jonathan dengan pandangan sedih. "Kenapa?"

"Aku bilang tidak ya tidak!" ucap Jonathan murka.

"Jonathan, aku mohon … kamu tidak tahu betapa bosannya aku di rumah ini. Kamu mengurungku dan tidak pernah membebaskanku keluar rumah. Aku hanya ingin menghilangkan rasa jenuhku dengan mencoba hobi yang baru." Hana menatap Jonathan dengan pupil yang sudah membesar, seperti anak anjing yang meminta dikasihani.

"Tidak."

"Jonathan ..."

"Kamu tidak boleh berdandan Hana," ucap Jonathan gusar lalu berjalan menuju kasur. "Kamu tidak tahu betapa berbahayanya dirimu jika melakukan hal itu."

"Apa maksudmu?"

Jonathan duduk di tepi kasur. Ia menatap Hana. "Intinya tidak boleh. Itu akan menjadi musibah yang besar bagi kaum lelaki yang melihatmu."

Hana mendengkus. Tidak paham sama sekali dengan ucapan Jonathan yang tidak nyambung dengan arah pembicaraannya. Dia hanya ingin belajar berdandan, kenapa sampai disangkut-pautkan ke dalam musibah? Memangnya bencana apa yang akan terjadi jika Hana berdandan? Berlebihan sekali.

"Kamu sudah cukup menarik seperti itu," puji Jonathan. "Sekarang, ayo beri jatah aku dulu."

Hana membulatkan matanya, "Sekarang?"

"Hm. Sekarang. Masa tahun depan? Keriputan nanti," kekeh Jonathan lalu melorotkan celananya dan berbaring di atas kasur.

"Tapi ini masih siang."

Jonathan berdecak, "Apa masalahnya? Siang, sore, malam itu sama saja. Tidak ada aturan waktu dalam melakukan seks."

"Ta- tapi, Catherine ..."

"Tenang saja. Dia sudah pulang," timpal Jonathan. "Tunggu apa lagi, Hana? Cepat hapus riasanmu yang aneh itu. Matamu jadi kelihatan besar sebelah."

"Tapi bagaimana dengan orang-orang di rumah? Bagaimana jika mereka mendengar."

"Siapa yang kamu maksud? Billy?" Jonathan tersenyum sinis. "Aku menyuruhnya membeli susu di peternakan sapi."

Hana membulatkan matanya, "Su-susu?"

"Hm, Kemungkinan akan memakan waktu cukup lama karena aku memintanya untuk memerah susu sapinya langsung dari kandangnya."

"Ta-  tapi ..."

"Sampai kapan kamu akan menunda-nunda lagi, Hana?! Aku sudah tidak tahan," protes Jonathan mulai tak sabar.

"Baik. Tunggu sebentar." Hana mulai menghapus riasannya.

Jonathan menghela napas gusar. "Bicara tentang susu aku jadi ingin minum susu."

"Kamu sedang mengidam ya?" tanya Hana. Ia lalu berjalan ke arah Jonathan. "Seleramu seperti ibu hamil saja."

Jonathan mengendikkan bahunya cuek. "Entahlah. Selera makanku jadi berubah akhir-akhir ini." Lalu melirik buah dada Hana, Jonathan tiba-tiba tersadar akan sesuatu.

"Hana?"

"Hm?"

"Payudaramu terlihat membesar akhir-akhir ini."

Hana melirik ke bawah, ke arah payudaranya. Lalu ia menatap Jonathan, "Benarkah? Aku tidak menyadarinya. Apakah terlihat seperti itu?"

Jonathan mengangguk. "Dulu ukurannya bahkan tidak sebesar buah lemon. Sekarang hampir sebesar jeruk bali."

Hana melotot. Wajahnya mulai memerah karena malu. Ia menatap kesal pada Jonathan. "Memangnya itu karena ulah siapa?"

Jonathan terkekeh. "Oh, iya ya. Aku yang membuatnya sebesar itu. Sekarang ayo cepat berbaring, kita akan membuatnya besar seperti buah semangka," canda Jonathan lalu disusul suara ledakan tawa yang keras.

