Agatha received her full powers on her sixteenth birthday, the same day an 800-year-old warlock murdered her mother as she watched. She sought to avenge her mother’s death and fulfill the prophecy from the 13th century of uniting and protecting all supernatural species, so she went into hiding while practicing her magic, living a frugal life with rogue werewolves until she discovered that she was mated to two alphas from different packs. She tried to contact her mates, but Nathaniel, one of her mates, threw her into the dungeon with her other mate, Sebastian. He accused them of masterminding the rogue attacks in his pack and the attempt to kill him. Will she manage to escape captivity and defeat all the evil forces trying to stop her from fulfilling her destiny? Will she finally reunite with her mate or reject their bond?
View More“Itu udah tua tapi kok belum nikah-nikah, ya.”
“Iya, ngejar karir terus makanya susah jodoh tuh.”
“Nggak malu apa gimana sih seusianya udah pada punya anak lho dia masih sendiri aja.”
“Bahkan anaknya Jeng Rania saja dua-duanya udah laku semua.”
“Nggak takut apa nanti nikah usia tiga puluh susah punya anak.”
Berbagai sindiran tetangga sudah menjadi makananku sehari-hari. Bahkan mereka tak segan-segan membicarakan status lajangku di depan mata. Memangnya ada yang salah jika aku lajang? Toh aku lajang dan menikah nanti nggak akan minta biaya resepsi sama mereka, 'kan? Tapi kenapa sih mereka selalu mengurusi kehidupan orang lain seperti ini. Memangnya mereka tak memiliki kesibukan sampai-sampai hidupnya digunakan hanya mengurusi urusan orang dan dijadikan bahan gosip?
Kalau tidak kuat iman mungkin rasanya akan gila menghadapi segala standart masyarakat yang memang sudah ada sejak dulu. Terlebih ucapan para tetangga sering kali membuat mama yang tadinya adem ayem menjadi ikut konfrontasi soal pendamping hidupku. Segala ucapan toxic itu membuat mama selalu gencar mencarikan aku jodoh. Bisa aku lihat kalau mama udah mulai kena toxic omongan yang nggak ada habisnya itu. Kenapa aku bisa bilang gini? Ya, realitas saja. Belum nikah ditanya kapan nikah. Udah nikah ditanya kapan punya anak. Udah punya anak satu kapan nambah lagi. Rasanya pertanyaan ini bakalan ada sampai kapanpun deh. Bahkan sampai spongebob berubah jadi dora pun nggak bakalan hilang pertanyaan ini.
“Kapan, Ki?”
“Sabar Ma, belum waktunya.”
“Waktunya kapan?”
Bisa aku lihat guratan kesedihan di wajah mama. Rasanya kalau seperti ini ingin sekali mengubah pandangan orang soal menikah.
Bagi aku sendiri menikah itu gampang saja kok asal ada calonnya. Kalau nggak mau pakai ribet tinggal datang saja ke kantor KUA dan melakukan ijab qobul saja. Tapi, terkadang hal yang mudah suka dibikin sulit sendiri oleh mereka. Hal yang seharusnya nggak ada, wajib diada-adakan.
“Tapikan umur kamu udah—“
“Tua?”
“Iya kamu udah pantas, Ki.”
Satu lagi yang bikin aku nggak setuju. Usia dijadikan standar dalam pernikahan. Sumpah deh kalau kita ikutin standar dari angka nggak akan ada ujungnya.
“Doain aja, Ma. Kiki juga lagi berusaha kok.”
“Usaha apa? Setiap hari kamu sibuk kerja. Buat apa sih kerja giat tapi jodoh nggak ada.”
Dan, ini yang bikin aku geram sendiri. Masalah karir pun menjadi bahan tolak ukur soal jodoh. Katanya karir maju pasti jodohnya sulit. Apa iya? Memangnya mereka Tuhan sampai mereka bisa berbicara seperti itu. Lagi pula karir bagus itu sebuah anugerah. Kita dipercaya apakah bisa mengelolanya dengan baik atau tidak. Bisa berbagi atau tidak dengan sesama. Bukan disangkut pautin sama jodoh.
