Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.
Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus.
"Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis.
"Terima kasih." Hana bersuara parau. Tatapannya penuh syukur. Ia tidak bisa mengukur rasa bahagianya saat ini. Dengan hanya Jonathan mengingatnya saja Hana sudah sangat sebahagia ini. Ditambah dengan hadiah di lehernya, yang diberikan oleh Jonathan sendiri— membuat kebahagiaan Hana semakin tak terkira. Bunga-bunga bermekaran membentuk pola hati yang indah di dalam hatinya.
Jonathan tersenyum sembari mengusap bibir Hana. Ia lalu mendekatkan wajahnya. Hana sontak memejamkan matanya pelan. Bersiap menerima ciuman dari bibir merah Jonathan. Dan ketika bibir mereka saling bertemu, kupu-kupu terus beterbangan di dalam perutnya. Sensasi aneh mulai ia rasakan dikala Jonathan melumat lembut bibirnya. Ciuman Jonathan kali ini sangat lembut dan tidak menuntut seperti biasanya. Dan Hana menikmatinya. Ia memeluk leher Jonathan dan membalas ciuman pria itu.
Hana terbang. Melayang jauh ke angkasa. Perasaan seperti ini kembali lagi ia rasakan. Semakin dalam Jonathan menciumnya, semakin yakin pula Hana bahwa dirinya ... telah jatuh cinta dengan Jonathan.
Hana tidak dapat menyangkal hal ini lagi. Ia benar-benar terjatuh dalam pesona Jonathan. Pria yang ia benci awalnya. Pria yang ia anggap jahat selama ini karena telah menguasai kehidupannya dan keluarganya. Lucu, bukan? Hana juga tidak tahu harus apa dan bagaimana. Ia tidak bisa membenci Jonathan. Hana menginginkan Jonathan. Ia ingin memilikinya sepenuhnya.
Ditengah ciuman yang manis itu, tiba-tiba Jonathan dapat merasakan rasa asin yang mendominasi ciuman. Ia melepaskan ciuman lalu menatap wajah Hana yang tengah menangis.
"Jonathan …," ucap Hana lembut.
"Hm?"
"Kumohon. Jangan pernah meninggalkanku." Akhirnya Hana mengatakannya. Ia tidak bisa menahan lagi gejolak yang menggebu-gebu di dadanya. "Aku tidak tahu bagaimana nasib diriku jika kamu tidak ada bersamaku. Aku mohon. Bawalah aku kemanapun kamu pergi. Aku siap menjadi pemuas nafsumu sampai kapanpun. Aku ingin selalu bersamamu."
Jonathan terdiam. Wajahnya berubah sendu. Sulit untuk ditebak.
"Jonathan?" panggil Hana.
"Aku tidak akan meninggalkanmu," ucap Jonathan kemudian.
Hana tersenyum penuh haru. "Terima kasih." Lalu memeluk Jonathan dan membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu.
***
Pagi itu Jonathan dan Hana kembali pulang ke rumah. Sambil berjalan menuju pintu, sesekali mereka akan bercanda gurau. Dan sesampainya di depan pintu, Hana tak bisa berhenti tertawa mendengar penjelasan Jonathan tentang Hana yang tetap terlelap bahkan saat Jonathan membawanya keluar dari rumah menuju pelabuhan semalam.
Jonathan tak bisa menahan diri untuk ikut tertawa. Hana mempunyai semacam virus ketawa yang mampu menyebar kepada orang-orang di sekitarnya. Ia kemudian memencet bel rumah beberapa kali hingga akhirnya terbuka.
Senyuman di wajah Jonathan tiba-tiba lenyap saat melihat Catherine telah berdiri di ambang pintu. "Cath?"
Catherine melipat kedua lengannya di dada. "Kemana saja kamu semalam, Jonathan? Aku mencarimu! Aku khawatir kamu tiba-tiba ingin pulang ke rumah disaat kita sedang kencan. Dan kamu beralasan sakit perut. Nyatanya saat aku menyusulmu, kamu tidak ada di rumah."
Jonathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Uhm, maaf, Cath. Aku ..."
"Sudahlah." Catherine menghela napas. "Yang penting kamu sudah ada di sini. Aku lega."
Jonathan membuang napas lega. Untung saja Catherine berbeda dengan wanita-wanita lainnya. Ia tidak akan meributkan hal sepele menjadi masalah yang berbelit-belit. Catherine adalah wanita idaman. Namun bagi Jonathan, Catherine hanya ia anggap sebagai seorang adik.
Mata Catherine tak sengaja menangkap sosok wanita yang sedang berdiri di belakang Jonathan. Ia kembali menatap Jonathan dengan curiga.
"Siapa dia?"
Jonathan sontak menoleh ke arah Hana lalu kembali bertatapan dengan Catherine. "Ah, aku lupa mengenalkan kalian. Cath, kenalkan ini Hana. Dan Hana, ini Catherine."
Hana melemparkan senyuman manis nan sopannya kepada Chaterine. Catherine membalas senyuman Hana singkat lalu kembali menatap Jonathan. Ia semakin curiga.
"Kalian datang bersama-sama?" tanyanya heran.
Jonathan membelalak. Bingung bagaimana ia akan menjawabnya. "Dia ... kami ..."