***

Jonathan segera membuka matanya saat mendengar suara deringan ponselnya. Tangannya yang panjang segera meraih benda pipih tersebut di atas nakas di samping tempat tidur. Tanpa melihat nama pemanggil, Jonathan langsung mengangkat ponsel tersebut dan menempelkannya di telinganya. "Halo," jawabnya serak.

"Hm ... iya."

"Iya, Mom. Aku akan segera ke sana."

"Hm, bye." Jonathan segera memutuskan sambungan dan bangun dari posisi tidurnya. Ia melirik ke sampingnya. Hana masih terlelap akibat percintaan mereka yang panas tadi siang.

Jonathan menyingkap anak rambut yang menghalangi wajah Hana. Ia terlihat damai saat sedang tidur. Ia menatap wajah polos itu dalam hening. Yang terdengar hanyalah suara dengkuran halus yang begitu tenang. Tiba-tiba terbersit perasaan bersalah dalam benak Jonathan. Bagaimana bisa wanita secantik ini ia kotori dengan kehidupannya yang liar? Dari semua wanita kenapa hanya Hana yang mampu membuat Jonathan merasakan perasaan takut akan kehilangan? Saat Hana berdekatan dengan pria lain, sesuatu dalam diri Jonathan langsung berteriak murka dan ingin menghajar pria yang mendekati Hana.

Jonathan tidak tahu apa itu cinta. Tapi setiap kali Hana tersenyum dan tertawa lepas, Jonathan tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang menggebu-gebu. Kata orang saat kamu sedang berdebar-debar karena senyuman seseorang, itu berarti kamu sedang jatuh cinta dengannya. Apakah benar jika Jonathan jatuh cinta dengan Hana?

Entahlah. Jonathan masih bingung dengan perasaannya. Karena jujur saja sebelumnya ia tidak pernah merasakan jatuh cinta dan tidak pernah berniat.

Jonathan menghela napas sejenak. Ia melirik jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Ia harus bersiap-siap untuk menjemput Catherine dan menuju ke pesta. Jonathan segera menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dengan Hana. Jonathan turun dari ranjang dengan langkah pelan dan hati-hati. Ia takut akan membangunkan Hana yang terlihat kelelahan. Jonathan segera memakaikan pakaiannya. Ia hendak beranjak keluar, namun sebelum itu...

Jonathan berjalan mendekat ke samping tempat tidur. Ia menatap Hana dengan wajah bersalah. "Maafkan aku," bisiknya lalu mengecup kening Hana lembut.

***

Sambil mendengar lagu di dalam mobil, Jonathan menyempatkan diri untuk bercermin di kaca depan. Menyisir rambutnya dengan jari, memeriksa rahangnya apakah masih ada bulu-bulu kecil? Dan tidak ada. Semuanya sudah beres. Wajah Jonathan sudah bersih dan tampan. Wangi juga oke. Penampilannya juga sudah tidak diragukan lagi. Tinggal menunggu Catherine keluar dari apartemennya saja.

Tak lama kemudian, munculah wanita yang sedari tadi ditunggu-tunggu. Jonathan terpukau. Catherine terlihat sangat cantik.

"Hey," sapa Catherine saat sudah masuk ke mobil. Jonathan mengikis senyum.

"Hey. You look so beautiful,"

puji Jonathan.

Catherine mengulas senyum. "Dan kamu juga terlihat sangat tampan," puji Catherine balik. Matanya tak bisa berhenti mengagumi ketampanan Jonathan dibalik jas hitamnya. Ibunya tidak salah memilih jodoh untuknya. Catherine sangat menyukai pria ini. Mereka berdua saling tertawa untuk beberapa saat setelah saling bertatapan.

"Kamu siap berangkat?" tanya Jonathan kemudian.

"Yeah, I’m ready," seru Catherine semangat.

***

"Oh, My princess."

Vanesha menyambut kedatangan Jonathan dan Catherine dengan senyuman yang hangat. Lebih tepatnya menyambut ramah calon menantunya. "Kamu terlihat luar biasa," puji Vanesha sembari menatap kagum Catherine dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

Catherine tertawa kecil. "Terima kasih Mom. Mommy lebih cantik dari siapapun disini," balas Catherine.