Jujur aja aku kurang suka sama yang sering bilang, “Untuk apa sih wanita sekolah tinggi-tinggi. Lagipula ujung-ujungnya juga di dapur. Ijasahnya nggak dipakai.” Sumpah rasanya pengin tertawa kalau mendengar kalimat itu. Emangnya mereka nggak berpikir kalau wanita sekolah tinggi itu untuk mendidik anak-anaknya kelak nanti? Wanita bakalan jadi seorang Ibu dan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalau wanita itu tidak bisa membaca dan menulis? Lalu anaknya yang memberikan ilmu sejak dini siapa? Bapaknya? Tidak mungkin. Karena seorang wanita yang akan mengurusi segala urusan tetek bengek keluarga. Seorang suami pasti akan sibuk mencari nafkah, dan misal pulang kerja pun pasti akan banyak alasan capek kerja lah jika disuruh untuk menemani anak belajar. Aku bicara gini karena banyak teman sekolahku yang udah pada nikah dulu dan mereka suka mengeluh soal urusan rumah tangganya.
Aku nggak menyalahkan siapapun. Tapi, aku pengin benar-benar menikah di waktu yang tepat. Entah itu kapan, aku juga nggak tahu.
Belum lagi aku memiliki sedikit trauma yang bikin mikir seribu kali untuk menikah dan berhubungan dengan seorang pria. Katakanlah aku gila. Tapi, memang itu yang aku rasakan saat ini.
Kerjaanku setiap hari hanya berkhayal memiliki suami yang ada dalam imajinasiku. Entahlah bakalan terwujud atau tidak, intinya aku ingin menyenangkan hati dulu sebelum nanti patah hati jika aku kembali mengenal cinta.
Nggak bisa mengelak, orang yang jatuh cinta tandanya mereka harus siap patah hati. Dan, saat ini aku belum siap. Yang aku lakukan hanya sekedar kagum-kagum biasa saja nggak lebih.
Jadi inilah kisah hidupku, yang akan aku ceritakan sedikit pada kalian. Di mana aku seperti manusia biasa seperti kalian. Yang memiliki salah dan kekhilafan dalam menjalani kehidupan.
-SHAKIRA INTAN AYU-
***
Jakarta, Indonesia.
"Aaaah ... itu kamu lagi apa, sih, ih ... jangan, geli."
BYUUUUUURRR.
"Kebanjiran ... kebanjiran," teriak gue ketika merasa ada air yang menyambar wajah gue.
"Kebanjiran gundulmu," omelnya.
Mataku terasa perih, aku mulai membuka mata perlahan yang ternyata lagi mimpi. Sialan. Gara-gara sebelum tidur gibahin Kevin Lutoft sampai ke bawa mimpi begini. Mana kalau gibah dia itu yang hot-hot lagi. Kenapa emang? Kagak terima kalau aku mimpi Kevin Lutoft? Salahkan saja dia yang fotonya bikin kaumku jadi pada liar.
"Bangunnnn!"
Aku langsung menutup telinga ketika mama teriak layaknya toa masjid. Sumpah budek banget ini kuping.
"Iya."
Dengan gerakan malas, akhirnya aku bangun dari kasur yang sudah menemani tidurku selama ini. Akibat ulah mama yang siram air, terpaksa pagi ini kudu nyuci seprei lagi deh. Nggak mungkin, kan, nanti malam tidur sama seprei basah. Keterlaluan nih mama, kan jadi basah.
Yang aku lakukan tentu menarik seprei terlebih dulu, memasukkan ke mesin cuci kemudian memencet tombol-tombol yang ada di mesin cuci pokoknya. Selesai dengan urusan cucian, aku menuju ke arah kamar mandi, memulai ritual di dalam.
Kurang lebih tiga puluh menitan, akhirnya aku keluar kamar mandi dengan tubuh yang sangat segar. Yang kulakukan langsung menuju ke arah lemari. Mengambil kemeja putih, serta rok span berwarna coklat. Tak lupa juga pakai blazer dengan warna senada. Tak hanya itu, aku mengambil pouch yang berisi make-up. Seperti biasa, aku akan mewarnai wajah seperti orang kena tinju Mike Tyson.
