Beberapa menit berlalu, Nohan terbangun dengan perasaan pusing luar biasa. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, memegangi kepalanya, dan menatap bingung sekeliling yang terasa amat asing baginya.Dimana ini? Apa ini rupa neraka?Ya Nohan telah membunuh orang, Tuhan pasti akan memasukkannya ke neraka. Tapi mengapa tidak panas? Bahkan neraka ini lebih mirip rumah besar bergaya klasik.Nohan bangkit dari posisi duduknya, ia berjalan mendekat ke arah lukisan di tembok, yang tak jauh dari situ.Lukisan atau foto? Entahlah Nohan tak tahu, itu sekilas terlihat seperti foto, tapi juga seperti lukisan yang menggunakan cat akrilik."Kau perlu sesuatu?"Nohan berjingkit kaget saat melihat sosok lelaki baya, dengan jubah hitam besar yang tersenyum menatapnya."Apa aku sedang bermimpi?" tanya Nohan sembari menepuk wajahnya, guna menyadarkannya dari mimpi. Ya jika ini memang mimpi.Lelaki baya
Malam sudah makin larut, Nohan masih berdiam diri di luar. Lebih tepatnya ia berdiri di balkon kamar, yang saat ini katanya miliknya."Apa sungguh hidupku akan berubah?" monolog Nohan menatap langit yang gelap, tak ada satupun bintang di sana. Meski hujan sudah reda beberapa saat yang lalu."Nohan! Maaf aku menganggumu, tapi kau mau bercerita padaku?" suara Paman Khamdi terdengar dari seberang.Jadi kamar Nohan bersebelahan dengan kamar Paman Khamdi, kebetulan yang bagus balkon mereka jadi satu.Nohan hanya diam, sampai Paman Khamdi kini berdiri di sebelahnya."Aku tahu harimu berat, Nohan! Tapi ceritalah padaku, siapa tahu dengan bercerita beratnya sedikit meringan!" kata Paman Khamdi dengan tatapan jauh menerawang entah kemana.Nohan menghela napas, ia kehilangan percaya diri tiap kali hendak bercerita pada orang lain.Ia takut tidak dipercayai lagi, mengingat ibunya juga tak mau percaya pad
"Masuk, Ansos! Jangan membuat bus ini jadi terlambat hanya karena kebodohanmu!" tegas seseorang barusan, yang tak lain adalah Jay.Ya Jay, Nohan merasa ia bermimpi melihat Jay naik bus ke sekolah.Sejak kapan monster berjubah manusia ini mau naik bus? Sejak kapan? Tolong pukul kepala Nohan jika sekarang adalah mimpi.Nohan benar-benar memukul kepalanya sendiri.Plakkk...Jay yang duduk tak jauh dari pandangan Nohan tertawa jahat."Mendadak kau ingin membenarkan posisi otakmu atau bagaimana, Ansos?" cercanya memandang remeh Nohan.Nohan mendesis marah, tangannya seketika terkepal begitu saja. Mendadak ia teringat semua hal yang terjadi kemarin, semua hal mengerikan termasuk ia yang telah membunuh seorang pemabuk muda."Masuk! Apa kau tidak dengar, Ansos!" kali ini suara Ren terdengar, dan Nohan makin terkejut.Ternyata bukan hanya Jay, tetapi ketiga kawannya juga ada di sini. Ray,
Nohan hanya berjalan menunduk, ketika empat monster di depannya berjalan dengan penuh percaya diri. "Nohan!"Nohan berhenti melangkah ketika namanya dipanggil, Jay dan kawan-kawannya sudah berjalan jauh jadi tak mendengar panggilan itu. Nohan menghadap ke arah orang yang memanggilnya, ternyata Mr. Abri sang guru mata pelajaran Biologi. "Ada yang bisa kubantu, Mr. Abri?" tanya Nohan sopan. Mr. Abri terlihat kesusahan membawa dua kotak besar, yang entah isinya apa. Tanpa menunggu jawaban Mr. Abri, Nohan segera mendekat dan mengangkat salah satu kotak yang dibawa Mr. Abri. "Ya aku ingin memintamu untuk membantuku membawa ini, Nohan!" timpal Mr. Abri tersenyum hangat, sebelum ia melihat wajah Nohan yang lebam. "Nohan!" panggil Mr. Abri menatap Nohan terkejut, bahkan hampir menjatuhkan kotak di tangannya, "Wajahmu, bagaimana itu bisa terjadi, Nohan?" tanya Mr. Abri menatap khawatir Nohan. Nohan terdiam, ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Sebab Nohan tahu, dan ia yakin Mr.