"Aku menitipnya dengan Jonathan." Tiba-tiba muncul Billy dari belakang Jonathan dan Hana. Seperti pahlawan kesiangan, kali ini ia kembali menyelamatkan Jonathan dari situasi terdesak.
"Billy?"
"Aku menitipkan Hana kepada Jonathan. Aku harus kembali ke hotel karena ada sesuatu yang mendesak," jelas Billy pada Catherine.
Jonathan menghela napas. Di satu sisi ia lega karena Billy menyelamatkannya, tapi disisi lain ia juga jengkel. Kenapa harus Billy yang menjadi pahlawan kesiangan baginya?
Sementara itu Catherine tampak menaikkan sebelah alisnya. "Kamu menitipkannya? Memangnya kamu siapanya dia?" tanya Catherine.
"Dia pacarku," jawab Billy mantap.
Jonathan memutar kedua matanya jengah. Adik brengseknya ini mulai lagi.
Sementara itu Catherine tampak membelalak. "Benarkah?" Menatap Hana dan menghampirinya. "Wow, ini luar biasa sekali. Aku dan Jonathan, kamu dan Billy. Kita akan menjadi pasangan ipar paling goals di dunia. Kita bisa ke pantai bersama, bermain ke Dubai, liburan bersama di Eropa, Maldives, dan masih banyak lagi. Bukankah ini hebat?" Catherine menyenggol siku Hana.
Hana yang masih terkejut karena Catherine yang tiba-tiba datang, hanya bisa tersenyum kaku.
Catherine tertawa bahagia. "Astaga, aku bahagia sekali. Kita bisa hang out bareng setiap hari," ucapnya berbinar-binar. Hana tak paham, namun hanya bisa merespon dengan senyuman kakunya.
"Ayo merias diri." Catherine tiba-tiba menarik tubuh Hana masuk ke dalam rumah. Hana tak bisa apa-apa selain pasrah.
Jonathan menatap kepergian Hana dengan wajah khawatir.
Terdengar Billy berdecih di sampingnya dan Jonathan menoleh, "Ada apa?" tanyanya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan bahwa … kamu payah!" seru Billy.
Jonathan mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Kamu payah, lemah, cemen! Kalau masih berani mengajak Hana keluar semalam, seharusnya kamu juga harus berani mengatakan yang sebenarnya kepada Catherine."
"Bil, masalahnya, aku dan Catherine akan menikah beberapa minggu lagi. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu tahu apa yang akan terjadi? Pernikahan kami batal!”
"Lalu bagaimana dengan Hana? Kamu tidak memikirkan perasaannya? Dia juga terluka, Jonathan. Kamu menggantungnya dan memberi harapan palsu. Jika kamu tidak berani mengenalkannya pada dunia, berhenti melakukan semuanya seperti yang kamu lakukan tadi malam. Dia akan semakin berharap padamu. Kamu pikir sampai kapan sandiwara ini akan berakhir? Sebentar lagi kamu akan menikah jadi cepat pilih dan buat keputusanmu. Hati mana yang akan kamu tinggalkan dan hati mana yang kamu pertahankan. Jangan membuat semuanya semakin rumit. Perasaan bukanlah untuk main-main."
Usai berkata demikian, Billy-pun melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jonathan sendiri.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat di balik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya disini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana."Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?""Ibu...""Iya?""Aku merindukan, Ibu." Hana berusa
Jonathan berlari keluar dari rumah menggunakan payungnya. "Sial. Kemana sebenarnya wanita itu," umpatnya ditengah derasnya hujan. Ia sedang mencari Hana. Semenjak pagi tadi— seusai sarapan, wanita itu langsung pergi dan menghilang dari pandangan Jonathan. Semua penghuni rumah juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat Hana. Termasuk Billy yang baru saja pulang entah dari mana."Semoga dia tidak kenapa-napa." Jonathan dengan raut khawatir menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia segera beranjak keluar dari halaman rumah lalu berjalan di sekitar kompleks perumahan.Rasa gelisah menghantui benaknya saat curah hujan kian membesar. Waktu kian berlalu, sudah dua jam Jonathan mencari Hana, namun sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Ia berjalan lagi, mengenyahkan niatnya untuk berhenti dan pulang saja. Setidaknya Jonathan harus menemukannya dan memastikan kondisi wanita itu baik-baik saja.Dan saat ia menoleh ke kiri, tak jauh dari tempat ia berada, seorang wanita
Sore itu, Jonathan terdiam dan termenung di atas kasurnya. Matanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa sekarang. Jiwanya seakan melayang, hatinya merana akibat keputusan bodoh yang pernah ia buat."Apa aku harus menyesal?" gumamnya pelan dalam keheningan.Jonathan merogoh sakunya dan mengeluarkan kalung yang telah ia buang hari ini. Benar, Jonathan tak sanggup melakukannya. Ia hampir kehilangan akal sehatnya saat kalung itu tenggelam termakan air. Dalam kurun waktu semenit ia berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil benda itu. Seperti orang gila, ia bahkan tak tanggung-tanggung untuk masuk ke dalam got yang kotor dan keruh demi mencari kalung itu.Jonathan menatap kalung itu lamat-lamat. "... atau membiarkanmu pergi? Karena bersamaku hanya akan membuatmu tersiksa," ucapnya lirih sembari mengelus permukan benda itu dengan lembut. Tapi membayangkan kepergian Hana membuat dadanya terasa sesak.Ternyata