"Selesaaaiii," kataku senang ketika melihat pantulan di depan cermin. "Tuh, kan, aku tuh cantik mirip Song Hye Kyo, mata laki-laki nih pada siwer ngelihat."
Selesai mandi, make-up, aku langsung memakai sepatu hak tinggi. Tak lupa ambil tas yang habis aku beli kemarin di mangga dua. Aku tak pernah malu membeli barang produk lokal. Justru aku merasa bangga.
"Sarapan dulu, Ki," perintah Mama.
"Nggak usah, udah telat nih, Ma."
"Nanti maghmu kambuh lagi," omelnya.
"Tenang, Ma, Kiki nanti makan di kantor kok."
Bisaku lihat kalau Mama lagi embusin napas kesal karena aku emang gak pernah sarapan di rumah. Bukan nggak mau menghargai masakan Mama, tapi ini Jakarta guys, kalau berangkat ke kantor jamnya mepet bisa telat nanti.
"Mama bungkusin, ya," tawarnya.
Aku diam tak menjawab, namun melihat ekspresi wajah sedih Mama membuatku tak tega. Akhirnya aku mengangguk meng-iyakan.
"Jangan banyak-banyak, ya, Ma."
"Kalau bawa dikit nanti temen kamu nggak bisa ikut nyicip dong."
Aku meringis aja mendengar Mama berbicara seperti itu. Aku menerima kotak makan bergambar spongebob. Mama meski sudah berumur tapi hobinya nonton kartun. Aku juga heran sendiri dengan beliau.
"Makasih, Ma. Kiki berangkat dulu, ya."
"Hati-hati di jalan, Ki. Selalu berdoa."
Aku mengangguk, kemudian meraih tangan Mama dan menciumnya sebagai tanda pamit untuk berangkat ke kantor. Di mana aku mengadu nasib dan rezeki di sana.
Kini aku tengah menunggu ojek online yang sudah dipesan sebelum keluar rumah. Tak lama menunggu, Abang ojol itu datang sambil menanyakan nama yang pesan.
"Mbak Kiki bukan?"
"Iya Bang, cepetan yuk, udah hampir telat nih," kataku sambil buru-buru naik ke atas jok belakang.
Aku juga menerima helm berwarna hijau yang disodorkan ke arahku untuk dipakai, tapi ada yang bikin aku kaget.
"Bang, ini kancing helmnya kok rusak, sih?"
"Iya Mbak, belum beli helm lagi. Maklum duitnya habis buat makan."
"Tapikan ini buat keselamatan penumpang, Bang."
"Iya, Mbak, maaf kalau begitu."
"Yaudah Bang, gapapa. Kita langsung jalan aja."
"Sesuai aplikasi, ya, Mbak?"
"Iya dong, kan, saya mau kerja di sana."
"Sip, Mbak."
Aku pun langsung perpegangan pada jaket Abang Ojol itu. Mataku menatap jalanan yang sudah mulai padat dengan banyaknya kendaraan roda empat, roda dua. Untung saja naik motor, kalau naik mobil bisa dipastikan sampai kantor siang hari.
Aku memperhatikan cara Abang Ojol itu mengendarai motornya yang super hebat. Gimana nggak hebat coba, dia naik di atas trotoar segala buat nyalip mobil depan. Jujur awalnya takut, sih, tapi lama-lama sudah terbiasa seperti ini. Dibilang melanggar lalu lintas, sih, jelas sekali melanggar, tapi yasudahlah aku nggak mau ikut campur. Lagi pula itu urusan Abang Ojol sama Pak Polisi. Aku cuma pengin cepat sampai kantor aja.
Setelah bergelut dengan polusi Jakarta, akhirnya aku sampai kantor dengan selamat. Aku buru-buru merogoh tas dan membayar dengan uang tunai ke Abang Ojol itu.
"Maaf, ya, Bang, saya gak kasih uang tip, soalnya lagi bokek belum gajian."