Nohan berjalan dengan perasaan senang, dan tak perlu waktu lama ia sudah sampai di depan toilet siswa. "Akhirnya aku bisa bebas untuk sementara waktu," monolog Nohan dengan perasaan gembira. Ya sebelum sosok dengan hoodie abu-abu menghadangnya, menatapnya penuh kebencian. Dev, ya bukan lagi Jay dan gerombolannya. Tapi Dev, yang entah mengapa begitu membenci Nohan. Padahal Nohan tidak pernah mengobrol, ataupun membuat masalah dengannya, jangankan mengobrol Nohan bahkan tidak pernah satu kelas dengan Dev. Tapi semesta seolah selalu membuat Nohan jadi penjahatnya, seolah menciptakan kebencian-kebencian di hati orang pada Nohan, entahlah. Nohan benar-benar membenci hidupnya. "Apa kau sengaja melakukannya, Nohan? Kau sengaja?" tanya Dev dengan nada meninggi. Nohan terdiam, wajahnya bingung bukan kepalang. Apa? Apa yang dilakukan Nohan memangnya? "Hahaha... aku tidak tahu kalau kau sejahat itu, tapi ternyata keputusanku untuk memukulmu kemarin itu tidak salah! Kau memang sejahat it
Nohan sudah hendak membersihkan toilet siswa, saat tiba-tiba namanya dipanggil dari arah pintu oleh seseorang. "Nohan!"Nohan menoleh, dan melihat Mr. Henry berdiri di sana menatapnya. "Ada yang bisa kubantu, Mr. Henry?" tanya Nohan bergegas mendekat pada Mr. Henry. Mr. Henry menggeleng sebagai jawaban, "Tidak ada, Nohan! Hanya saja kau dipanggil ke ruang BK oleh Mr. Adam!" jelas Mr. Henry dengan wajah seriusnya. Apa ini perihal polisi? Apa ini yang menyebabkan Dev mengamuk padanya? Ya sepertinya begitu. Nohan menganggukkan kepalanya, "Baiklah aku akan segera kesana, Mr. Henry!" saut Nohan sopan. Mr. Henry juga mengangguk, dan hendak melangkah pergi. Tetapi entah mengapa mendadak berhenti kembali, dan menoleh pada Nohan. "Bertahanlah, Nohan!" kata Mr. Henry tersenyum seolah menyemangati Nohan. Nohan ikut tersenyum meski itu tipis. Setelahnya Mr. Henry benar-benar melengang pergi meninggalkan Nohan. "Apa aku harus kesana? Apa ini pilihan yang tepat?" tanya Nohan pada dirinya
Hari berikutnya, saat Nohan hendak berangkat ke sekolah. Saat itu juga Paman Khamdi mengatakan sesuatu, yang membuatnya terdiam cukup lama."Aku tahu sesuatu telah membuatmu jadi begini, Nohan! Jika kau ingin menyerah, nanti setelah pulang sekolah katakan saja padaku!" kata Paman Khamdi tersenyum ramah. Nohan menganggukkan kepalanya, "Terima kasih, Paman Khamdi!" saut Nohan tersenyum. "Pergilah! Dan hati-hati di jalan, jangan lupa untuk belajar dengan rajin!" kata Paman Khamdi saat Nohan mencium punggung tangannya, tanda ia berpamitan hendak berangkat ke sekolah. Nohan menengok ke sana kemari, tetapi kemudian ia berhenti kala suara Paman Khamdi menginterupsinya. "Mr. Dharma sedang sakit, Nohan! Jadi pergilah, nanti aku akan menyampaikan salammu padanya!" kata Paman Khamdi tersenyum hangat. Nohan mengangguk patuh, "Baiklah, Paman! Kalau begitu aku pergi, selamat pagi!" pamit Nohan yang segera berlari keluar pekarangan rumah. "Selamat pagi! Hati-hati!" balas Paman Khamdi sembari b
Nohan mendesis marah, tangannya terkepal makin kuat. "Kau marah?" ejek Jay memandang Nohan remeh. "Hanya marah saja tapi tidak bisa melawan kami, sungguh percuma!" ejek Ray yang masih berdiri di depan Nohan. Nohan memandangi Ray dengan perasaan jengkel luar biasa, ia menatapnya tajam. Dan tanpa pernah ada yang menduganya, detik itu juga Nohan mendorong Ray hingga terjatuh begitu saja. Nohan bahkan langsung memukul Ray yang dalam posisi telentang, ia memukulnya secara membabi buta. Bugh...Aku membencimu. Bugh...Ini balasan untuk orang tidak waras sepertimu. Bugh...Aku membencimu hingga ke urat nadiku. Bughh..."HEI ANSOS!" teriak Jay menggelegar, ia berusaha menarik Nohan agar berhenti memukul Ray. Tetapi Nohan sudah kehilangan ketakutannya, keberaniannya kembali meluap membuatnya tak takut apapun risikonya. Bugh...Mati saja kau. Bughh...Aku membencimu melebihi apapun di dunia ini. Bugh...Jio dan Ren yang melihat situasi makin tak terkendali mendekat. Ray sudah tak