Vanesha tertawa. "Kamu bisa saja. Jonathan beruntung sekali memiliki calon istri sepertimu, Cath," ucap Vanesha sembari mencuri-curi pandang ke arah Jonathan.

"Tidak, Mom. Aku yang beruntung karena memiliki calon suami sepertinya."

"Aw, kamu terlalu merendahkan diri, Sayang. Inilah kenapa Mommy selalu mengagumimu."

Jonathan menghela napas panjang. Ia diabaikan di sini. Vanesha benar-benar memperlakukan Catherine seperti anaknya sendiri.

Setelah lama berbincang, Vanesha akhirnya pergi dan berbincang dengan tamu lainnya. Catherine menghampiri Jonathan yang sedari tadi menunggunya. "Maaf membuatmu lama menunggu."

Jonathan terkekeh, "Santai saja. Aku sudah terbiasa diabaikan Mommy. Sepertinya dia sangat menyukaimu, Cath."

Catherine tertawa, "Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu tidak menyukaiku?"

Jonathan tertawa. "Tentu saja aku menyukaimu."

"Ah, benarkah?" catherine mulai malu. Ia memukul lengan Jonathan manja. Jonathan tersenyum "Ayo, aku harus bertemu dengan ibumu," ajaknya kemudian. Catherine mengangguk lalu menyelipkan tangannya pada lengan Jonathan.

***

Hana terdiam seorang diri di atas ranjang. Ia tadinya sudah mandi dan memakai gaun yang bagus untuk ke pesta. Namun pesan dari Jonathan yang baru saja masuk terpaksa membuatnya harus menelan kecewa.

Aku melihat surat undangan di atas mejamu. Aku peringatkan. Jangan coba-coba untuk keluar malam ini! Aku akan selalu memantaumu. Jika kamu melanggar, lihat saja nanti akibatnya.

Padahal Hana ingin sekali ke pesta itu. Hana sedih dan kecewa. Catherine juga pasti akan sangat kecewa jika Hana tidak datang. Ia sudah terlanjur berjanji dengan wanita itu.

Hana menoleh ke arah pintu. Ia membulatkan matanya. "Billy?"

Billy melangkah masuk ke dalam kamar Hana dengan napas terengah-engah. "Dimana si keparat itu?" tanya Billy dengan wajah masam.

Hana segera berdiri dan menghampiri Billy. "Dia tidak ada. Ada apa dengan wajahmu? Dan ..." Hana bergidik mencium bau yang tak sedap muncul dan asalnya dari Billy. "Kenapa kamu bau sekali, Bil?" tanya Hana sembari menjepit hidungnya.

"Aku habis dari peternakan sapi. Jonathan brengsek! Dia menyuruhku memerah susu langsung dari sapinya. Katanya dia ingin meminumnya langsung saat aku sudah tiba di sini. Sekarang dia sudah menghilang begitu saja."

"Kenapa kamu mau melakukan itu?" tanya Hana heran.

"Dia berjanji akan meminjamkan kartu debitnya kepadaku. Itulah kenapa aku mau melakukannya." Billy mendengkus sebal. Ia benar-benar kesal. Jonathan telah menipunya.

Billy memperhatikan penampilan Hana dari bawah hingga ke atas. "Kamu mau kemana?"

"Tadinya aku akan ke pesta. Tapi Jonathan melarangku ke sana," jawab Hana lesu.

"Pesta?" Billy mengernyitkan keningnya.

"Iya. Catherine mengundangku ke pesta ulang tahun ibunya."

Billy membelalak dan tersadar seketika. Ia berkacak pinggang. "Cih! Jadi mereka benar-benar tidak mengundangku?! Dasar ipar kurang ajar!" bentak Billy. Ia lalu menatap Hana. "Hana, ayo kita ke pesta itu."

Hana membelalak, "Apa? Ke pesta itu? Tapi Jonathan akan ..."

"Jangan takut dengan Jonathan. Tenang saja, ada aku."

"Tapi ..."

