Seharusnya, Edard menjelma menjadi lelaki paling bahagia karena bisa menikah dengan gadis cantik seperti Raya yang kini sudah sah menjadi istrinya. Baik secara agama maupun hukum.
Seharusnya, sebagai pengantin baru, Edard bisa menikmati moment penting bersama istrinya seperti tidur seranjang.
Seharusnya juga, Edard merasakan bagaimana rasanya dilayani dengan baik oleh istrinya seperti Papanya dulu.
Tapi semua itu sepertinya hanya ada di dalam imajinasinya saja. Jangankan untuk dilayani, diizinkan masuk ke kamar sama tidak.
Edard ingat betul bagaimana Raya memberinya satu bogem mentah ketika Edard masuk ke kamar ketika Raya sedang berganti pakaian. Bukankah seharusnya itu biasa saja karena mereka sudah suami istri?
Tapi kembali lagi, rupanya Edard melupakan sesuatu. Ia lupa kalau pernikahan ini hanya di atas kertas. Raya mau menikah dengannya hanya sebatas memberi bantuan.
Raya tidak meminta cerai di hari pertama mereka menikah saja itu sudah
"Davin!" teriak Raya dengan nyaring.Membuat beberapa pasang mata pengunjung mall melihat ke arahnya. Namun gadis itu terlihat tidak peduli dan terus berjalan ke arah Davin. Nafasnya menggebu-gebu bersiap menumpahkan segala amarah untuk lelaki itu.Sementara Davin, lelaki itu terdiam kaku di tempatnya. Dalam hatinya, ia merutuk kesal. Padahal tadi ia sudah berusaha untuk tidak terlihat tapi kenapa penglihatan Raya tajam sekali?Di lain sisi, ada Ava, gadis yang beberapa hari lalu telah resmi menjadi kekasihnya. Tampaknya gadis itu sedikit bingung melihat kedatangan Raya dengan muka marah."Vin, dia siapa? Apa dia temanmu?" tanya Ava pada Davin.Sedangkan Raya, gadis itu menatap Ava dengan penuh penilaian. Cukup bagus juga selera Davin, pikirnya.Davin berdehem sebentar kemudian menatap Raya lalu tersenyum lebar. "Hallo, Ray. Apa kabar?" tanyanya basa-basi.Raya mendengus kesal. Bisa-bisanya Davin dengan percaya diri tersenyum lebar di
Ava menganga tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Bagaimana mungkin Edard Stollin sudah menikah? Bahkan tidak ada pemberitaan apapun tentang lelaki itu baik di televisi atau di media sosial.Lagipula, yang benar saja lelaki setampan Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya. Ah, itu tidak mungkin."Ternyata Edard suka becanda, ya?" kekeh Ava membuat Raya memutar bola matanya malas."Dia memang suami Raya, Va." Davin memberitahu dengan nada datar."Mana mungkin seorang Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya, Vin?" ujar Ava tanpa tahu malu.Padahal jelas-jelas disini dia yang gatal. Lihat saja tingkahnya, terlihat sekali kalau sedang menggoda suami orang.Sedangkan Raya, gadis itu tentu saja menahan amarah karena selalu disebut gadis gatal oleh Ava. Namun Edard terus menggenggam erat tangannya agar ia tidak bertindak gegabah.Ava, dimana Davin menemukan gadis ular semacam ini? Sejak bersama Davin, lelaki itu be
"Mampir sebentar di toko depan, aku ingin beli sesuatu," pinta Raya saat ia mengingat ada barang yang perlu ia beli.Edard mengangguk kecil menyetujui permintaan Raya. Saat sampai di toko yang dimaksud Raya, Edard segera menepikan mobilnya."Aku akan menemanimu," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolaknya kemudian bergegas keluar mobil.Sementara Edard, lelaki itu hanya menghela nafasnya pelan. Ia lupa kalau Raya adalah gadis yang mandiri. Tentu saja hal semacam ini akan dinilai terlalu manja baginya.Mata Edard menatap punggung Raya yang semakin menjauh lalu hilang dibalik pintu toko. Edard mengeluarkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan.Lelaki itu menatap foto Raya yang ia jadikan wallpaper di ponselnya. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan setengah lingkaran.Ia sengaja memasang foto gadis itu di ponselnya karena ia memang menyukainya. Tentu saja hal itu tanpa sepeng
Tampak dua insan yang duduk di sofa tamu saling melempar tatapan. Keduanya kompak diam saat ditatap oleh seorang wanita paruh baya yang tengah bersedekap dada di depan mereka. Tatapan wanita itu jelas menuntut penjelasan.Edard menghela nafasnya berat kemudian menatap wanita itu. "Baiklah, aku minta maaf karena tidak memberitahu soal pernikahanku," ujarnya dengan wajah dibuat semenyesal mungkin agar wanita di depannya itu bisa melunak.Wanita itu lalu mengalihkan tatapannya ke Raya. Gadis itu tertunduk sembari menautkan kedua jemarinya. Jujur saja, ditatap seperti itu membuat dirinya kembali ke kenangan masa ospek dulu. Benar-benar menegangkan. Jadi begini rasanya bertemu mertua? Itulah salah satu alasan mengapa ia tidak mau menikah. Ia takut memiliki mertua yang kejam seperti di film yang kerap kali ia tonton.Wanita paruh baya itu menatap Raya dengan tatapan penuh penilaian. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat jantung Raya ingin lompat dari temp