"Hahaha, gapapa kok Mbak. Yang penting jangan lupa bintang lima, ya."
"Sip kalau gitu."
Aku langsung berjalan menuju ke arah pintu lobby kantor yang sangat terlihat mewah, megah, dan luas. Entah kenapa aku sedikit mendengar sayup-sayup suara orang memanggil namaku.
"Mbak Kiki ... Mbak."
Tuhkan ada yang memanggil namaku. Aku mencoba berhenti, dan menengok ke arah belakang. Keningku mengerut bingung ketika melihat Abang Ojol itu mengejar ke arah lobby. Dalam hatiku berpikir kalau Abang Ojol itu minta uang bayaran lebih, atau ....
"Mbak helmnya."
"Astaga, helm!?" Aku segera memegang kepala yang ternyata masih menggunakan helm. Dengan cepat aku lepaskan helm itu dan menyerahkan ke arah Abang Ojol yang masih mengatur napasnya. Dapat aku lihat kalau si Abang ojol itu ngos-ngosan ngejarku tadi.
"Maaf, ya, Bang," kataku sambil meringis tak enak hati.
"Gapapa Mbak."
Aku masih tersenyum malu, padahal waktu berangkat menuju ke sini udah aku hina tuh helm. Tapi, malahan nempel di kepala sampai masuk ke dalam lobby pula. Memalukan.
Tak mau memikirkan soal helm lagi, aku langsung melanjutkan berjalan menuju ke arah lift. Sampai di depan lift, aku bertemu teman-teman yang lagi pada nenteng kopi dengan lambang cup starsbuck.
"Kopi, Ki?"
"Nggak, kamu cuma beli satu tapi sok nawarin."
"Yakan bisa satu berdua, Ki."
"Nggak deh Bang, makasih."
"Yaudah, aku juga basa basi aja nawarin tadi."
Tuhkan, rada-rada emang tuh senior. Ingin memaki, tapi takut kena kutukan kayak malin kundang.
"Eh, aku denger-denger Pak Boss akan pensiun lho," kata Sofi, temen gibah sekaligus temen jomlo.
"Hah, jangan mengadi-ngadi deh." Kini suara Bang Rinto yang menjawab ucapan Sofi barusan. Dia senior di kantor ini. Jabatan dia lumayan tinggi, sih, jadi Manager divisi Humas.
"Kalau Pak Boss pensiun yang gantiin siapa dong?"
"Anaknya lha, Ki."
"Anak yang mana, Sof?" tanyaku dengan wajah penasaran. Soalnya kalau dengar desas-desus, Boss besar punya 2 anak. Tapi, selama kerja belum pernah lihat mereka berdua. Ya, mungkin karena masih baru kali, ya.
"Yang laki-laki, beuuuuuuh ... cakep banget tahu, Ki. Sumpah body dia itu perfek abis, bewoknya apalagi pengin ngelus."
Aku melirik ke arah Sofi yang sedang terkikik saat membayangkan anak dari Boss besar. Entahlah, apakah benar kalau anaknya itu setampan apa yang dikatakan Sofi. Kalau dilihat-lihat dari cara Sofi bicara sih memang betul tampan.
"Emang selama ini dia tinggal di mana, Sof?" tanyaku penasaran dengan sosok Boss baru nantinya. Semoga saja bisa baik seperti Pak Haidar Azekiel.