"Tidak apa-apa. Kamu tunggu sebentar ya. Aku mandi dulu," potong Billy lalu berlari keluar dari kamar Hana.

***

"Selamat ulang tahun, Nyonya Mirabella," sapa Jonathan ramah. Wanita paruh baya berpenampilan elegan itu tersenyum hangat, lalu menyambut kedatangan menantunya itu dengan pelukan singkat.

"Terima kasih telah datang. Kamu terlihat sangat tampan, Nak," balas Wanita itu.

"Terima kasih. Nyonya juga terlihat sangat cantik," puji Jonathan.

Mirabella tersenyum lalu menatap putrinya yang tengah berdiri di samping Jonathan. "Kamu tampak bahagia hari ini, Cath."

Catherine tertawa, "Tentu saja, Mom. Seharian bersamanya membuatku bahagia.

Kami LDR Empat tahun karena aku harus kuliah di Amerika dan itu sangat menyiksa."

Mirabella mengangguk "Baiklah, nikmati pesta malam ini dengan bersenang-senang!"

Catherine tersenyum. "Tentu saja." Ia menatap Jonathan. "Ayo berdansa," ajaknya. Dan Jonathan menganggukkan kepalanya, setuju.

Saat sudah sampai di lantai dansa, semua mata terus tertuju pada Jonathan dan Catherine. Mereka layaknya bintang yang bersinar malam ini. Sambil berdansa, Catherine terus mendongak, menatap wajah Jonathan. "Kamu tahu? Aku merasa seperti putri di dalam dongeng sekarang. Karena kamu terlihat seperti pangeran di mataku."

Jonathan mengulas senyum, "Terima kasih. Kamu tahu? Inilah kenapa aku menerima perjodohan ini. Aku tahu kamu adalah wanita yang bisa menyenangkan hatiku."

Semburat malu terpancar dari wajah Catherine. "Kamu terlalu banyak memujiku. Aku jadi ingin cepat-cepat menikahimu."

Jonathan hanya menanggapi ucapan Catherine dengan senyuman. Namun senyumannya itu langsung berhenti kala matanya tak sengaja menangkap sosok di seberang sana yang tengah menatap ke arahnya.

Jonathan menegang. Apa yang sedang dilakukan Hana di sini?! Hatinya tiba-tiba panas melihat Billy berdiri di sampingnya sembari menarik pinggang Hana posesif.

"Brengsek!" umpat Jonathan tiba-tiba.

Catherine mengernyit heran. Di tengah suasana romantis ini Jonathan tiba-tiba mengeluarkan kata-kata kasar. Ada apa dengannya? "Kamu kenapa, Jonathan?"

Jonathan kembali menatap Catherine. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Cath," sanggahnya sambil sesekali melirik ke arah sana. Hatinya semakin panas saat Billy dan Hana sudah berdiri di lantai dansa. Semua tatapan beralih pada pasangan Billy dan Hana.

Catherine sadar akan hal itu dan segera menghentikan gerakan kakinya. Ia menoleh ke arah sana. Catherine tersenyum. "Itu Billy dan Hana. Bukankah mereka terlihat serasi?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jonathan. Tatapan emosinya masih tertuju ke arah sana. Catherine melihat perubahan wajah Jonathan.

"Jonathan—"

"Maafkan aku, Cath. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sekarang juga."  Jonathan lalu melangkah pergi menyusuri pasangan yang tengah menjadi sorotan di sana.

***

Hana dan Billy sampai di ruang dansa setelah menyapa para undangan lainnya. Diantaranya merupakan teman-teman Billy. Rata-rata dari mereka mengagumi penampilan wanita yang datang bersama Billy, yaitu Hana. Tentu saja Billy bangga. Hana di sini sebagai kekasihnya. Dia akan mengenalkan kekasihnya itu pada dunia.

Billy menarik pinggang Hana saat wanita itu terus menatap pilu pada Jonathan dan Catherine yang tengah berdansa di sana.

"Jangan melihat kalau hal itu hanya akan membuat hatimu sakit," bisik Billy.

Hana tersentak kala Billy membawanya tengah-tengah lantai dansa. Mereka menjadi pusat perhatian. Hana malu. Ia menundukkan kepalanya. "Billy. Aku ... aku tidak ..."

"Tenang saja, Hana. Ayo kita buat sebuah pertunjukan yang menggegerkan dunia." Billy meraih tangan Hana dan kedua kakinya menuntun langkah Hana mengikuti ritme dan irama musik.

Billy terlihat menikmati sementara Hana mulai gelisah dilihat banyak orang dan salah satu diantaranya adalah Jonathan.

Hana mencoba untuk mengimbangi langkahnya dan mengikuti gerakan kaki Billy. Sesungguhnya ia tidak pernah berdansa, tapi seiring berjalannya waktu, Hana mulai terbiasa.

"Kamu tidak membaca pesanku?!" Hana dan Billy sontak menghentikan langkahnya saat mendengar suara berat itu.

"Jonathan?" Hana melepaskan cengkraman tangannya pada Billy.

Jonathan menatap tajam pada Billy. "Kita akan selesaikan ini nanti, Bill." Lalu menarik paksa tangan Hana dan membawanya keluar dari pesta. Semua orang menatap aneh pada mereka. Termasuk Vanesha yang juga sedari tadi menyaksikan hal tersebut.

***

Jonathan membuka pintu hotel dengan scanner lalu mendorong Hana secara kasar ke dalam. Hana menangis diperlakukan seperti ini tapi Jonathan tidak peduli. Ia membanting Hana hingga tubuh wanita itu jatuh menimpa kasur.

Hana menangis sejadi-jadinya. "Jonathan … maafkan aku …," isaknya.

"Kamu keras kepala, Hana! Kamu tidak membaca pesanku?!" tukas Jonathan sembari melonggarkan ikat pinggangnya.

"Maafkan aku. Aku salah. Maafkan aku," mohon Hana tak berdaya.

"Kamu harus diberi pelajaran!" Jonathan melorotkan bawahannya dan mengambil ikat pinggangnya sembari berjalan mendekat ke arah Hana. "Buka pakaianmu!" titah Jonathan.

Hana yang masih menangis terpaksa membuka pakaiannya dengan cepat karena takut. Ia sekarang dalam keadaan telanjang.

"Menghadap ke arah sana!" perintah Jonathan lagi. Hana langsung menuruti perkataan Jonathan dan memposisikan tubuhnya seperti yang diinginkan Jonathan.

Plak! Jonathan tiba-tiba mencambuk bokong Hana dengan ikat pinggangnya. Hana membuka mulutnya, menjerit sejadi-jadinya.

"Jangan menangis! Ini karena kesalahanmu sendiri!" berang Jonathan. Hana berusaha membungkam mulutnya meski air matanya terus mengalir.

Plak! 

Hana kembali menggigit bibir bagian dalamnya saat merasakan siksaan di sekitar tubuhnya.

Plak!

Hana menjerit. "Jonathan …! Maafkan aku."

"Diam! Jangan bersuara kecuali ku.suruh."

Plak!

Dan akhirnya Hana hanya bisa menangis dalam diam merasakan siksaan itu. Jonathan lalu membuang ikat pinggangnya lalu mendorong tubuh Hana hingga posisinya telungkup.

Tanpa berpikir panjang, Jonathan langsung memasukkan miliknya ke dalam dan menghujam Hana dengan kasar. Rintihan Hana tidak dipedulikan oleh Jonathan.

"Ini akibatnya jika kamu berani membangkang perintahku, Hana." Jonathan mempercepat gerakannya dengan ritme yang sangat cepat hingga tiba-tiba Hana jatuh terkulai lemas.

"Sial! Sampai disini saja kemampuanmu? Kamu sudah menye—"

Ucapan Jonathan terhenti seketika kala merasakan sesuatu yang mengalir deras di area penyatuan. Jonathan membelalak. Ia segera mengeluarkan miliknya dengan cepat.

"Ya Tuhan, Hana!" Jonathan memekik kaget saat melihat darah terus mengalir dari tempat penyatuan.

Darah! Itu darah!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status