Edard membolak-balik dokumen di tangannya dengan perasaan gusar. Sejak tadi ia tidak pernah fokus dengan apa yang ia kerjakan. Pikirannya selalu melayang kepada gadis yang beberapa saat ini memenuhi kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Raya.Bagaimana perasaan gadis itu? Sejak kedatangan ibunya tadi, Raya menjadi banyak diam. Gadis itu selalu bersikap hati-hati. Apalagi Emily terus memperhatikan gerak-gerik Raya. Mungkin saja membuat Raya tidak nyaman.Edard memegang kepalanya pusing. Tidak tahu harus berbuat apa. Dengan keberadaan Emily disini ia yakin akan membuat semuanya menjadi rumit.Edard melirik jam yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Sudah hampir larut, sebaiknya ia tidur saja.Edard pun berjalan keluar menuju kamar yang ia tempati, yaitu kamar yang ada di lantai satu. Edard tampak mengendap-endap sembari mengamati keadaan di sekitarnya. Takut kalau Emily memergokinya masuk ke dalam kamar ini."Ken
Edard langsung membuka kelopak matanya begitu mendengar kalimat itu dari mulut Raya. Lelaki itu mendudukkan badannya dan menatap tak mengerti ke arah Raya."Kenapa kau mengatakan itu?" tanya Edard. Nada kecewa jelas kentara disana.Raya mengerjapkan matanya. "Iya aku hanya berbicara apa yang seharusnya kita lakukan, Ed."Raya mendadak bingung dengan sikap Edard yang sepertinya tidak terima dengan ucapannya. Apanya yang salah? Memang benar, kan, kalau mereka menikah hanya sebatas formalitas saja?Edard mengusap wajahnya kasar lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak akan ada perceraian di antara kita," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya bingung. Tidak ada perceraian? Itu artinya..."Ed, berhentilah bercanda. Kau gila?" tanya Raya tak habis fikir.Edard bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Raya. Membuat Raya beringsut menjauh dari Edard. Matanya menatap waspada, takut kalau nanti Edard melakukan sesuatu diluar dugaannya
Sam yang tersungkur di lantai langsung bangun sembari memegang pipinya yang berdenyut nyeri akibat serangan tiba-tiba itu. Matanya menatap tajam bak elang pada orang asing yang tiba-tiba menyerangnya."Apa masalahmu denganku?" desis Sam dengan suara berat.Lelaki yang baru saja melayangkan tinjuan pada Sam itu hanya terkekeh pelan kemudian mendekati Sam. Tangannya terulur, menepuk bahu Sam berulang kali."Maaf, teman. Aku terpaksa melakukan itu karena tindakanmu sangat tidak gentle," ujar lelaki itu dengan tatapan remeh.Sam menggertakkan giginya. Rahangnya mengetat, emosinya perlahan tersulut."Pergi dan jangan ikut campur," usirnya pada lelaki itu."Aku akan pergi asalkan gadis ini ikut bersamaku," ujar lelaki itu sambil menyunggingkan senyum tipis.Sedangkan Raya, gadis itu hanya bisa terdiam menyaksikan perdebatan antara Sam dan lelaki asing yang menolongnya. Raya bersyukur karena lelaki itu datang tepat waktu. Kalau tidak a
"Apa kabar, Bu?" tanya salah satu pegawai yang berada di pintu masuk menyambut kedatangan Raya.Raya tersenyum kecil. "Baik. Kalian bagaimana?" tanyanya kembali."Kami baik-baik saja, Bu. Apalagi sekarang restaurant milik kita ramai pengunjung. Jelasnya, omset per-bulan juga ikut melonjak drastis," paparnya pada Raya.Raya hanya tersenyum tipis. Pengaruh tangan Edard memang cukup kuat. Meskipun Raya sudah berkali-kali menolak, namun Edard tetap keras kepala ingin membantu mengembangkan usahanya.Sekarang lihat saja, ada banyak perubahan interior di setiap sudut ruangannya. Dan pastinya semua itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Pernikahan pura-pura ini, kenapa rasanya seperti nyata? Bahkan Edard kerap kali ikut campur dalam urusan pribadinya. Sangat berbeda dengan kesepakatan di awal."Mari masuk, Bu."Pegawai itu mengantar Raya untuk masuk ke ruang kerjanya. Raya pun menurut. Ah, dia lupa. Gadis itu menoleh ke belakang, mendapati Egar yang tersenyum ke arahnya."Ayo, Gar." Ray