AgathaIt has been eight years since we started reuniting the supernatural species by building colonies for each kind. But the colonies we built never reached full occupancy. All the mystical creatures prefer their natural environment to concrete boxes. That’s what they call the rooms and buildings in the colony. Nate and Bastien managed to extend the forest line occupied by our little friends by offering the nearby packs hard-to-resist business deals and warrior support in case of war. The River Bed Pack had only gotten stronger and bigger, claiming the Nightwalker Pack when the River Bed defeated them after attacking us using the same strategy that the Black Moon Pack employed thirteen years ago. I never lifted the protection spell in the River Bed Pack. And since our family has gotten bigger, too, I cast the same spell around the Silver Mountain, Black Moon, and Nightwalker Packs. The news of the protection spell spread across territories, and though we don’t plan to launch an atta
[Agatha’s POV]I cannot see anything. There’s darkness, silence, and a dreadful feeling that churns my insides. I could feel the goosebumps creeping on my skin, and a sense of discomfort crawled down my spine. Where am I? Why can’t I see anything? Why am I alone? Where’s Mom? Where’s Nate and Bastien? Where are my kids? Aren’t they supposed to be with me? I move my feet forward to search for a light, for a familiar place… The squishing sound was all I could hear with every step. The touch of soft mud swallows my feet up until my ankles. I don’t like where I am right now. I tried to squint my eyes as I scanned my surroundings. But there is nothing but pitch black. I opened my mouth and started calling everyone I knew, one by one. “Mom!”“Nate!”“Bastien!”“Nas!”“Sean!”“Amara!”“Mommy Lily!”“Mommy Gloria!”“Dad!”“Aunt….”“Tsk. tsk. Tsk. You forgot one name, my child,” a female electric voice echoed in the empty space I am in, cutting me off. And I’d be damned if I said I didn’t re
[Agatha’s POV]The day has finally come. I was nervous. My hands were sweaty, my stomach was churning, and the tightness in my chest kept coming back repeatedly. I looked around at the open field where all species started filling up from the morning. The colonies my mates built for other species were barely occupied, but we expect a few hundred to arrive anytime within the day. Orpheus volunteered to convince some of his kind, and they might come after sunset, too. Nate built another building without windows, with only two doors on the ground floor and another to the rooftop, designed for the vampire clan. One of the new business deals Bastien signed up for was the River Bed Blood Bank. We compensate humans who donate their blood and distribute blood bags to human hospitals in neighboring packs at a fixed discounted rate. In return, we get to buy the blood near the end of its shelf life at half the price. Some hospitals in other packs are even willing to give them for free just to g
Hey guys, We are a few chapters away from completion. And as much as I wanted to make the story longer by adding additional twists and turns, it's already longer than planned. It was initially a 75-ish chapter, but I later realized that some details would be abruptly cut, hence the extension. Anyway, I am beyond grateful to all of you for reading and staying with Agatha until this point. This is my first shot at storytelling, and I need you to be brutal on me in the comment section if you think there are "should-haves" that I overlooked. And I do hope for your support for the coming stories.Warm hugs for all of you,ConQuest
[Third POV]It’s been five years. Nas and Sean started warrior training at the indoor gym their dad had set up inside the Packhouse, while Amara started using the U9 to practice her magic when she was two years old. The triplets were inseparable. Amara joined the boys at the gym for the combat training, and the boys would practice magic with their sister. On most days, no one gets injured, but sometimes, the boys are unlucky.“What is your schedule this week, baby?” Bastien asked Agatha as he stepped out of the walk-in closet. He wore a custom-made suit that matched Nate’s. Their tailor customized their wardrobe in twinning, just as much as Nas and Sean’s. In the same way, Agatha and Amara often wear identical white sundresses with tiny floral designs, except when Agatha is traveling to the coven or to distant places to meet community leaders of other species. Then, she would wear a simple dress beneath her cloak.“I am staying in for the week. I think I need some rest. Mom also notic
[Agatha POV]It has been a week since I have given birth to our triplets. I walk slowly and easily now with slight discomfort in my stitches. I felt like a kid being supervised by townspeople; I was not allowed to lift anything, not even the babies. I breastfed while sitting or lying down, and there was always someone tailing me once I got on my feet. The alpha floor of the packhouse is full. Bastien’s parents have stayed with us, and we decided that all the grandparents must stay with us on the Alpha floor for fairness' sake. Mommy Lily said they will stay until the naming ceremony is over. I had never heard of the naming ceremony before. Still, since she is the only she-wolf and a former Luna who knew all the formalities and ceremonies in the werewolf community, I trust her judgment on everything pack-related. Not that it’s not important to me because it does, but I wanted my children to experience the best of both worlds. Mom also said that they would give protective gifts to our ch
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments